Title : Pearl Disaster
Author : Erusadelune
Casts : Choi Minho (SHINee), Park Jiyeon (T-Ara), Lee Jinki (SHINee), Kim Kibum (SHINee), Other SHINee Members, OCs
Rating : PG 15
Length : Series (1 of ??)
Genre : Suspense, Romance, Mystery,
Theme Song : TVXQ - Athena (Instrumental),
A/N : The casts aren’t belongs to me, the OCs characters and the plot are mine. Inspired by J-Dorama’s Quartet.
©Copyright by Erusadelune
***
Laungan anjing mengaum diantara kesunyian malam, mengantarkan pandang pada sisi gerbang berkawal legojo-legojo tegap. Rompi tebal membebat pundak-pundak mereka yang teramat bidang, berisikan kelongsong timah pengisi patrun. Lengan mereka yang besar bak binaragawan dibiarkan terpampang, menghantam candang tiap pasang mata yang memandang.
Mereka berdeham, tatkala sayup-sayup sirene ambulans mengudara. Dua anggota berlari kecil, mengitari sisi samping bangsal. Beberapa memperketat pengawalan, bersigap di balik conggokan pagar duri. Klakson ambulans menggema, lantas kerumunan itu memperlonggar penjagaan. Sekat pagar mengorak, mengantarkan kendaraan medis ke pelataran.
“Mereka sampai!” Seorang legojo berujar, mengirimkan pesan melalui alat penyalur di balik kerah bajunya. Seringainya mengembang, ketika pintu ambulans itu menyelak. Seorang pria berjubah putih bergegas turun, menarik ranjang beroda.
Seonggok tubuh membujur di atasnya. Perutnya terbarut kasa, berhiaskan rintik-rintik merah. Soyak melintang pada hulu dadanya, menyisakan genangan darah yang mengering. Wajahnya bercuang, tersongel di balik surai hitam.
Gerbang berkawal itu lantas mengungkai. Segerombol manusia mencacak tonggak di baliknya, menanti waktu bersobok pandang.
Seorang pria baya yang berlakon sebagai pemimpin menggarit langkah lebar, menghampiri sosok yang tergeletak di ranjang.
Jemarinya gemetar, menyibak juntai panjang yang menutupi rona sang daksa malang. Perlahan ia tersenyum, mendapati raut pasi yang memesona. Ia mengusap dahi itu perlahan, sembari mengumbar jampi-jampi jahanam. “Let’s continue the disaster.”
***
PART 1
First Journey
Kemawan berjuntai, menyusupi pendar mentari pagi. Fajar telah lama menepi, di distrik Nampodong yang tak kenal sepi. Aroma keramaian pun menyuruk, terselip diantara bunyi ketukan sepatu yang kalang kabut.
Choi Minho mencuar, mengamati suasana kota yang tengah dipadati pegawai berseragam. Serupa! Dimanapun ia berada, hiruk-pikuk aktifitas manusia selalu mengelumun keberadaannya. Seolah sengaja berkontras pada kondisi jiwanya.
Bunyi ‘tut’ sekonyong-konyong mengudara, pertanda lampu telah berubah warna. Minho menjeling, menyusup celah kerumunan pejalan kaki. Tungkai kakinya berayun cepat, meniti langkah di permukaan aspal berlurik hitam-putih.
Sepeninggal kepadatan kota, irama langkahnya perlahan melambat. Membawanya berjalan santai mengelilingi sengkuap pertokoan yang berjajar di sisi jalan. Larik shopping complex itu jerang pembeli. Tak sangka, metropolitan sepadat Busan memiliki paksa downtown selengang Gyeongju.
Pemuda itu memalis, ada setapak kecil di ujung lorong pertokoan. Ia berdiam sejurus, menarik segumpal kertas dari celana kantongnya.
Hanya ada coretan kecil di atasnya. Beberapa huruf memburam, termakan rembesan keringat. Lelaki itu mengedar pandang. Tak ada pertanda yang menawarkan bala padanya. Separuh skeptis, intuisi membujuknya menapaki setapak.
Sepi. Jalan sempit itu mengantarkannya pada sebuah kompleks sederhana. Berpaut dari keramaian kota. Kendati puluhan bangunan berbaris tanpa celah di kanan-kirinya. Tak ada hiruk pikuk terasa.
“Goong!” Langkahnya mengatup, tatkala ia menangkap sederet tulisan di atas sebuah papan usang. Ekor matanya mengerling, mengamati sudut bangunan yang tertunjuk.
Bukan gedung mewah berbintang, melainkan sebuah bangunan tua berlantai dua. Sedikit bergaya eropa klasik dengan koloni lumut menghiasi sebagian dindingnya. Pelatarannya kecil, berhiaskan semak belukar yang tak terawat. Sebuah tangga besi bercokol di sisi sampingnya, berhubungan dengan lantai atas bangunan.
Mencoba tenang, ia menggarit langkah pelan, memasuki ruang utama bangunan. Ada papan bertuliskan bagian informasi di seberang pintu masuk. Segera ia menghampiri ruangan sempit itu. “Annyeonghaseyo!” Lelaki itu bersikap ramah, menyapa seorang pria tua yang sedang terlelap di dalam ruang.
Pria baya itu mengerjap, memijat kelopak matanya hingga menjatuhkan puntung rokok yang terkait di sudut bibirnya. “Ada apa?” Sedikit beraksen kasar, pria itu bertanya.
“Namaku Choi Minho. Aku sudah memesan sebuah ruangan di sini, bisakah aku melihatnya sekarang?” Ia tersenyum, sembari menyodorkan kartu pengenalnya.
“Ah ya, nomor berapa?” Pria itu menggeleng, berbalik mengumbar cecar. “202!” Minho menjawab cepat.
“Sebentar, kucarikan kuncinya!” Sang pria tua merunduk, mengobrak-abrik laci kecil di bawah mejanya. Tak lama, lantas ia mendongak. Raut wajahnya berubah serius, dengan telapak tangan kosong. “Kurasa aku meninggalkan kuncinya ketika aku sedang membersihkan ruang itu. Atau mungkin ada-ah tidak, aku pasti meninggalkannya. Maklum aku sudah tua. Lebih baik kau periksa saja sendiri.”
Ia menoleh sejenak, kemudian berbalik. “Ruang itu ada di lantai atas. Gunakan tangga di sebelah.”
“Ne, gamshamnida!” Minho melangkah cepat, meninggalkan sang pria tua yang kini tengah berusaha menyalakan api di ujung batang rokok. Ia berjalan ke sisi samping bangunan, hatta menaiki anak tangga besi yang nampak kecoklatan.
Sejenak kedua mata itu berpindah, mengamati kegiatan seorang pria baya di bangunan sebelah. Tak pelik, sebab pria itu hanya sedang membuang sampah di sebuah bakaran kecil.
Brak! Mendadak tubuh tegap itu terhempas, tatkala kakinya hendak meniti undak. Seorang perempuan menimpanya. Dengan dua bola mata besar yang melebar, tepat di atas wajahnya. Mereka terlalu dekat, bahkan pemuda itu mampu merasakan betapa napas sang gadis yang tersendat kelelahan.
“Kyaaa…Mianhamnida. Mianhae. Mian!” Sejurus gadis itu tersadar, berusaha mengangkat daksa. Ia merunduk di balik topi hijaunya, memohon maaf. “Jeongmal, mianhaeyo! Ah-Mianhamnida! Aku benar-benar sedang terburu-buru tadi.”
Minho meninggung sejenak, ancang-ancang menegak. “Gwaenchanayo!” Ujarnya tenang, sembari membersihkan corak kekuningan pada kaus birunya. Kepalanya menoleh, menatap rona gugup sang gadis. Sontak ia terpana, sungguh. Kedua mata indah itu masih membelalak, berbinar dengan semu kilap kristal.
“Joesoenghamnida!” Sekali lagi gadis itu mengelukkan punggung. Ia membenahi sebagian poni yang tersembunyi di balik tudung kepalanya. Tungkai kakinya bergerak, menjauh perlahan.
Minho masih mengawasinya, hingga punggung mungil itu tertelan dinding bangunan. Meski mendadak sang pria baya pembuang sampah bersuara, menyapa gadis bertopi hijau yang bergerak melewatinya. “Jiyeonnie, mau berangkat kerja?”
Gadis itu mengangguk pelan. Sebelah tangannya terangkat, melambai sejurus. Lalu kaki jenjang itu membuka lebar, mencacak lari menembus setapak sepi.
Jiyeon? Lee Jiyeon? Kang Jiyeon? Min Jiyeon? Park Jiyeon? Sunggingan kecil menghiasi sudut bibirnya. Minho merunduk, menyembunyikan senyuman yang mengembang. Pemuda itu tak mengerti, tapi kondisinya seolah berubah. Dunia sedikit meriuh, meski sebelumnya terasa lengang dan suram.
Langkahnya berhenti, tepat di hadapan pintu bernomor 202. Ia menyentuh gagangnya, memutarnya perlahan. Meski tanpa energi yang berarti, pintu itu sontak terbuka. Memperlihatkan keadaan di dalam ruang yang bersemu kegelapan. Dan sesosok bayangan menyembul di baliknya.
***
“Annyeonghaseyo!” Jiyeon mendorong papan putih itu perlahan, memperlihatkan sebagian tubuhnya di antara celah kecil yang terbuka.
“Kosong!” Seorang lelaki muda berbisik pelan di balik papan penyekat dapur. Gadis itu mengangguk. Tungkainya berjingkat pelan, menyelinap ke dalam ruang ganti.
Ia menanggalkan setelan T-shirt dan celana khaki-nya, berganti chemise putih dan rok pendek hitam. Topi hijaunya pun tak pelak terpampas bandu berhiaskan kepala tikus.
“Kau terlihat cute!” Suara itu menyapanya, teriring kehadiran seorang wanita dalam dandanan mewah.“Gamsahamnida, manajer Lee!” Gadis itu meringis, setengah terlonjak.
“Meski kurasa kau akan terlihat semakin cute jika kau datang tepat waktu.” Seketika rona Jiyeon berubah, bersemu merah. Bibirnya mengatup, tak kuasa berujar. Sindiran itu cukup membuatnya terjatuh dari langit ke tujuh.
“Tapi tak masalah, jika kau mengulanginya aku dapat menggantinya dengan potongan gaji.”
“Eeeh-“Desahnya menyanggah. Ia tercenung sejenak. Setidaknya sebelum sebuah panggilan menyadarkannya.“Cepat bekerja!”
“Ne!” Gadis itu berbenah, menyeret langkah cepat menuju pintu kedai. Senyuman hangat menyertai raut wajahnya, ketika beberapa pelanggan berbondong-bondong memasuki ruangan bergaya western era 60-an. “Selamat datang!”
Ia membututi seorang pengunjung. Lelaki muda berkacamata dengan gaya teramat rapi. Rambutnya sedikit kecoklatan, kentara klimis dengan belahan di sisi kanan. Ia memilih kursi di paksa belakang. “Mau pesan apa?”
Jiyeon membungkuk, menyodorkan lembar menu makanan. Tak sengaja, matanya menangkap sepetak benda kecoklatan yang menyembul di kantong jas sang lelaki. Gadis itu termangu, hanya berusaha menerka.
“Tidak,” Sang lelaki tiba-tiba berujar. “terimakasih!”
Jiyeon terperanjat, nyaris menjatuhkan talam yang digenggamnya. “Ah ya-itu a-” Kalimat itu seolah mencuat dengan sendirinya. Tak ayal membuat sang lelaki berkerut heran. “-tidak, maksudku. Ya--Jika kau ingin pesan, kau bisa memanggilku, hmm-tidak hanya aku, tapi semua pelayan disini.”
***
Papan kayu itu mengorak, memperlihatkan suasana di dalam ruangan yang minim cahaya. Siluet seseorang menyembul di sisi tengah. Bayangan hitam itu semakin mendekat dan mendekat. Hingga ia berubah menjadi sesosok manusia, lengkap dengan senyuman ramah yang hangat menyapa.
“Kim Kibum?” Minho nyaris tersedak. “Kupikir kau-Aish-“
“-Maaf aku tak memberitahumu. Aku sedang membereskan ruanganmu.” Kibum menarik sebuah koper besar, membawanya ke ruang tengah.
“Kau sendirian? Mana temanmu itu?” cecar Minho, seraya melongok sebuah bilik di sisi kanan ruang tengah.
“Ji-eun? Kurasa ia datang terakhir!” Kibum menjawab ringan, ketika ia sibuk membenahi tirai-tirai kusam penutup tingkap kaca. “Lihat!” Ia menyeringai, menatap pemandangan yang berkilap cahaya.
Benda itu tidaklah berpendar dalam keotomatisan, melainkan terhujam terik mentari yang mencuar dari balik cokolan bangunan-bangunan megah. Kepadatan tak ayal menyisipi celah-celahnya, menghanyutkan setapak yang ada. Dan pemandangan itu nampak sempurna, terlampau indah.
“Disana kediamanku, dan itu-kurasa Ji-eun akan menetap disana!” Lelaki itu menjelaskan, menunjuk beberapa bangunan bertingkat dua dan tiga yang hanya nampak seujung jari.
Minho mengangguk, berlagak paham. “Sepertinya tidak terlalu jauh. Tapi-sungguh, aku masih tak menyangka dapat melihat ini. Kurasa-ya-dari luar, bangunan ini nampak-“
“-tak layak huni?” Kibum terkikih. Menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. “Bahkan ini sangat keras.” Ia menegakkan sandaran. “Tapi kurasa, Masamune-san sudah memperhitungkan segalanya.”
“Masa-Kau juga direkrut olehnya?” Minho berbalik, menyandarkan punggung pada sisi kaca. “Tidak, maksudku bukan direkrut, melainkan perekrutan sepihak.” Pemuda itu menyeringai. Segenggam tangannya menekan permukaan dada.
“Aku benar-benar direkrut olehnya.” Kibum menegak sejurus. Menghampiri sosok yang bertunduk kepala. Ia nampak rentan, seolah sedang menahan memar yang kembali melebam. “Ini.” Tangannya terangkat, menyodorkan sebuah benda.
Minho mendongak. “Ponsel?” Keningnya berkerut, setengah takjub. Kibum mengiakan. “Gunakan ini saat kau perlu!”
***
Gugus genta bergemerincing nyaring, tatkala gerbang kaca itu membuka. Seorang pemuda berjalan masuk, dengan jaket tebal yang membarut tubuh jangkungnya. Topi hitam menghiasi kepalanya, menutupi sebagian wajah yang menunduk.
“Ya, Jiyeon-ah!” Senggolan keras merubuhkan topangan dagunya. Jiyeon mendesis, melirik lelaki muda yang sedang meringis tipis.
“Maaf!”
“Kau berhutang padaku, Kim Jonghyun!” Gadis itu berpaling muka, mengamati gerombol pengunjung yang memadati ruangan. “Orang itu!” Rona wajahnya berubah seketika, ketika ujung jarinya menunjuk seorang pemuda dalam balutan jaket tebal dan topi hitam.
“Jangan ditunjuk!” Lelaki muda bernama Jonghyun itu nampak gusar, sontak menggenggam jemari lentik sang gadis. “Aku tahu. Itu orang yang tadi ingin kuberitahu padamu.” Ia mengumbar senyum ke arah sekelompok pengunjung yang terganggu, sembari berbisik.
“Penampilannya aneh!” Jiyeon menurut, menurunkan nada bicara. Meski kedua mata besar itu terus membututi sang pria aneh. “Apakah dia seorang pencuri? Aku menyimpan curiga!”
“Ssst…jangan berburuk sangka!” Lelaki itu mendesis. Pandangannya menerawang, menorehkan raut serius bersemi gelisah. Ia berbalik, lantas menyerahkan sebuah baki dan menu makanan. “Layani dia!”
“Aku?” Alis gadis itu bertaut. Namun sejurus akalnya berputar. Gadis itu berbenah, bersiap menjamu si pengunjung aneh. Kendati langkahnya menjeda sejenak, ketika ia mendapati hala derap sang pria.
Menuju seorang pria berkacamata yang sedari tadi duduk tanpa memesan apapun. Ekor matanya tak henti mengawasi, terlebih ketika pria berkacamata itu menyerahkan sebuah bingkisan kepada si pria aneh. Mereka nampak berbincang sejenak, sebelum sang pria berkacamata enyah dari tempat duduknya.
“Hey!” Tepukan itu nyaris membuatnya berkoak. Jonghyun menolak tubuh mungil Jiyeon segera. Memaksa kaki itu menyeret langkah, menghampiri sang pria aneh.
“Permisi, mau pe-Aah!“ Tepat saat ia hendak membungkuk, pria aneh itu menegak. Dentingan suara talam yang mengantuk tanah tak ubahnya menyebar, mengacaukan melodi tenang. Jiyeon membatu. Terlebih ketika bingkisan sang pria terjatuh, terinjak kaki seorang pelanggan.
Mata besar gadis itu mendelik, mendapati serbuk putih mencuat dari baliknya. Pikirannya bersemu gamang. Angan-angannya melancong ke negeri tempo dulu, berkunjung pada halaman ensiklopedi masa kecil.
“Jangan bergerak!” Suasana sontak berubah riuh, ketika pria itu mencuatkan senjata laras pendek dari balik jaketnya. Koar bersemu kegelisahan tak ayal menghidupkan keramaian dalam kedai kopi kecil itu. Sang pria melirik Jiyeon, mengarahkan moncong senjata padanya.
Satu hitungan mundur, dan bedil kecil itu mendegum bangga. Sebuah timah panas mencuat, menghantam benda yang ditujunya. Seiring dengan jerit histeris pengunjung, gemerincing kristal pelita pun menghambur. Melantuk permukaan lantai polos.
***PART 1 END***