The Angel Series: The Dark Angel

Feb 22, 2009 19:15


Rembulan bersinar terang. Menyirami hampir seluruh sudut di taman ini dengan sinarnya. Taman itu tertata rapi. Rerumputan menutupi tanahnya. Sedangkan beton-beton membentuk jalan menuju sebuah gedung putih yang berdiri kokoh di tengahnya. Orang yang lewat dan melihat keindahan taman itu kini mungkin tak akan menyangka, ini bukanlah taman umum melainkan halaman luas dari sebuah rumah sakit terkenal.

Semestinya jika ada orang yang menyempatkan diri berjalan-jalan ke luar di malam seperti ini, orang itu bisa menikmati cahaya rembulan. Tapi tidak pemuda ini. Pemuda yang sedang bersandar di tiang salah satu lampu taman rumah sakit dengan tangan kirinya.

Pemuda bermata onyx hitam itu tengah terbatuk-batuk. Tangan kanannya menutupi mulutnya. Napasnya terengah-engah. Setelah ia berhasil meredam batuknya, ia menarik tangannya. Telapak tangannya dipenuhi cairan itu. Cairan merah yang sudah beribu kali ia lihat dalam hidupnya. Darah.

Pemuda yang memakai baju rumah sakit -piyama biru kotak-kotak putih- itu mengambil napas dalam sembari mengelap tangannya dengan sapu tangan yang baru ia keluarkan dari kantongnya.

“Kenapa tidak Kau matikan saja aku sekarang…? Aku muak hidup seperti ini.” Ucapnya dalam hati. Mungkin itu doa, mungkin juga itu harapan. Tapi pastinya jarang ada orang yang berharap hidupnya diambil saat ini juga. Ia membuang napas panjang, memandang ke langit malam. Lalu…

“Cepat atau lambat, kau pasti akan mati. Tapi tidak sekarang.” Ujar seseorang dari belakangnya.

Pemuda berambut hitam ini menoleh ke asal suara yang didengarnya. Mata onyxnya bertemu dengan mata biru langit seorang pemuda berambut pirang. Pemuda yang memakai kaos hitam di balik kemeja kotak-kotak oranye yang tidak dikancingnya.

Pemuda berkulit putih inipun memandang pemuda itu dengan heran… meski ia tetap tak berekspresi, ia berkata dalam hati. Kenapa dia bicara seolah ia membalas pikiranku?

Pemuda berkulit tan itu pun tersenyum manis

“Salam kenal, Uchiha Sasuke. Aku Uzumaki Naruto,” katanya, “…malaikat kematianmu.”

THE DARK ANGEL

Sebuah kertas melayang ke hadapan dua mata biru itu. Tangan berkulit tan itupun meraih sang kertas dan menggenggamnya.

“Itu tugasmu yang baru.” Ucap Jiraiya, malaikat utama Dark Division. Divisi yang khusus dibuat untuk menangani kematian di dunia.

Naruto mengangkat alis. Membaca baris per baris kalimat yang tertera di kertas itu. Uchiha Sasuke, 16 tahun. Meninggal karena…

“Itu bukan tugas yang sulit, tunjukkan pada mereka kalau kau memang malaikat yang berbakat,” ucap Jiraiya lagi, memotong perhatiannya pada kertas itu.

Sebuah senyum lebar merekah di wajahnya,

“Pasti!”

Malam itu rembulan bersinar terang. Sang malaikat terbang di langit, menuju ke sebuah rumah sakit yang ada di kota itu. Ia mencari seseorang, seseorang yang akan ia ambil nyawanya dalam waktu dekat ini. Tak butuh waktu lama untuk menemukannya. Orang itu berada di taman belakang rumah sakit itu. Sedang berjalan perlahan sembari melebarkan pandangannya.

Malaikat berambut pirang ini melayang-layang di atasnya tanpa terlihat. Mengikuti langkah demi langkah yang diambilnya. Lalu sang pemuda tiba-tiba saja berhenti dan terbatuk-batuk.

Tak lama, ia kalimat itu terdengar di telinganya…

‘Kenapa tidak Kau matikan saja aku sekarang…? Aku muak hidup seperti ini.’

Ia tertegun. Baru kali ini ia merasa beruntung masuk ke Dark Division, membaca dan mendengar pikiran manusia tak pernah di ajarkan di Light Class. Terlebih… ini pertama kalinya ia berhadapan dengan ‘tugas’ yang berharap dimatikan saat itu juga… Seharusnya seseorang tidak akan mau meninggal secepat ini.

Iapun terbang rendah mendekati tanah. Saat kakinya menyentuh bumi, ia memunculkan sosok manusianya. Satu lagi kelebihan Dark Division, mereka bisa mewujudkan diri dan terlihat sesuka mereka. Wajar, kerja di Dark Division lebih sulit dari Light Division… memangnya malaikat mana yang suka mengambil nyawa manusia?

“Cepat atau lambat, kau pasti akan mati. Tapi tidak sekarang.” Katanya. Ia bisa melihat sang pemuda berambut hitam itu mengadah padanya. Ia sempat menelan ludah saat melihat betapa indahnya kedua bola mata onyx itu. Kedua bola mata onyx yang amat serasi dengan kelamnya malam, tapi bersinar begitu terang… sekaligus begitu menghanyutkan.

Padahal wajah itu tetap tak berekspresi, tapi kalimat lain terdengar di telinganya…

Kenapa dia bicara seolah ia membalas pikiranku?

…hmp. Pemuda yang menarik.

Sebuah senyum manis terukir di wajah malaikat bermata biru itu,

“Salam kenal, Uchiha Sasuke. Aku Uzumaki Naruto,” katanya, “…malaikat kematianmu.”

Sejenak, pemuda itu tak membalas. Angin berhembus, menerpa keduanya. Menggantikan keheningan yang tercipta untuk sesaat.

“…malaikat kematian?” balas Sasuke, sebuah senyum sinis sekaligus mengejek terukir di wajahnya, “Aku tidak tahu kalau rumah sakit ini merangkap RSJ juga…”

Naruto terkejut sejenak sebelum akhirnya membalas,

“Ap-apa? Kau kira aku gila? Aku ini malaikat, tahu! Malaikat!!” Ia menunjuk-nunjuk dirinya sendiri.

“Ya, ya, ya… terserah kau saja.” Balas Sasuke malas.

Pemuda berambut hitam itu membelakangi Naruto dan berjalan meninggalkannya, berniat kembali ke gedung rumah sakit. Sembari melangkah di atas beton-beton yang dingin itu, Sasuke berkata sinis dalam hatinya.

‘Mungkin akan lebih baik kalau si dobe itu memang malaikat kematian… aku sudah capek hidup begini.’

“Aku MEMANG malaikat kematian,” potong sang pemilik mata biru itu, “Dan aku BUKAN dobe, teme!!”

Kali ini Sasuke menghentikan langkahnya. Ia teringat lagi dengan kejadian tadi, kejadian di menit pertama kemunculan orang ini. Sasuke lalu berbalik, mata onyx hitamnya yang indah menatap tepat ke mata biru Naruto.

‘Kau bisa membaca pikiranku?’ tanyanya dalam hati, hanya dalam hati.

Naruto mengangguk.

Sasuke berbalik memunggunginya lagi.

“Kau memang bisa membaca pikiranku, tapi hanya dengan itu kau belum bisa membuktikan bahwa kau malaikat. Mungkin hanya ESP…”

“Apa?! Makanya, aku sudah bilang, aku ini…”

Pemuda itu melangkah meninggalkannya.

“De, dengar aku dulu, Teme!!”

Tangan pucat pemuda berambut hitam itu membuka pintu kamarnya, ah tepatnya, pintu ruangan tempatnya di rawat.

“Kenapa kau mengikutiku terus?” protesnya pada pemuda blonde yang terus ada di belakangnya.

“Sudah kubilang, aku ini malaikat kematianmu. Jadi mulai sekarang aku akan selalu ada di dekatmu sampai kau mati, teme. Kalau kau mau, aku bisa menghilangkan wujudku, tapi aku tetap saja ada di dekatmu.” Balas Naruto sambil mencibir, seolah diapun tidak mau dekat-dekat dengan pemuda bermata onyx itu… seolah.

“Hn,” balas Sasuke, “Terserah kau saja.”

Sementara Naruto duduk seenaknya di kursi yang ada di sisi kiri ranjang Sasuke, pemuda berambut hitam itu naik di ranjangnya. Ia lalu menarik selimutnya hingga menutupi separuh tubuhnya. Tepat setelah itu, seorang perempuan dengan baju serba putih masuk ke dalam kamarnya.

“Sasuke-kun?” tanya sang suster dengan nada manja, “Kau kemana saja? Aku harus menyuntikkan obat padamu.”

“Hn.” Balas Sasuke pada perawat berambut hitam dan berkacamata itu. Naruto melihat papan namanya… sebuah nama terukir di sana, Karin.

Dengan jengah Sasuke mengulurkan tangan kirinya untuk disuntik. Gadis itupun menggenggam erat tangan putih pucat Sasuke dan menyuntikkan cairan ke tangannya. Rona merah terukir jelas di pipi gadis itu.

“Suster genit.” Naruto berkomentar singkat.

Sasuke hampir meledak tertawa, Naruto berpikiran sama dengannya! Tapi, ia masih bisa menahan diri untuk tetap tak berekspresi… ia baru saja sadar… Suster ini… tak bisa melihat dan mendengar Naruto?

Karin mengemasi peralatannya dan beranjak menuju pintu.

“Selamat tidur Sasuke-kun. Mimpi indah ya…” katanya sambil tersenyum, lalu menutup pintu dan pergi.

Pandangan Sasuke beralih pada pemuda pirang itu.

“Ia tak bisa melihatmu?” tanyanya pendek.

“Yup. Aku bisa memilih orang mana yang bisa melihatku. Tidak semua malaikat Dark Division seumuranku bisa melakukan itu. Sudah kubilang ‘kan? Aku bukan dobe, aku jenius.”

Sasuke tak membalas, atau tepatnya malas membalas. Ia berbaring dan mengambil posisi membelakangi Naruto. Ia menarik selimutnya lagi sampai menutupi lengannya.

Satu menit berlalu tanpa ada yang bicara, bahkan tanpa ada sesuatu apapun di pikiran Sasuke.

Ia lalu bertanya dalam hati,

‘Apa aku benar-benar akan mati…?’

Naruto tak langsung membalas. Tapi akhirnya pemuda bermata biru langit itu membuka mulutnya,

“…ya.”

Sasuke tidak membalas lagi. Ia menghembuskan napas dan menutup matanya. Mulai terlelap dan pergi menuju alam mimpi…

Pagi tiba.

Burung-burung kecil berkicauan dari ranting pepohonan tempat mereka bertengger. Memanggil-manggil para manusia untuk bangun dan menikmati hari. Cahaya mentari menembus melalui jendela. Menghangatkan udara yang tadinya dingin. Menyinari tempat yang tadinya gelap. Menyentuh kelopak mata seorang pemuda yang masih tertutup rapat.

Pemuda itupun membuka matanya. Mata onyx hitamnya bertemu dengan pemandangan itu, pemandangan ruangan yang sangat dihapalnya. Semua benda berwarna putih. Dengan dinding bercat putih. Dan tirai yang berwarna putih pula. Kamar rumah sakit dimanapun semuanya sama saja. Meski mungkin warnanya berbeda… semuanya dingin, kaku, dan penuh dengan bau obat. Memuakkan.

Ia duduk di ranjangnya dan menyentuh kepalanya dengan tangan kanannya.

…malaikat kematian, yang semalam itu mimpi…?

Kesadarannya kembali sedikit demi sedikit. Sedikit demi sedikit pula ia sadar ada sesuatu yang berbeda di sini. Ada yang beda dari pagi hari yang biasa ia hadapi.

‘…hangat?’ hatinya bertanya. Ia merasa tangannya menyentuh sesuatu di balik selimut putihnya. Kepalanya menoleh, melihat benda apa gerangan yang ada di sana. Ah, bukan benda… bukan sesuatu. Tepatnya, seseorang… atau, semalaikat…?

“Uwah!” pekik Sasuke sambil refleks turun dari tempat tidurnya. Ia berdiri di atas lantai dengan kaki telanjang dan mempelototi makhluk yang ada di atas tempat tidurnya. Seorang pemuda berambut pirang yang tadinya tertidur pulas… tadinya. Kini ia mengucek-ucek mata birunya sambil memanggil lirih,

“…Sasuke?”

Saat mata birunya terbuka lebar. Sasuke langsung menunjuk ke arahnya.

“…ke-kenapa kau tidur di kasurku?!”

Ok. Minimal ia tak bertanya siapa gerangan yang sedang tidur di atas kasurnya. Ia sadar bahwa ia tidak sedang bermimpi, dan ia juga sadar bahwa apa yang terjadi semalam juga bukan mimpi.

Sang malaikat menguap lebar,

“Habis… kau tidur enak sekali… kau kelihatan nyaman sekali tidur di sini. Jadi aku ikutan…” katanya.

“…nya-nyaman?” balas Sasuke heran. Mata onyx hitamnya melebar, wajah pucatnya semakin pucat dan keringat dingin membasahi wajahnya.

Apa-apaan…? Sejak kapan aku bisa tidur nyaman di rumah sakit?! Di tempat yang menyebalkan ini?
Sejak kapan… ah, ja-jangan-jangan…? Sejak…

Sang pemuda bermata biru nyengir dan melanjutkan kata hati sang Uchiha,

“Sejak ada aku?”

Wajah Sasuke refleks memerah bagai tomat.

“Be, berhenti membaca pikiranku, dobe!”

Naruto hanya tertawa senang. Ia baru tahu ada perasaan seperti ini… bahkan lebih menyenangkan ketimbang menang melawan semua teman sekelasnya, ataupun mendapatkan tiga mangkuk ramen gratis yang sangat jarang ia dapat dari Jiraiya… perasaan senang ini muncul karena ia berhasil menjahili seorang Uchiha. Sepertinya ia harus lebih sering melakukan ini…

“Jangan tertaw…!”

Seorang pria muda masuk dan menginterupsi kata-kata Sasuke. Iapun memakai pakaian putih, baju putih dan celana panjang dengan warna senada. Sebuah bekas luka horizontal bertengger di wajahnya. Rambut cokelat panjangnya terikat rapi. Ia adalah Umino Iruka, perawat di rumah sakit ini juga. Pria ini membawa sebuah nampan berisikan makanan.

“Selamat pagi, Uchiha-san,” katanya lembut, “ini sarapanmu.”

Ia pun meletakkan nampan yang ia bawa di atas meja dan beranjak pergi. Ia tersenyum lagi sembari menutup pintu yang berhadapan dengan ranjang Sasuke itu, “Permisi.”

Seperginya ia, Sasuke menghembuskan napas panjang.

“Bagus,” ucapnya, “karena kau… sekarang aku akan dikira gila karena kedapatan berbicara sendiri.”

Naruto tersenyum.

“Tenang saja, teme. Semalam, saat kau sudah tertidur, aku sudah memanipulasi ingatan orang-orang di sekitarmu. Memang agak susah, tapi sepertinya aku berhasil, kok!”

“Manipulasi?” tanya Sasuke, menuntut penjelasan lebih jauh.

“Yup. Sekarang aku bebas memperlihatkan diriku di depan mereka. Mereka mengenaliku sebagai satu-satunya keluarga dan adikmu… Uchiha Naruto!” ujar Naruto bangga.

‘Uchiha Naruto…’ ulang Sasuke dalam hati.

“Ng… agak aneh, ya?” balas Naruto sambil tertawa hambar dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Sasuke tak membalas.

‘Adik…?’ kini kata itu yang ada di pikirannya.

Ia lalu teringat pada masa lalu dan keadaannya, saat seluruh keluarga Uchiha yang dibantai oleh perampok belasan tahun silam. Kini hanya dialah yang memegang nama itu. Dan ia juga tidak punya adik maupun kakak lagi. Tapi… ada satu cara lain untuk membuat seseorang mempunyai nama keluarganya tanpa harus jadi adik atau kakaknya. Cara mudah untuk mempunyai nama keluarga Uchiha…

Pipi Sasuke hampir merona merah mengingat ‘cara lain’ itu….

“Si-siapa juga yang mau jadi istrimu, teme?!” pekik Naruto memotong pikirannya, dengan wajah yang sama merahnya.

“Ku-kubilang berhenti membaca pikiranku, dobe!!”

“…keluar? Dari rumah sakit ini?” pria yang memakai masker dan jas putih itu membeo.

Pemuda berambut hitam di hadapannya, Uchiha Sasuke, mengangguk mantap.

“Kau tahu kan, sangat sulit bagimu untuk keluar dari sini. Kalau penyakitmu kambuh, akan lebih lama mendapatkan penanganan medis dan itu akan membahayakan jiwamu.” Jelas sang dokter, Hatake Kakashi. Seorang dokter penyakit dalam yang telah bertahun-tahun mengurusi Sasuke. Dokter ini juga baru saja selesai melakukan pemeriksaan rutin pada Sasuke.

“…aku hanya ingin pulang ke rumah.” Balas pemuda bermata onyx hitam itu.

“Tapi…” balas Iruka, sang perawat sekaligus asisten Dr. Hatake.

“Dengan atau tanpa izin, hari ini aku akan meninggalkan rumah sakit ini,” potong Sasuke dingin. Mata onyx hitamnya melirik ke pintu keluar dari kaca itu, melihat sosok pemuda pirang berkaos oranye yang tengah menunggunya.

‘Toh cepat atau lambat aku akan mati. Aku tidak mau berlama-lama lagi di tempat ini memuakkan ini.’

“Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Kau boleh pulang sekarang.” Kata Kakashi pada akhirnya.

Sasuke pun berdiri dari duduknya. Ia lalu menunduk sejenak untuk memberi hormat dan pergi dari ruangan itu. Berjalan menuju sang malaikat yang menunggunya, lalu pergi bersama-sama.

Dengan wajah khawatir, Iruka membuka suara…

“Entah kenapa aku merasa ada yang aneh…”

“Ya.” Balas Kakashi pendek.

“…tapi apa? Apakah karena Sasuke yang tidak peduli dia telah dirawat di sini selama ini tiba-tiba minta keluar… atau… ah, aku tidak tahu. Rasanya ada yang aneh dengan ingatanku.” Iruka menyentuh kepalanya.

“…anak itu, yang menunggui Uchiha itu… Siapa dia?” tanya Kakashi.

“…lho, kau tidak ingat? Dia adik Sasuke.” Balas Iruka bingung.

“Adik?” Kakashi membeo lagi. Ia tampak berpikir sejenak sebelum melanjutkan, “Memangnya dia punya adik…?”

“Hwah… besarnyaa!!” seru Naruto takjub saat mereka sampai ke dalam rumah Sasuke, “Kupikir hanya di luar saja yang kelihatan besar!”

“Hn,” balas Sasuke datar. Ia lalu menyentuhkan jarinya ke atas meja, hingga butiran debu halus tertempel ke jemari putihnya, “Tapi perlu dibersihkan.”

“Eeeeh? Rumah sebesar ini mau kau bersihkan sendiri?” tanya Naruto dengan sangat heran.

Sasuke memandang Naruto, tetap tanpa ekspresi,

“Apa kau tidak tahu apa yang disebut cleaning service? Dasar malaikat dobe.”

“Gah! Dasar teme! Aku bukan dobe, tahu! Begini-begini aku peringkat kedua terbaik seangkatanku!!”

“Kedua?” balas Sasuke penuh penekanan pada kata yang ia ucap itu.

“Iya, KEDUA! Shikamaru itu terlalu jenius untuk dilampaui, teme! Tak belajarpun ia bisa dapat nilai tinggi di prakteknya, jadi aku tidak bisa mengalahkannya! Puas?! Lagipula, aku ‘kan hanya mengkhawatirkanmu!!” balas pemuda bermata biru itu sambil berjalan lebih jauh ke dalam rumah Sasuke, dan meninggalkan sang tuan rumah di belakang.

“Dobe,” panggil pemuda bermata onyx hitam itu.

“Apa, teme?!” balas Naruto penuh emosi.

“Kenapa kau mengkhawatirkan manusia yang akan kau ambil nyawanya?”

“…eh?” Naruto tertegun. Sejenak matanya melebar. Lalu ia terdiam dan terpaku dengan wajah pucat. Setelah ditanyai oleh Sasuke barulah ia menyadari apa yang telah ia lakukan.

Iya juga! Biar bagaimanapun keadaan Sasuke, nanti akulah yang akan mengambil nyawanya! Astaga… apa yang sudah kulakukan?!

“Hm,” gumam Sasuke, “Sepertinya ada malaikat yang sedang kebingungan di sini…?”

“A-aku, tidak bingung, teme!” balas Naruto segera.

“Terus?”

Naruto terdiam lagi, ia tak mampu menjawab pertanyaan pemuda itu.

“…ah, sudahlah!!”

PLOFFF

Bersamaan dengan ledakan asap putih, sosok Naruto menghilang. Sasuke membisu sejenak…

“Dobe..?” panggilnya, ia tahu Naruto masih ada di sini. Setidaknya ia berpikir begitu. Dari pembelaan Naruto kemarin, sepertinya Naruto tak bisa meninggalkan Sasuke meski ia mau. Jadi besar kemungkinan malaikat kematian yang satu itu masih berada di dekat sini…

“Kalau kau mau tidur di sini, pilih saja kamar yang kosong,” kata Sasuke, “Aku mau belanja. Kau ikut?”

Hening. Tak ada balasan.

‘Apa dia benar-benar sudah pergi?’ Tanya hati Sasuke. Ia lalu menghembuskan napas panjang, ‘…kenapa, rasanya jadi kosong begini?’

Sasuke lalu meletakkan bawaannya ke lantai rumah dan kembali ke pintu keluar, bersiap untuk meninggalkan rumah ini dan pergi membeli persediaan makanan untuk beberapa hari. Tapi ia terhenti di sana.

“Rindu padaku, Teme?” ucap pemuda berambut pirang yang kini berdiri di sisi pintunya itu, bersandar di dinding rumahnya.

Sasuke terdiam sejenak, memikirkan jawaban dari pertanyaan asal Naruto itu.

Menjawab ‘tidak’ pun tak ada gunanya ‘kan?

“Hn,” balasnya.

Sekarang giliran Naruto yang terpaku, lengkap dengan rona merah yang menghiasi pipinya.

“A-ayo kita pergi!” seru sang malaikat pada akhirnya.

Pagi datang lagi. Pagi ini angin sejuk berhembus kencang. Sebagian diantaranya melewati ventilasi-ventilasi udara dan menyejukkan ruangan dalam rumah itu. Termasuk di kamar sang pemilik itu yang tadinya tidur pulas dan berbaring di atas ranjangnya, merasakan nikmatnya angin sejuk yang menggelitik kakinya. Kedua mata onyx hitam itu pun terbuka. Terbuka dan bertemu dengan sesuatu yang amat menyilaukan pagi ini. Rambut pirang yang tertimpa cahaya pagi dari pemuda yang sedang tidur nyenyak di sisinya.

Sasuke langsung terduduk dan menyingkir ke sisi ranjang yang lain, menjauh dari pemuda itu. Yah, minimal ia tidak teriak dan lompat dari kasur seperti kemarin.

“Do-dobe!!” serunya, membangunkan sang malaikat yang sedang tidur itu.

“Nggh? Kenapa, teme…?” balasnya sambil mencoba duduk di atas ranjang, seperti yang sedang Sasuke lakukan.

“KENAPA? Itu kata-kataku, dobe! Kenapa kau yang semalam tidur di kamar sebelah tiba-tiba ada di sini sekarang?” protesnya.

Naruto tersenyum lebar. Ia lalu mendekat pada Sasuke di atas ranjang itu sambil berkata, dengan nada menggoda tentunya,

“Itu karena aku mau berada di dekatmu, Sasuke-hime.”

Sasuke langsung melayangkan kakinya untuk menendang Naruto hingga pemuda pirang itu terjatuh ke lantai.

“Aduuuh…” keluh Naruto kesakitan sambil memegang bokongnya yang sukses mencium tanah air.

“Hi-hime-… apa-apaan kau ini?!” seru pemuda bermata onyx itu lagi.

Kali ini mata biru itu menatap sejenak pada Sasuke, tapi ia diam. Ia lalu menatap ke lantai, atau kemanapun selain wajah pemuda bermata onyx itu, dam kemudian membalas lemah…

“Entahlah. Kalau tidur di dekatmu… rasanya nyaman.”

Sasuke tertegun. Pipinya yang biasanya berwarna putih susu mulai merona merah. Ia terdiam, tak mampu mengatakan apapun lagi. Naruto lalu berdiri, menatap Sasuke dengan mata birunya. Sasuke hanya bisa buang muka, berusaha menyembunyikan rasa malunya.

“Nee, Sasuke, sarapan yuk?” katanya, lengkap dengan senyuman manis.

“Saa~suu~keee! Ini tempat apa? Dimana? Sepertinya makanannya enaaak!!” seru pemuda pirang itu sambil memperlihatkan gambar-gambar dari majalah yang baru saja dibacanya.

Tak ada satupun tanya Naruto yang Sasuke jawab, ia hanya membalas,

“Apa maumu?”

Naruto membalasnya dengan cengiran,

“Kau sudah tahu apa mauku, teme!”

. . .

Mata onyx itu memandangi bentang alam yang terhampar di depan matanya. Meski ia hampir tak bisa melihat apa-apa selain hamparan rumput yang hampir di telan oleh gelapnya malam. Ya, di sinilah ia, di sebuah penginapan dan pemandian air panas yang jauh dari pusat kota.

‘Sejak kapan aku tidak bisa melawan keinginan malaikat ini?’ Tanya Sasuke dalam hati.

“Sasu-teme! Untuk apa kau berpose di situ?! Nanti kau masuk angin! Aku mau cepat berendam!” seru sang malaikat yang kini sudah berada di depan pintu penginapan itu.

“Hn…” balas Sasuke sambil berjalan mengekori Naruto.

. . .

“Tuan Uchiha, kamar anda berdua di sebelah sini.” Kata wanita berkimono cokelat itu. Wanita yang mungkin umurnya berkepala tiga tapi masih terlihat cantik itupun menuntun Naruto dan Sasuke menuju kamar mereka. Rambut hitamnya disanggul tinggi dan langkahnya amat anggun. Kalau Sasuke tak salah tebak, mungkin wanita yang tadi memperkenalkan diri sebagai Yuuhi Kurenai ini adalah pemilik dari onsen ini.

“Pengantin muda, ya? Jarang ada yang seperti kalian…” kata wanita itu dengan penekanan pada kata ‘jarang’, tapi ia lalu tertawa kecil. Bukan, bukan tawa mengejek, bukan pula tawa karena sesuatu yang lucu, tawa itu malah terdengar seperti tawa bahagia karena bisa menemukan sesuatu yang unik dan menyentuh sisi kemanusiaannya. Sasuke hanya diam, sedikit rona merah merekah di pipinya. Tapi Naruto…

“P-pe-pengantin?!” ia memekik, “A-aku adiknya!”

“Maafkan saya, kalau begitu,” katanya Kurenai, tapi senyuman tak lepas dari bibirnya.

“Te-teme!” panggil Naruto, memadukan seruan dan bisikan sekaligus, “Kau mendaftarkanku sebagai Uchiha?!”

“Hn,” balasnya.

“Buat apa kita pakai berbohong segala kalau sudah di tempat seperti ini, hah? Sudah begitu, mereka malah mengira aku pasanganmu! Haargh!” Naruto memegangi kepalanya frustasi.

Langkah Kurenai terhenti.

“Ini kamar kalian,” kata wanita bermata merah gelap itu.

Merekapun telah sampai tepat di depan pintu sebuah kamar sederhana beralaskan tatami, tapi sangat luas untuk ukuran kamar dua orang.

“Uwaah…!” Naruto berseru takjub. Ia bahkan langsung lupa pada kemarahannya sebelum ini.

“Baju ganti, handuk dan kasurnya ada di lemari. Kalau ada apa-apa, silahkan panggil kami,” kata Kurenai lembut, “Permisi…” Iapun pergi meninggalkan kamar mereka.

Naruto langsung melepas ransel yang dibawanya dan menghambur ke lemari.

“Aku mau mandiii!!” serunya girang. Sasuke hanya berdiri di sana memandangi Naruto. Ia lalu mengambil sebuah yukata hijau tua dari dalam lemari, dan kemudian mendapati sesuatu yang aneh…

“Kasur ini…”

Naruto mengeluarkan lipatan kasur yang ada di lemari dan membentangkannya di atas tatami. Iapun kembali ke depan lemari yang masih terbuka dan mata birunya menyelidik lagi. Tak ada apa-apa selain beberapa helai yukata hijau yang terlipat rapi dan juga beberapa peralatan mandi.

“Kasurnya Cuma satu?” tanya Naruto bingung.

“Pesan dua juga percuma. Tengah malam nanti kau pasti akan pindah dan tidur di kasurku.” Balas Sasuke datar.

Hening beberapa saat. Ternyata butuh beberapa detik bagi Naruto untuk paham apa maksudnya…

“EEEEHH?!! Jadi kau pesan kamar dengan satu kasur saja?! Pantas mereka mengira kita ini sudah menikah! Sial!!”

Naruto meremas kepalanya dengan frustasi lagi. Sasuke menatap tepat ke matanya, membuat sang malaikat terpaku. Ia membalas tenang, sambil berjalan mendekati Naruto.

“Kalau umurku lebih panjang, dan kau bukan malaikat,” katanya, ia lalu menyentuh pipi Naruto dengan tangan kanannya, mempertemukan mata biru dan mata onyx hitam mereka, “…aku mau menikah denganmu.”

Naruto terhenyak. Wajahnya memerah sempurna. Sasuke semakin mendekatkan wajahnya, mengambil inchi demi inchi jarak di antara mereka. Saat kedua bibir mereka hampir bertemu..

“Ma-manusia tidak boleh jatuh cinta pada malaikat tahu!!” Naruto menghantamkan dahinya ke dahi Sasuke.

Ia lalu menyambar yukatanya dan berseru,

“Aku mau mandi!!”

Pemuda itupun meninggalkan kamar mereka.

Langit amat bersih dari awan, bintang-bintang bertaburan dalam sunyi. Seorang pemuda berambut pirang sedang berendam di pemandian alam terbuka.

“Hhhhh…” pemuda itu membuang napas panjang. Buyar sudah mood dan rencananya untuk menikmati pemandian air panas ini, dan semua gara-gara si teme itu.

Ya, gara-gara dia!

Air panas yang seharusnya nikmat saja sudah tidak terasa lagi karena pikirannya kini penuh dengan Sasuke. Ia tidak menyangka… ia tidak menyangka Sasuke akan punya perasaan itu padanya. Dan kalau mau jujur, mungkin Naruto juga…

Naruto menggeleng-gelengkan kepalanya,

“Tidak boleh!!” serunya pada dirinya sendiri, sambil menepuk pipinya.

“Apanya yang tidak boleh?” balas seseorang. Rupanya Naruto terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai-sampai tidak mendengar suara pintu yang terbuka, juga suara langkah dari orang itu. Kini Naruto harus berhadapan dengan Sasuke… Sasuke yang topless, tidak memakai apa-apa selain handuk putih yang melingkari dan menutupi pinggangnya.

“Me-mesum!! J-ja-jangan mendekat!!” seru Naruto sambil gelagapan.

Pemuda berambut hitam itu memandangnya sinis,

“Aku sedang tidak mood untuk bermain dengamu dobe, aku hanya mau berendam.” Katanya.

Naruto lalu menyingkir ke tepi kolam dan membalas,

“Ka-kalau begitu, jaga jarakmu! Jarak minimal lima meter!!” Padahal lebar kolam itu hanya empat meter.

“Hn, memangnya kau apa? Dinamit?” balas Sasuke cuek sambil melangkah masuk ke dalam kolam.

“Uugh…”

Naruto lalu hanya bisa buang muka dan berpura-pura seakan tak ada siapa-siapa di sana, hening. Pemuda berkulit tan itu menutup mulutnya rapat-rapat. Malam ini tak ada angin, juga tak ada suara serangga di sekitar mereka. Hanya ada suara gemercik air yang sesekali menemani keheningan malam, sampai akhirnya…

“…kenapa tidak bisa?”

Sang Uchiha bertanya.

Naruto tak mengadah ke arah Sasuke, tapi ia bisa mendengar lanjutannya…

‘Kenapa manusia tidak boleh jatuh cinta pada malaikat?’

Setelah diam untuk beberapa detik, tanpa menatap Sasuke Naruto membalas lemah,

“Karena malaikat juga tidak bisa jatuh cinta pada manusia.”

Sasuke tak membalas. Tapi Naruto sadar bahwa Sasuke menuntut penjelasan yang lebih panjang lagi.

“Itu peraturan tak tertulis, teme. Aku tidak tahu bagaimana dengan Light Division… tapi yang pasti, malaikat Dark Division tidak boleh jatuh cinta pada manusia yang akan ia ambil nyawanya. Itu karena…” Naruto berhenti, ia lalu menatap tepat ke wajah Sasuke, “karena nanti ia tidak akan mampu untuk mengambil nyawa manusia itu.”

Mata onyx hitam Sasuke masih saja terus bertemu pandang dengan mata biru Naruto. Pemuda ini tengah mencari tahu apa yang sesungguhnya sedang dipikirkan oleh sang malaikat. Naruto mungkin tak begitu pandai menutupi perasaan yang terpancar lewat mata birunya, sedikit banyak Sasuke bisa membaca kegalauan hati sang malaikat kini.

Sebuah ide terlintas di benaknya…

“Kalau berpura-pura bagaimana?”

“…pura-pura?” balas Naruto bingung.

“Ya, berpura-puralah seakan kau mencintaiku.” Jelas Sasuke, “Aku tahu kau tidak mungkin mau menyukaiku, jadi kau cukup bersandiwara saja.”

Naruto menelan ludah, tertegun. Tawaran macam apa ini?

Sasuke tak lagi bicara, hanya hatinya yang melanjutkan permohonanya itu…

‘Aku hanya ingin mengenyahkan perasaan kesepian yang menggangguku selama bertahun-tahun. Apa kau tidak bisa membantuku dengan bersandiwara? Mungkin saja kalau kau tidak melakukannya aku akan mati penasaran…’

“Tidak mungkin! Roh penasaran itu ada karena malaikat yang lalai! Mereka sudah menarik nyawa dari tubuh itu tapi tidak mengirimkannya ke tempat yang semestinya!” seru Naruto, ia lalu terhenti sejenak dan melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, “ak-aku… aku tidak mungkin membiarkan rohmu tertinggal sendirian di dunia…” Sudah cukup kau sendirian hampir seumur hidupmu. Aku tak mungkin membiarkan kau sendirian lagi setelah mati, Sasuke… lanjutnya dalam hati.

“Begitu?” balas Sasuke, “Jadi… kau setuju?”

Naruto terdiam sejenak. Tak lama, bibir itupun berucap,

“…ya, aku mau.”

Sasuke tengah duduk di kursi cokelatnya, bersandar dengan nyaman, dengan sebuah buku di tangannya. Sudah lama sekali ia tidak membaca buku-buku yang tertinggal di rumah ini. Yaah, di rumah sakit sekalipun hobbynya adalah menghabiskan waktu dengan membaca buku… Tidak mungkin mau membawa PS ke rumah sakit kan? Hm, sebenarnya bisa untuk seorang Uchiha… tapi toh Sasuke tak tertarik.

“Teme sayaaaang!!” panggil Naruto dengan nada manja, menghentikan perhatian Sasuke pada bukunya. Tak lama, ia mendapati sosok pemuda pirang itu memasuki kamarnya.

“BERHENTI menggabungkan kata Teme dan Sayang, Dobe!” protesnya.

Naruto merenggut,

“Memangnya siapa yang minta aku pura-pura mencintaimu, hah?”

“Bukan begitu caranya, usuratonkachi.”

“Cih,” balas Naruto sambil beranjak meninggalkan ruangan ini, tapi Sasuke keburu menahan tangannya.

“Apa?”

“Apanya yang apa?” balas Naruto polos.

“Apa yang mau kau katakan tadi, dobe?” tanya Sasuke terganggu.

“Oh, iya!” kata Naruto sambil menepuk kepalanya, “Aku mau mengajakmu jalan-jalan!”

“…lagi?” protes pemuda bermata onyx hitam itu.

“Teme. Tidak mungkin aku mengajakmu ke onsen lagi, ‘kan? Aku mau mengajakmu makan ramen!!”

“…RAMEN?”

“Makan es krim setelah ramen… perfect!” kata pemuda itu sambil menjilat es krim vannila yang hampir habis tapi masih ia genggam erat di tangannya. Kakinya terus saja berjalan di atas beton demi beton yang menutupi jalan kecil di taman kota ini. Mata birunya sesekali memandangi anak-anak kecil yang berlarian di atas rerumputan hijau sang taman kota.

“Aku heran… dari mana kau tahu tentang semua makanan manusia?” balas sang pemuda bermata onyx. Tangannya pun memegang sebuah es krim cokelat yang belum tersentuh sama sekali.

“Sudah kubilang, aku ini jenius!” balas Naruto bangga.

“Hn. Jenius yang lupa pada cleaning service.” Balas Sasuke.

“Ka-kau ini! Dasar teme…!” Naruto menghentikan langkahnya, dan berniat menyerang Sasuke dengan kalimat-kalimatnya lagi. Tapi ia terhenti dengan keberadaan es krim cone coklat yang tiba-tiba saja mampir di depan matanya.

“Hm? Kenapa?” tanya Naruto bingung.

“Buatmu.” Jawab Sasuke pendek.

“Lho! Itu ‘kan untukmu!” protes Naruto sambil mendorong tangan Sasuke yang masih memegang es krim itu.

“…untukku, tapi kau yang memaksaku membelinya, dobe.”

“Makan saja, kenapa sih?! Kau sebegitu tidak sukanya dengan makanan manis?”

“Bukan tidak suka, tapi tidak bisa. Karena penyakitku dari dulu aku tidak boleh makan es krim atau apapun yang dingin. Kau tidak tahu?”

“Ng…” Naruto hanya bisa menggumam lirih sambil menerima es krim itu.

Merekapun melangkah lagi. Sasuke lalu menuntun Naruto duduk di salah satu bangku taman. Selama beberapa menit mereka duduk tanpa kata. Naruto menyibukkan diri dengan es krimnya.

“Naruto,” panggil Sasuke.

Naruto berhenti memakan es krim cokelatnya. Tapi bukannya menjawab, Naruto malah terdiam dengan sukses. Ia tidak salah dengar ‘kan? Tidak ‘kan? Sasuke menyebut ‘Naruto’ ‘kan?? Astaga… ini pertama kalinya Sasuke memanggil ia dengan namanya! Kini Naruto merasa bagaikan baru saja mendengar nyanyian malaikat bersuara terindah di surga… Tapi ini bahkan lebih hebat dari itu.

Sasuke melirik ke Naruto yang terpaku dengan wajah memerah,

“Oi, dobe!”

OK, sekarang Naruto sudah ditendang keluar dari Surga.

“Apa, teme?!” balas Naruto.

Sasuke terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia bertanya...

“Apa aku akan mati karena penyakitku?”

Naruto tertegun, lalu membisu lagi. Mata birunya tak lagi menatap pada kedua mata onyx itu. Seharusnya sang malaikat kematian tidak boleh membiarkan sang manusia tahu bagaimana, dimana, dan kapan dirinya akan mati. Tapi ia tidak mungkin berbohong. Malaikat tak bisa berbohong.

“Hn. Sudah kuduga.” Kata Sasuke. Ia menghembuskan napas panjang. Mata onyxnya memandang jauh ke depan… Tapi yang sedang ia lihat bukanlah apa yang ada di depan, tapi justru sesuatu yang ada di belakang… sesuatu di masa lalunya.

“Bukan mauku untuk lahir dengan paru-paru tak sempurna begini.” Katanya.

“Bukan mau ibumu juga untuk melahirkanmu prematur, Sasuke.” Balas pemuda bermata biru itu.

“…tapi, aku yang sakit-sakitan ini malah hidup lebih lama dari keluargaku. Aku malah selamat dari pembantaian para perampok itu karena waktu itu aku di-opname di rumah sakit …ironis.”

Setelah beberapa detik, Naruto membalas,

“…itu takdir.”

Tak ada balasan.

“Oh iya, Sasuke! Kau tahu? Malaikat penjagamu menyebalkan!” kata Naruto mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Malaikat penjaga?”

“Yup. Anggota Light Division yang disuruh menjagamu, namanya Sai…” Naruto mulai memakan es krimnya lagi.

“Sai… ‘Senjata’? Dari namanya kurasa ia lebih cocok masuk di divisimu…” komentar Sasuke.

“Ya ‘kan? Kupikir juga begitu! Aku memintanya baik-baik untuk kembali ke atas sana karena waktumu sudah dekat. Bukannya sedih atau apa, dia malah tersenyum menyebalkan lalu menyuruhku untuk mengambil nyawamu lebih cepat… huh, untung saja dia sudah pergi!”

“…hn. Lalu, apa maksudnya mengambil nyawaku lebih cepat?” tanya Sasuke.

“Yaah… sejak anggota malaikat Dark Division mendapatkan kertas tugasnya, ia sudah boleh mengambil nyawa manusia itu saat itu juga. Kalaupun tidak, batas waktunya seminggu sejak ia menerima kertas it…” kata-kata Naruto terhenti. Ia langsung menutup mulutnya dengan wajah pucat. KELEPASAN!!

“Seminggu?” kata Sasuke, ia lalu melanjutkan, “Berarti… kalau malam kau datang itu hari pertama… hidupku tinggal dua hari lagi?”

Naruto tak menjawab. Hanya mata birunya saja yang memandang ke mata onyx hitam Sasuke. Ia bahkan tak berani mengangguk.

“2 hari… pantas.” Hanya itu yang Sasuke katakan. Tapi dalam hati ia lanjut bertanya, ‘Kenapa kau pucat begitu?’

“…menurut peraturan, aku tidak boleh memberitahumu tanggal kematianmu. Karena bisa mengubah takdir…”

Sasuke hanya bertanya lewat mata onyxnya, menuntut penjelasan lebih jauh.

“Dulu ada beberapa manusia yang bisa malaikat, dan tahu hidupnya tak lama lagi. Lalu, mereka yang seharusnya masuk surga, malah masuk neraka karena berbuat dosa sebelum mereka meninggal.” Jelas Naruto.

“Hn. Apa kau pikir aku termasuk orang-orang bodoh itu?”

“Tentu saja tidak! Tapi aku sudah melanggar… hhh, biarlah. Toh di sana kau akan lupa tentangku.”

“Lupa?”

Naruto diam sejenak. Ia menghabiskan es krimnya dan kemudian menjawab tanpa melihat ke arah Sasuke lagi.

“…Ya. Setelah mati, rohmu tidak akan ingat apapun tentang dirimu… Itulah mengapa kami malaikat kematian boleh muncul di hadapan manusia yang akan diurusnya. Nantinya,” Naruto memandang pada Sasuke, dengan berat ia melanjutkan, “…kau tidak akan ingat apa-apa tentang aku.”

Sasuke diam sejenak, mencerna kalimat Naruto.

“…aku tak ingin melupakanmu, dobe.” Katanya.

Mata biru bertemu pandang dengan mata onyx, memancarkan perasaan tak terlukiskan dalam jiwa mereka.

“Aku juga, teme.” Lirihnya.

Kali ini, bukan hanya mata, bibir mereka pun bertemu dengan gema yang sama.

Pura-pura...?

Ini bukan lagi pura-pura.

Malam masih sangat panjang. Bulan sabit mengintip dari balik awan. Malam ini awan menebal, seolah siap untuk menangisi seorang lagi anak manusia yang akan pergi meninggalkan dunia. Pemuda berambut hitam dengan warna mata serupa itu tengah berbaring di atas ranjangnya. Sedangkan sang malaikat duduk di sisinya. Pemuda ini tak ingin menutup mata onyx hitamnya. Ini adalah saat-saat terakhirnya… saat-saat terakhirnya bersama pemuda pirang itu.

Naruto menggenggam erat tangan Sasuke. Tanpa kata. Ia tak tahu harus berkata apa. Hanya mata onyx dan mata biru itu saja yang terus bertemu pandang dalam kesunyian.

Sasuke tak merasa sakit. Bahkan siksaan yang selalu menderanya setiap kali penyakitnya kambuh juga tidak terasa. Meski begitu, ia merasa lemah, sangat lemah. Sampai-sampai untuk bangkit dari tempat tidurnyapun tak bisa.

“Naruto,” panggil Sasuke, “… sejak kau datang, penyakitku tidak pernah kambuh sampai malam ini. Apa kau yang membuatnya begitu?”

Naruto mengangguk, tapi tak menjawab. Ya, dialah yang menghilangkan rasa sakit Sasuke sejak pertemuan mereka itu. Bahkan sejak pertama mereka bertemu, Naruto tak sanggup melihat Sasuke kesakitan. Ia menggunakan chakranya untuk meredakan penyakit Sasuke. Meski ia tahu Sasuke tetap harus meninggal nantinya… dan kini, saat itu telah tiba.

“Kalau aku tetap berada di RS… apa aku akan tetap hidup?” kata ‘hidup’ menjadi sesuatu yang Sasuke inginkan saat ini… ironisnya, ia merasa begitu justru sejak bertemu dengan sang malaikat kematian… Ah, kalau begitu, memang jauh lebih baik mati dan bertemu dengan sang malaikat ketimbang hidup lebih lama dan tidak bertemu dengannya.

“…tidak,” balas Naruto sambil menggeleng lemah, "aku harus tetap mengambil nyawamu."

Mata onyx itu menyelidik sang pemilik mata biru lagi.

“Beritahu aku, Naruto…” katanya, “Apakah kemunculanmu di hadapanku bisa merubah takdirku?”

“…akulah yang membawa takdir itu untukmu, Sasuke.”

“Lalu, andai kau ada tapi tak pernah muncul di hadapanku… aku akan mati bagaimana?”

“Menghembuskan napas terakhir di ruang operasi…” … juga terus sendirian dan tersiksa selama seminggu penuh sebelum meninggal. Lanjutnya dalam hati.

“Hn.”

Sunyi lagi. Tapi mata mereka tetap bertemu.

“Naruto… berapa lama lagi?”

“…kurang dari dua menit lagi.”

Sasuke lalu menghembuskan napas panjang… tak banyak lagi kesempatan baginya untuk bisa bernapas.

“Boleh… kau menciumku? Untuk yang terakhir.” Pinta Sasuke.

Naruto mengangguk lemah. Pemuda pirang itupun mendekat perlahan. Tetapi, saat wajah mereka berhadapan dengan bibir yang belum juga bertemu, tangan Sasuke menghentikan Naruto. Jemari itu menyentuh dagunya, mempertemukan pandangan kedua pasang mata mereka.

“Aku ingin kau tahu. Aku tak menyesal menghabiskan sisa waktuku denganmu.” Kata Sasuke.

“…ya,” balas Naruto, menyentuh dahi Sasuke dengan dahinya, “aku juga.”

Kontak mata itu tak terputus. Naruto mendekat, menghabiskan sisa jarak mereka, menyentuh kedua bibir Sasuke dengan bibirnya. Kedua mata mereka tertutup. Terus ia sentuh bibir itu, ia kecup dengan lembut, hingga Sasuke tak lagi bernapas. Nyawanya sudah tiada. Telah terkirim ke atas sana.

Naruto menarik bibirnya, tapi masih tetap memposisikan wajahnya di hadapan wajah Sasuke. Ia menatap pemuda itu, menatap tubuh pemuda itu yang tidak lagi bernyawa. Wajah itu terlihat pucat. Matanya onyx hitamnya yang indah tertutup rapat. Tapi bibirnya tersenyum, meskipun amat tipis. Benar-benar damai.

Setetes cairan jatuh ke pipi Sasuke. Setetes cairan yang manusia sebut air mata, yang sesungguhnya sangat jarang keluar dari mata para malaikat. Tetes demi tetes itu berjatuhan dari mata biru indah yang menjadi saksi dari kematian Sasuke. Terus menerus jatuh, tapi sang malaikat tak ‘kan peduli. Pemuda pirang itu lalu duduk dan menutupi kedua bibirnya sendiri. Bibir yang baru saja ia gunakan untuk mencium sasuke. Bibir yang baru saja dikecup oleh pemuda bermata onyx itu sebelum ia pergi.

Kenapa… kenapa harus dia…?
…kenapa harus aku…?

“Sasu…ke…” lirihnya.

Airmata semakin deras mengalir di wajahnya.

“SASUKE…!!”

Naruto melangkah pelan. Seminggu sudah terlewati. Seminggu… ya, seminggu. Hanya butuh waktu seminggu untuk bisa jatuh cinta pada Sasuke… Tapi kini, meski seminggu telah terlewati, semua kisahnya dengan Sasuke masih terasa bagaikan terjadi kemarin. Naruto kini akan bertemu Jiraiya, baru saja ia mendapat panggilan dari leader Dark Division itu. Sepertinya akan ada tugas baru… tapi Naruto tak peduli. Ia datang bukan untuk menerima tugas.

Ia akan menjadikan Sasuke yang terakhir. Yang terakhir. Ia tidak mau kalau harus menerima tugas lain dan bertemu Sasuke lainnya. Jatuh hati dengan manusia lainnya… meski ia tahu hatinya tidak mungkin semudah itu jatuh lagi.

Naruto telah berhadapan dengan pria tua dengan rambut perak itu. Jiraiyapun langsung menghadangnya dengan kalimat,

“Ada tugas baru.”

Naruto tak lagi membuang waktu, ia langsung mengutarakan niatnya datang ke sana.

“Aku ingin mengundurkan di…”

“Tunggu! Tunggu!” seru pria tua itu, “Diam dulu. Kau dengarkan aku dulu.”

Pria itu lalu membuang napas panjang dan berkata…

“Kau dipecat.”

Naruto memandang heran pada sang malaikat utama. Bukannya tadi dia bilang tugas baru? Lalu kenapa sekarang…?

“Ya, kau dipecat dari Dark Division. Kau harus masuk ke Heaven Division.”

“…heh?” balas Naruto.

Jiraiya memijit-mijit kepalanya dengan tangan kanannya.

“Kau sudah berbuat apa sih?! Tsunade menghubungiku semalaman, menyuruhku memecatmu dan memindahkanmu ke Heaven Division. Ada anak yang tidak lupa pada malaikat kematiannya dan malah berharap untuk bisa berada bersama malaikat itu selamanya! Gila… seharusnya semua roh lupa akan hidupnya… tapi yang ini… haah…”

Naruto terpaku dengan mulut terbuka. Butuh lebih dari sepuluh detik baginya untuk mengerti arti dari rentetan kalimat Jiraiya. Heaven Division, malaikat khusus untuk mengurusi semua permintaan para manusia yang telah masuk surga, permintaan macam apapun. Lalu Tsunade, sang malaikat utama Heaven Division, memintanya pindah ke sana. Dan berikut… tidak lupa pada malaikat kematiannya…? Mata biru Naruto lalu melebar…

Di-dia…!!

“Ya, dia. Pergilah cepat! Aku malas mengurusi malaikat kematian sebodoh kau!”

Senyuman lebar terukir di wajah Naruto…

“Makasih, Jiraiya-sensei!!” ia menghambur dan memeluk sang leader Dark Division itu. ‘…Jiraiya-sensei? Di saat seperti ini barulah ia mau mengatakan itu.’ Kata hati Jiraiya sambil mengusap kepala Naruto.

“Sampai jumpa!!”

Naruto pun langsung menghilang dari tempat itu.

Sekarang pemuda berambut pirang itu ada di hadapan sebuah rumah… Sebuah rumah yang sama persis dengan rumah yang ia tinggali seminggu lalu. Bedanya, rumah ini bukan rumah di dunia…

Dasar teme… ia benar-benar sayang rumahnya rupanya.

Naruto pun berdiri di depan pintu rumah itu. Berpikir. Apa dia akan langsung masuk saja… atau mengetuk pintu dulu…? Mengetuk pintu rumah di surga? Malaikatpun merasa itu aneh… Banyak roh manusia yang tidak minta rumah. Biasanya mereka malah meminta taman yang luas atau pantai yang kosong. Toh mereka bisa me-request cuaca sesuka mereka… Jadi tak ‘kan khawatir kedinginan ataupun kehujanan.

Pintu rumah itu tiba-tiba terbuka.

Mata biru bertemu pandang dengan mata onyx.

“Aku punya firasat kau akan datang.” Kata pemuda berambut hitam itu sambil tersenyum tipis.

Naruto membalasnya dengan cengiran,

“Kalau kau sudah memintanya, tidak mungkin tidak terkabul. Tapi kenapa kau bisa ingat…?”

Sasuke tersenyum,

“Itu karena kita mengharapkan hal yang sama, dobe.”

Pemuda berambut pirang lalu menarik Sasuke dalam pelukan erat, ia berkata,

“Hn. Terserah kau saja, teme!”

“…kau meniru kata-kataku.”

“Biar saja! Aku rindu padamu, tahu!”

Fin

fanfiction, sasunaru, fanfiction.net

Previous post Next post
Up