[FF/PG15/IND] Pearl Disaster part 4

Oct 23, 2011 17:18



Title                : Pearl Disaster
Author           : Erusadelune
Casts             : Choi Minho (SHINee), Park Jiyeon (T-Ara), Lee Jinki (SHINee), Kim Kibum (SHINee), Other SHINee Members, OCs
Rating            : PG 15
Length           : Series (4 of ??) | Read The Previous
Genre             : Suspense, Romance, Mystery,
Theme Song : TVXQ - Athena (Instrumental),
A/N                  : The casts aren’t belongs to me, the OCs characters and the plot are mine. Inspired by J-Dorama’s Quartet.
©Copyright by Erusadelune

***
PART 4
Betrayal

Mega tengah hari niscaya jernih tiada berawan. Terik mentari menyembul, berpantul diantara himpunan pencakar langit. Kim Kibum menggarit langkah santai, menghampiri gerbang kaca sebuah gedung apartemen.

Semburat kemerahan sontak membayang diantara binar matanya. Pendar cahaya gemerlap khas bangunan mewah. Ia menyusup diantara gerombolan pria dan wanita. Menanti giliran masuk tatkala pintu perak itu terbuka.

Jemarinya menekan tombol di dinding lift, menjuju lantai teratas. Badan jangkungnya bersandar pada paksa samping kanan. Ia menanti, sembari mengawasi kumpulan orang yang berlalu-lalang. Hingga papan perak itu mengungkai, menampakkan gambaran lorong lantai puncak.

Tungkainya melentuk, meniti langkah keluar. Serta merta bibirnya merintih pada benda kecil yang terceruk di sela kaus putihnya.
“Minho-ya, sekarang!”

“Ne!” Suara diujung sana kentara setuju. Choi Minho mengendap, mengitari sisi ruang berpipa yang terlumpuk kegelapan. Ekor matanya membidik areal saklar utama. Kosong.

Sekali lagi ia berawas, mengatur anju sebelum nekat membalikkan kondisi saklar. Mulutnya berkomat-kamit; menghitung maju. “-set!”
Tepat saat angka itu tercuat, kondisi gedung sontak berubah hitam. Seluruh radas berbasis elektronik mati mendadak.

Tak ayal koak histeris menggema di segala penjuru. Beberapa orang nampak tergopoh-gopoh; mencacak lari. Suasana berubah kacau dalam hitungan detik.

Sementara di puncak pencakar, Kibum mengumbar seringai kemenangan. Daksanya berayun, menghantam kuat pintu di hadapnya. Pemuda itu merintih. Tatkala sisi kiri tubuhnya bergetar, merasakan hebatnya momentum yang membawanya terlonjak.
Ajaib. Papan tebal itu sekonyong-konyong terbuka.

Kontan diseretnya langkah, sembari menjeling paksa sekitar. Koridor itu masih meremang, bersemu kelenggangan. Lelaki itu menyadari peluangnya masih tersisa, meski hanya renik reruntuhan diantara pilar-pilar emas.

Mendadak pupil matanya melebar, menguasai ketakjuban. Saat sepasang benda bulat itu menangkap suasana yang tergambar di dalam kamar. Bilik luas itu dipenuhi surihan kanvas, bertorehkan lengkungan elok horizon dunia. Langit.

Sejurus ia menekur hampa. Bayang-bayang masa lampau memenuhi gelora pergelutan imajinya. Ketika jemari lentik itu menorehkan corek kuas di atas lembaran terpal tahir. “Wae-“ Bibirnya tak kuasa merintih, menahan sesak yang menggelayuti ruang paru-paru.

“Kibum-a!” Sontak suara itu menyakatkan benaknya. Kibum terjaga, membenahi letak mikrofon kecil pada ceruk telinganya. “Ya?”

“Cepatlah keluar.” Minho mendesis pelan, sembari mengawasi kondisi sekitar. Ia berjingkat diantara lumpukan pipa besar, menyisi dari pendar sepia. “Petugas itu sudah datang.” Kalimatnya berlanjut, tatkala retinanya menangkap siluet yang bergerak dari pintu masuk basement.

***
“Jinki-sama, sepertinya sedang ada keributan.” Bibir bercorak kemerahan itu mengumbar kabar. Jemarinya menyela sebagian julai rambut yang menyahap pandangannya. Melalui sepasang mata sipitnya yang bercelak, ia mengawasi kondisi di teritorial seberang.

“Mungkin mereka sudah bergerak.” Lelaki di kursi belakang itu lantas menyahut. Lee Jinki membenahi letak kacamata dan kemeja putihnya. “Ini sungguh di luar dugaan.” Ia menyeringai masam, melirik perempuan yang terduduk di kursi kemudi.

“Lantas?” Perempuan itu berkedik alis. Sebagian tatapannya menghala ke kabin belakang.

“Ya! Sora Lim. Paboya?” Kontan cerca itu mengudara. Sang perempuan terlonjak. Rautnya berubah, memberengut masam. Ekor matanya tajam menjeling, seolah ingin menerpa lelaki muda yang tengah terbahak melatanya.

Tawa lelaki itu mendadak terhenti. Roman mukanya berganti; tanpa gurau. “Itulah sebabnya kau mudah terlacak.” Ia mendesis; menarik cembul papan baja. Langkahnya cepat, menghampiri sisi kaca kursi kemudi.

“Serahkan keributan ini padaku.” Jinki menggelar tawa kecil. Jemarinya tersulur, membelai pelan juntai poni yang tergelar di hadapnya.

“Tak akan kubiarkan ‘dia’ merusak lukisanmu!” Pemuda itu menyeringai, sembari menderai sulur-sulur hitam itu.
Sang perempuan jua mengangguk, menjaga tindak-tanduk. Percuma jikalau ia menampik. Kartu truf kadung terbentang di depan mata.
Memagut gerak-geriknya. “Ne. Wakatta!”

Ekor matanya menjeling, mengikuti tubuh jangkung berbalut kemeja putih itu pergi. Sejurus ia mencangak, memandang lembayung mega yang menghampar. Adakah secercah harapan? Batinnya mengumbar cecar, terkubur diantara tabiat pongah. Ketika segala sketsaku kutinggalkan.

***
Sigh. Choi Minho mendesus lembut, ketika sikunya tak sengaja mengantuk bidang ventilasi besi. Popor lengan itu bergeletar, menggaungkan bunyi-bunyian.

Kontan sepasang electrician yang berdiri tak jauh darinya tercengang. Kedua mata mereka sibuk mengerling, mencari metrum sumber suara. Namun sejurus nalar mereka beranggap; hanya bunyi pengerat yang melentung permukaan besi.

Mereka berbenah sejenak, hingga sebuah bunyi menghentikan polah mereka. Keduanya mematung, menghitung mundur. “Yosh! Sekarang!” Bunyi radas sontak elektris mencuat, seiring pendar cahaya yang menyebar di segenap penjuru ruang. Gedung bertingkat itu kembali ke keadaan semula.

Hiruk-pikuk ketakutan para penghuni niscaya berubah kelegaan. Meski tak senada dengan suasana dua actor kericuhan. Kedua bola mata mereka mendelik. Benak-benak itu mericuh; kebingungan.

“YA!” Mendadak seru itu mengudara, mengitari sudut palka basement. Minho terperanjat. Lantas ia berjingkat, mengendap diantara himpunan pipa besar. Batinnya menyimpan cerca, pastilah keberadaannya kembali tercium oleh dua electrian itu.

Pendar lampu sorot kecoklatan niscaya mengintai perbuniannya. Minho menghela napas, mengitar pandang sejenak. Petuahnya mungkin tak senantiasa lurus, namun intuisinya berikrar serupa. Memintanya bertahan pada petak tempatnya berdiri.

“Nuguseyo?” Sekonyong-konyong cecar itu mencuat, tepat saat pendar sepia yang memancar terjuju pada wajahnya. Minho memicing, menghindari sinar yang mengikis selaput pandang.
Ia benci ini. Namun kaki telah dilangkahkan. Lelaki itu tidaklah berperuntungan. Niscaya hanya satu pilihan yang terpampang pada jalan penyelamatannya. Lari!

Tungkai-tungkai jenjangnya berayun lebar, mengitari lompokan buluh-buluh besi. Sesekali ekor matanya menjeling ke balik punggung, mengawasi gerak-gerik dua pria yang tengah memburunya. Mereka tak terduga gesit.
Minho mengumpat, lantas menggiring langkah berkelok kanan.

Buntu. Hanya ada permukaan dinding berbahan besi di hadapnya, tanpa celah yang mengantarkannya pada sisi lain. Lelaki itu mendesah, deru napasnya membabi buta. Paksa belakangnya memang masih lengang, kedua pria itu belum menjangkaunya.
Namun keberuntungan urung bertahan lama mendampinginya. Mendadak derap langkah yang saling beruru itu menggaung kian dekat. Minho mendesis. Pikirannya gayat.

Niscaya tamatlah riwayatnya. Ia tak kuasa merajut tameng guna menutupi kamuflasenya. Ayunan langkahnya tak terkontrol. Aish. Pemuda itu lagi-lagi mengumpat, tatkala kakinya tak sengaja menginjak biduk kawat.

Sebidang lingkaran tersembul diantaranya. Lelaki itu berkerut kening, menerka sejenak. Irama ayunan yang menggaung kian kentara mendekatinya. Memaksanya bertindak nekat, menarik paksa busur kawat itu kuat-kuat.

Celah. Ada celah menganga disana. Ia sejatinya tak yakin, namun waktu memaksanya bertindak. Hanya ada dua ragam jalan yang tersedia. Dan ia wajib memilih satu diantaranya. Tertangkap atau mengotot.

***
“Minho-ya!” Kibum mendesis. Ketika suara gemuruh menghiasi pantulan dengung mikrofonnya. Ia berusaha memanggil, walau tak ada gema sahutan membalas soraknya.

Emosinya sontak membuncah, semakin mengalikan kegamangan diantara binar matanya. Teriring desau umpatan, lelaki itu memporak-porandakan ruang. Sebagian hatinya sesungguhnya berombak; khawatir.

Retina matanya sekonyong-konyong melebar, tatkala jemarinya menyentuh bentuk kepingan hitam diantara lumpukan kertas bercorak sketsa pensil. Jemarinya mendingin, menggeser benda itu perlahan. Nalarnya berada diantara dua terjal yang bertolak-belakang.

Meski mendadak suara decitan pintu yang terbuka semakin membuatnya kebingungan. Lelaki itu mengintip, melalui permukaan kaca penyekat bilik kerja dengan ruang utama. Seorang pemuda berbalut kemeja putih nampak berjalan santai, mengitari sisi bilik luas nan mewah itu.

Nugu? Lelaki itu berbisik pelan, terlampau pelan hingga nyaris tak terengkuh telinganya sendiri. Ia berkerut kening, lama mematung mengawasi polah sang pemuda berkemeja putih. Raut yang tergambar pada wajah rupawan pemuda itu mengingatkan memorinya pada sebersit bayangan. Kacamata dan rambut cokelat keemasannya. Dia-

Kibum terperanjat. Lidahnya mendadak kelu, tak kasdu berujar kata. Terlebih saat kedua mata itu saling bertatapan, bersemu binar kekagetan. Sial. Kibum tak ayal mengumpat. Ia berbenah, tergesa-gesa meraih kepingan hitam ke dalam saku jaket cokelatnya.

Pemuda berkemeja putih itu lantas bertindak. Tungkai jenjangnya cepat berayun, melewati celah-celah sempit, hendak menerkam keberadaan sang lelaki berjaket cokelat. Kibum tak ayal bergegas, nekat memanfaatkan relung pelariannya, menjuju pintu keluar.
Nyaris. Pemuda itu menghela napas, ketika tubuhnya berhasil keluar dari bilik durjana. Ia melewati lorong menuju lift. Jemarinya sembarang menekan tombol-tombolnya. Sayang ia terbengkalai ketika pemuda berkemeja putih itu kadung menampakkan daksa.

Mustahil menanti hingga gerbang perak itu terbuka. Ia menjeling, mendapati celah berundak di sisi selatan koridor. Diseretnya langkah lebar-lebar, berjingkat diantara lumpukan anak tangga.

Sesekali ekor matanya mengintip paksa belakang. Dada bidang berbalut kemeja putih itu lamat-lamat nampak, memacu langkah cepat di belakangnya. Kibum berbelok ke arah kanan, melewati koridor lantai di puncak kedua. Ia memalis kebingungan, tatkala tak ada undakan tangga terdekat pada tempatnya mencuar.

Pandangannya beralih, menatap segerombol lansia yang tengah menegak di depan lift. Pintu besinya mengorak, dan gerombolan lansia itu bergegas memasukinya. Kibum terburu memutar hala, mempercepat langkah menuju gerbang perak.

Namun sosok tegap berbalut kemeja putih itu mendadak mengali di ujung koridor. Kibum menggigit bibir, menghitung kesempatan yang terlampau limit. Tak mustahil untuk membuka kotak Pandora yang tengah meletup hendak memuntahkan isinya. Hanya ada secercah keberuntungan yang sanggup membawanya menuju pane penyelamatan.

Dan itulah yang tergaris pada lembaran nasibnya. Ketika tubuhnya tak sengaja terhempas, melewati celah kecil antara dua papan yang perlahan mengatup. Ekor matanya masih memandang, ketika celah itu semakin menyempit, meninggalkan bayangan sepasang mata sipit.

***
“Jonghyun-a!” Pekikan itu mengudara. Seiring derap langkah yang saling berpacu, menembus keheningan setapak. “Tunggu!”

Seorang gadis melenggang cepat di belakang, mengikuti wirama langkah lelaki muda bernama Kim Jonghyun. Ia nampak gusar, mengatur napas yang tersengal. “Sudah kukatakan, jangan ikuti aku!” Jonghyun mendadak menghardik, sembari menarik paksa lengan sang gadis.

“Tapi aku butuh bicara padamu!” Gadis itu berkoak, mengeyahkan lengan kurusnya dari cengkraman sang pemuda. Kedua matanya berubah binar.

Jonghyun hanya mengernyih masam. “Soal apa yang aku lakukan di tempat sampah itu?” Ia membuang napas. “Apakah kau perlu mengetahuinya? Itu berkaitan denganmu?”

Gadis itu merunduk, menenangkan gejolak emosi yang mencuat perlahan. Entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya, namun benak itu kentara kebingungan. Tak tahu bagaimana bersabung pikir mengenai disimilasi sikap lelaki itu. “Beritahu aku!”

“Ya! Jiyeon-a-“

“-apa yang kau ketahui so-”

“-kau tak perlu tahu soal itu.” Jonghyun menyergah cepat. “Setiap orang punya alasan untuk tidak atau melakukan suatu hal.”

Jiyeon tercengang. Pandangannya mendongak, menerawang sorot mata lelaki di hadapnya. Kali pertama ia mengenal jenis sorot itu. Laksana sorot mata panglima, tatkala pasukannya habis terbunuh di medan durjana. Ketakutan.

“Dan kau tak ingin memberitahuku soal alasanmu?” Gadis itu menuai cecar. Nada suaranya menenang.

“Tidak.” Jonghyun menggeleng. Ia menggarit langkah mundur. Menghempaskan tubuhnya pada permukaan dinding bata. Lelaki itu menghela napas panjang. Tubuhnya seolah habis tenaga, memaksa tungkai ranjaunya menekuk. Ia bertinggung, bersembunyi wajah dalam lekukan tengkuk. “Kau tak akan memahaminya. Sungguh!”

Jiyeon bergeming, urung bersuara. Gadis itu hanya mendengarkan, di antara kelut pikiran.

“Aku bahkan tak mengerti.” Jonghyun kembali berujar. “Aku tak ada hubungannya. Sungguh. Aku tak tahu apa-apa. Soal apa yang terjadi, soal apa yang aku lakukan. Aku hanya dipaksa!”

“Aku tak punya pilihan. Mereka akan membunuhku. Jika aku tak melakukan apa yang mereka peritahkan.” Isak tak ayal terdengar, dalam jeda kalimatnya. Jonghyun bersongel wajah perlahan.

“Mianhae-jeongmal!” Lelaki itu bertindak cepat, meraih sepasang tungkai jenjang yang mencuar di hadapnya. Ia memeluknya, mendekap keduanya dalam kegamangan.

“Andwae!” Jiyeon memekik, mendesak cengkraman itu kuat-kuat. “ANDWAEYO!” Jiyeon membuang paksa sepasang lengan yang mengitari tungkainya. Tak ayal Jonghyun terhentak ke kanan, kehilangan keseimbangan. Pemuda itu nyaris jatuh menyentuh tanah, andai jemari mungil Jiyeon tak meraih pergelangan tangannya. “Mereka tak pernah memaksamu!” Gadis itu berujar lantang, menjingkatkan kuduk yang masih ketakutan.

“Kau punya pilihan. Tapi kau tidak mau memanfaatkan pilihan itu.” Ia menjeda sejenak. “Kau bukanlah lelaki selemah ini, yang mudah diperintahkan hanya dengan ancaman. Memangnya kenapa jika mereka akan membunuhmu? Toh kau tak akan mati jika itu bukan waktumu.”

Tak pelak kalimat itu membuat Jonghyun gemetaran. “Menurutmu aku salah?”

“Ya. Sekarang kau salah. Meski awalnya kau tak salah. Secara tidak sengaja, kau telah menggabungkan dirimu dengan mereka.”
Pemuda itu menggeleng. Tengkuknya merunduk, menyembunyikan raut pasi bersemu khilaf. “Eotteohkae?” Bibirnya bergetar pelan.

“Selesaikan.” Jiyeon bertukas cepat. “Selesaikan masalah ini.”

***
Basah. Genangan air yang memenuhi lintasan lorong dasar tanah itu menyusupi celah sepatunya. Choi Minho mendesis, sembari mengibas-kibaskan alas kakinya yang melencun. Pemuda itu tak menyimpan praduga, rupaya daerah bawah tanah begitu buruk.
Empohan air kotornya terasa menjijikkan, membuatnya ingin membuang sepatunya lekas-lekas.

Sejurus ia mendongak, ketika selarik cahaya jingga kekuningan memantul membentuk bayang. Tak sangka ada lingkaran bercelah di atas sana. Benaknya memutar gagasan. Memaksa jemarinya mendorong celah lingkaran itu kuat-kuat.

Terbuka. Hunjaman cahaya kemerahan mentari beralih dari dunia atas tak ayal membayang pada permukaan matanya. Minho mengumbar senyum, mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi. Lantas melompat menghampiri setapak pemukiman sepi di tepi downtown.

Lelaki itu sedang menggeser lingkaran baja, tatkala ponselnya mendadak berdering. “Yeobosehyo, Masamune-san!” Ucapnya cepat.

“Good work.” Suara berat di ujung sana berujar tenang. Minho mendesis, menggeletuk gemas.

“Jigeum eodisseo?” Masamune Okada berlanjut.

“Setapak di tepi downtown.”

Pria tua itu berdeham.“Temui aku di depan kafe Est Arriden.”

“Ne, algesseumnida!” Lelaki itu mendongak, menghentikan panggilan. Pandangannya menerawang sisi setapak, mencari letak jalan terdekat. Meski sesungguhnya ia tak tahu kemana harus menghala. Nama kafe itu bahkan asing di telinganya.

Langkahnya hanya berayun, mengikuti irama intuisi yang membujuknya. Ia berbelok ke arah kanan, menuju simpangan setapak. Hiruk pikuk keramaian kota mulai tergaung di telinganya. Lelaki itu semakin mantap melangkah, menghampiri riuh rendah suasana downtown.

Tungkainya mendadak berhenti. Tatkala retina matanya menangkap bayangan seseorang berambut kemerahan di ujung lorong setapak. Pakaiannya serba gelap, dengan stiletto hitam membalut kaki rampingnya. Gadis itu menghala jalan raya, nampak berbincang melalui ponsel yang menempel di telinganya.

Sejenak berlalu, syahdan gadis itu beranjak. Dari sisi samping, raut wajahnya nampak. Hidungnya mancung dengan tindikan kecil yang berkilau tertempa cahaya. Gadis itu mengerling sejenak, ketika tak sengaja menangkap bayangan tegap hitam di hulu simpangan.

Minho lekas-lekas menarik diri, bersembunyi di balik pancang listrik besar. Ia menatur napas. Sejurus benaknya berkelit. Sosok gadis itu mengingatkannya pada seseorang. Son Ji-eun?

***PART 4 END***

park jiyeon, ff, choi minho, pearl disaster

Previous post Next post
Up