The Angel Series: The Light Angel

Feb 19, 2009 17:51


Udara di luar begitu panas menyengat. Serangga-serangga musim panas saling bersahut-sahutan. Hanya angin semilir saja yang sesekali bertiup dan menggerakkan lonceng angin di pintu samping rumah itu. Sang pemilik rumah tengah duduk di terasnya dan mengipasi dirinya. Di sebelahnya, seekor kucing hitam sedang sibuk makan dari mangkuknya. Pemuda pirang itu melihat kucing kesayangannya dengan senyuman lebar. Sesekali ia mengelus-elus kepala sang kucing hitam itu sambil tertawa. Kucingnya tetap cuek, tak peduli pada sang tuan dan terus saja makan. Pemuda bermata biru itu juga tak peduli. Biar bagaimanapun, sang kucing tetaplah satu-satunya makhluk yang menemaninya di rumah ini…

Ups. Satu?

Sebenarnya ada satu lagi.

Satu makhluk yang keberadaannya tak terlihat oleh sang pemilik rumah. Seseorang, atau tepatnya sesuatu yang tengah duduk di kursi dalam rumahnya sembari menatapnya tajam. Makhluk bermata onyx yang tengah menggerutu di dalam hatinya,

“Kenapa aku harus menjaga orang membosankan ini?”

The Light Angel

“Tolong Sasuke, kau harus menjaganya.” Kata sang kakak padanya.

Mata onyx hitamnya melebar dan alisnya berkernyit, ia hanya membalas pendek,

“Hah..?”

Bingung, ya bingung. Tentu saja dia bingung. Siapapun di dunia malaikat tahu, malaikat amatir yang belum lulus sekolah malaikat belum boleh melakukan apapun untuk manusia. Sekalipun malaikat itu adalah Uchiha Sasuke, murid terbaik di sekolahnya. Dan sekalipun yang memintanya adalah Uchiha Itachi, salah satu malaikat dengan pangkat tinggi di Light Division, divisi khusus malaikat penjaga manusia.

Terlebih, Sasuke memang tidak mau melakukan apapun di saat liburannya ini… tidak liburan sekalipun, ia hanya malaikat malang yang ingin sekali beristirahat dengan leluasa. Ia sudah merencanakan liburannya dengan sempurna: ia akan menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku kesayangannya di atas sofa biru kesayangannya, di dalam perpustakaan kesayangannya pula.

Cita-cita sang jenius ini hanya satu, menjadi Free Angel. Ya, Free Angel, malaikat yang bebas karena tidak lagi harus menjaga manusia. Sayangnya hanya ada satu cara untuk menjadi Free Angel, menjaga manusia itu hingga ia meninggal. Saat sang manusia tiada lagi di dunia, itulah saat sang malaikat menjadi malaikat bebas.

“Aku sudah memohon pada Kakashi-senpai, dia memberi izin khusus bagimu untuk menggantikan pekerjaanku sementara. Lagipula kau sedang liburan ‘kan? Aku harus pergi meninggalkan orang yang kujaga karena ada tugas lain.” Balas Itachi. Semuanya masih dalam nada yang datar, tapi Sasuke tahu kakaknya sebenarnya tengah memohon kepadanya.

“Tidak. Memangnya tidak ada yang lain? Aniki punya banyak bawahan ‘kan?” balas Sasuke dingin sambil melengos dari kakaknya dan berniat untuk pergi. Tapi langkahnya terhenti seketika saat mendengar balasan dari sang kakak…

“Sudah kuduga permohonan tidak bisa menggerakkan hatimu,” katanya. Sang Uchiha lalu mengaktifkan sharigan-nya dan menatap tajam pada adiknya, “Ini perintah.”

Sasuke terpaku.

…sial.

Dan di sinilah ia sekarang. Tidak terasa… ah, tepatnya sangat terasa… dan malaikat satu ini memang menghitungnya, telah seminggu ia ada di sini. Di sebuah rumah sederhana bergaya Jepang yang ada di pinggir kota. Rumah yang ditinggali oleh seorang pemuda pirang bermata biru bernama Uzumaki Naruto. Ya, pemuda itulah yang harus di jaganya. Pemuda bermata biru langit yang sangat cinta ramen, penggila oranye, dan juga amat berisik. Ia hanya tinggal dengan seekor kucing hitam yang dia beri nama Puma. Tinggal sendirian, tanpa orang tua, tanpa keluarga. Pekerjaannya hanyalah pergi ke sekolah, singgah beli ramen, dan pulang ke rumah. Ke sekolah, ramen dan rumah. Sesekali pergi ke mini market untuk belanja. Itu saja. Berulang-ulang kali. Membosankan ‘kan?

Ya, membosankan.

Sasuke berpikir keras… apa gunanya berbagai keahlian melindungi yang diajar di kelasnya untuk orang seperti ini? Tidak ada gunanya pelindung peluru untuk orang yang tak pernah berurusan dengan pistol. Tidak ada gunanya pelindung benda tajam dari orang yang tidak bisa membedakan katana dan pisau. Tidak ada gunanya kemampuan mempengaruhi gravitasi dan merubah cuaca untuk orang yang kerjanya hanya di dalam rumah saja. Bahkan, tidak ada gunanya sharingan legendaris yang hanya dimiliki oleh para malaikat dari keluarga Uchiha untuk pemuda pirang yang tidak pernah disentuh bahaya ini!

Haaah… menyebalkan.

Kalau saja Naruto bukan orang semembosankan ini, mungkin Sasuke akan lebih senang. Bisa mempraktekkan semua yang telah diajarkan padanya, juga bisa merasakan bagaimana rasanya melindungi seorang manusia.

Tapi… bagaimana mau melindungi kalau tidak ada bahaya yang datang? Bagaimana bisa bergerak kalau yang perlu dia lakukan sekarang hanyalah menjadi saksi atas apa pun yang dilakukan pemuda pirang itu setiap detiknya? Hanya jadi ‘saksi’… mungkin lebih seperti security camera yang tak bisa berbuat apa-apa… tidak lebih!

Ia ingin pulang. Pulang dan membaca buku-buku kesayangannya yang selalu setia menunggunya, juga membaca buku-buku di perpustakaan keluarganya yang belum juga sempat ia sentuh. Pulang dan menikmati sofa biru yang empuk di perpustakaan keluarganya, yang memang sudah jadi singgasananya sejak Itachi mulai jarang pulang ke rumah. Ia ingin pulang dan meninggalkan orang membosankan ini!

Tapi tidak bisa. Itulah pekerjaannya sekarang. Sampai Itachi selesai dengan urusannya di perbatasan, ia harus terus menjaga pemuda ini. Meski begitu, ada satu hal yang ia herankan… mengapa dari sekian banyak malaikat yang sedang tidak bertugas, malah dia yang Itachi pilih untuk menjaga orang ini? Kenapa harus Sasuke yang menjaganya sampai Itachi rela meminta pada atasannya Kakashi?

Sasuke menghembuskan napas dan mengutuk Naruto dalam hati.

Dasar pemalas! Minimal lakukanlah sesuatu yang berbahaya! Panjat tebing, menyelam ke dasar laut, berurusan dengan mafia… atau apalah! Jangan jadi orang yang membosankan seperti ini! Setelah sekolah selesai, kau langsung pulang ke rumah dan bermain dengan kucing… apa enaknya?

Sempat terbesit di otak Sasuke… mungkin akan lebih baik kalau nanti ia tidak usah melindungi orang ini… Kalau si pirang ini mati, saat itu juga dia akan jadi free angel!

Tapi lagi-lagi tidak bisa…

Mau dikemanakan harga dirinya sebagai malaikat terbaik di Light Class? Mau dikemanakan harga dirinya sebagai seorang Uchiha? Mau dikemanakan harga dirinya sebagai pemilik sharingan legendaris itu? Mau dikemanakan harga dirinya sebagai adik dari salah satu leader Light Division?

Mau tidak mau Sasuke harus melindungi pemuda blonde itu… mau atau tidak mau…!

Tapi tetap saja ia kesal…

Kenapa aku harus menjaga orang membosankan ini?

Malam tiba.

Gelap, sangat gelap. Bintang-bintang bersembunyi di balik awan. Mendung, tapi tak hujan. Membuat lembab suasana, tapi tak mendinginkan malam. Cuaca yang menyebalkan. Tapi malaikat yang satu ini tak peduli, ia tidak mau capek-capek menggunakan cakranya untuk bisa merubah cuaca malam ini. Bukan itu yang sedang dipikirkannya. Sementara sang pemilik rumah dan kucing peliharaannya tertidur lelap, ia duduk di atap rumah a la Jepang yang sederhana itu…

Sasuke menutup kedua mata onyx hitamnya.

Ia sedang mencoba untuk mengontak kakaknya…

“Aniki, kapan pekerjaanmu selesai?”

Sunyi beberapa detik, hingga terdengar balasan yang mengiang di otaknya…

“…kenapa outotou? Tumben kau rindu padaku…”

“Si, siapa yang rindu? Cepat-cepatlah selesaikan tugasmu, supaya aku tidak perlu lama-lama menjaga orang membosankan ini!”

“… membosankan?”

“Ya! Membosankan! Aku heran kenapa aniki bisa menjaga orang ini bertahun-tahun! Ia membosankan sekali! Kerjanya hanya makan, tidur, dan sekolah! Memangnya tidak ada hal lain yang bisa ia kerjakan?! Entah bagaimana kerjanya kalau liburan musim panas nanti!”

Sasuke mendengar kakaknya tertawa sejenak sebelum membalas,

“Itu karena kau belum mengenalnya, outotou. Aku sudah menjadi malaikat penjaganya sejak lahir, aku tahu seluruh kisah hidupnya, dan juga sifatnya. Tapi aku tidak bosan. Kau hanya belum tahu dia saja.”

“Lalu, apanya dari dia yang tidak membosankan?”

“Pertanyaan bagus,” balas sang kakak, “Yang pasti kalau kau yang harus jadi dia, belum tentu kau bisa bertahan sampai sekarang.”

“…maksud aniki?”

“…ceritanya panjang. Sejak ia lahir ia tak lagi punya orang tua. Ayahnya meninggal ketika ia masih dalam kandungan. Malaikat kematian menjemput ibunya semenit setelah ia lahir. Yang merawat dan membiayainya adalah Sarutobi, walikota di kota itu.”

“Bagian mananya yang sehebat itu sampai membuat aniki berkata aku belum tentu mampu jadi dia?” Sasuke mulai protes.

“Aku belum selesai.” Kata Itachi, “…ia sudah harus tinggal sendiri sejak kecil. Lebih buruk lagi, di rumah maupun di sekolah, ia tak punya teman. Orang-orang dewasa di kota itu mempengaruhi mereka untuk menjauhinya. Semua itu karena ibunya bukan penduduk asli kota ini. Ibunya adalah pendatang dari negeri lain yang lalu menikah dengan Minato, wakil walikota di sana. Sepertinya karena Minato memang terkenal, banyak wanita yang iri pada ibu Naruto. Jadinya ketika Naruto lahir, banyak orang dewasa yang tidak mau menerima keberadaannya. Kecuali sang walikota sendiri.”

“Hn.” Entah Sasuke harus membalas apa, ia mulai bimbang sekarang.

“Tidak jarang Naruto diperlakukan buruk di sekolahnya. Mulai dari kejahilan kecil semacam mencoret tempat duduk dan mejanya, sampai pemukulan dan penganiayaan. Sampai sekarang aku memang selalu bisa melindungi dirinya. Tapi bukan berarti aku bisa melindungi batinnya kan? Ia hanyalah anak kesepian yang butuh teman, tapi malah mendapat perlakuan kejam dari orang-orang di sekitarnya. Meskipun begitu…” terdengar jeda sejenak sebelum Itachi melanjutkan, “Meskipun begitu, ia masih bisa bertahan. Ia masih mampu bertahan dan terus tersenyum. Coba kau pikir Sasuke, apa kau mampu melakukan itu semua kalau kau yang ada di pihaknya? Kalau kau yang jadi dia, apakah kau masih bisa tersenyum menghadapi hari-harimu?”

Sasuke membisu. Tak ada kata yang bisa ia keluarkan. Sehebat itukah pemuda itu?

“Ada satu lagi yang sangat menarik darinya. Dia bisa…” terdengar nada antusias dari Itachi, tapi ia lalu berhenti, “Sudahlah. Tidak akan seru kalau kuberitahu sekarang.”

“…Dia bisa apa?”

“Sampai jumpa, Outotou.”

Itachi memutus kontak.

“Fwaaaah! Enaknyaaaa….!” Ucap pemuda pirang itu sambil menepuk-nepuk perutnya yang kenyang.

‘Biarpun sudah diceritakan seperti itu… bagiku dia tetap saja orang aneh yang maniak ramen…’ ujar Sasuke dalam hati, keheranan dengan tingkah pemuda di depannya itu.

Naruto bangkit dari kursinya dan langsung membereskan mangkuk-mangkuk ramen di atas meja makannya. Tak lupa bibirnya bernyanyi-nyanyi kecil, melantunkan lagu aneh yang tak pernah Sasuke dengar seumur hidupnya. Puma-chan, sang kucing hitam peliharaan Naruto, berbaring malas di bawah meja makan. Sedangkan Sasuke tetap di tempatnya, di kursi yang tadinya berhadapan dengan kursi yang Naruto duduki. Tangan putih pucatnya memangku dagunya. Sementara kedua mata onyx hitamnya tetap melirik ke Naruto, memperhatikan semua yang ia perbuat.

Naruto meletakkan piring dan mangkuk-mangkuk oranye itu di wastafel yang berada sangat dekat dengan meja makannya, ia berkata,

“Ramennya enak sekali, lho…”

‘Hn. Bukan Cuma maniak ramen… juga orang aneh yang bicara dengan kucing.’

“Sayang sekali kau tidak bisa memakannya, ya…” ucap Naruto sambil membuka keran air di wastafelnya, “tuan Malaikat.”

DEG!

Andaikata ia punya jantung, bisa dipastikan jantung Sasuke akan berhenti berdetak saat ini juga. Tapi malaikat tak punya. Yang pasti, Sasuke sangat terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia terpaku di tempatnya.

‘…aku tidak salah dengar, ‘kan?’ balas Sasuke dalam hati.

Naruto bersiul-siul kecil sambil mencuci piring-piring dan mangkuk kotornya. Tampaknya ia tak peduli dengan reaksi Sasuke… ah, tepatnya ia tak tahu bagaimana reaksi Sasuke. Toh ia memang tak bisa melihatnya…

“Entah kenapa, kurasa kau berbeda… ataukah kau malaikat yang lain? Yah… aku tidak bisa melihatmu sih, jadinya aku tidak tahu. Tapi sepertinya begitu…” bibir Naruto merenggut sambil menjelaskan.

Ya, walaupun ingin, ia tak bisa melihatnya. Naruto hanya bisa merasakan keberadaannya saja. Hanya itu.

Dan walaupun Sasuke ingin, ia memang tak bisa menampakkan dirinya. Hanya Dark Division, divisi khusus Malaikat Kematian, yang tahu bagaimana cara menampakkan diri di depan manusia.

Sasuke bangkit dari kursi dan berdiri di sisi kiri Naruto. Menatap tepat ke wajah pemuda bermata biru itu, meski yang bersangkutan hanya fokus pada piring-piringnya.

“Apa kau bisa mendengarku?” tanya Sasuke.

Tak ada balasan.

Naruto terus melakukan pekerjaannya, tak membalas. Dan memang tak mendengar.

“Jadi begitu… kau bisa merasakan kami, tapi tak bisa melihat dan mendengar kami ya…?” Ucap Sasuke, lebih kepada dirinya sendiri. Toh ia tahu, Naruto tak bisa melihatnya.

“Uuh… jadi merinding!” ucap Naruto tiba-tiba sambil menyentuh lengan bagian kirinya, lengan yang berada sangat dekat dengan Sasuke, “Jangan berdiri di situ, kau membuatku tidak enak!”

Sasuke mundur teratur… dengan kesal tentunya.

Dasar orang menyebalkan!

Sasuke duduk kembali di tempatnya, di kursi yang ada di sisi meja makan itu. Setelah itu, Puma tiba-tiba bangkit dari baringnya. Dengan empat kaki kecilnya ia melangkah menuju teras rumah Naruto. Teras kayu yang berhubungan langsung dengan ruang tengah, ruang keluarga sekaligus ruang makan Naruto itu. Di teras itu, ia duduk manis. Mata merahnya menatap angkasa. Ia lalu mengeong-ngeong, meminta perhatian sang tuan.

“Kenapa Puma?” balas Naruto dari dapur, tahu persis ia tengah dipanggil oleh kucing kesayangannya.

Sang kucing memanggil lagi. Narutopun langsung mengelap tangannya yang basah. Ia melangkah pelan menuju Puma yang tengah duduk di teras. Tapi tiba-tiba ia berhenti saat telinganya mendengar suara dentuman keras, sementara kedua mata birunya menangkap kilatan cahaya berwarna warni di langit.

“Kembang api!!” pekik Naruto senang, sangat senang.

“Waah… Puma pintar! Kucing siapa dulu!” kata Naruto bersemangat sambil mematikan lampu di ruangannya.

Naruto memang suka melihat kembang api. Tapi sejak dulu, ia tidak pernah pergi langsung ke tempat festival kembang api itu diadakan. Ah, sebenarnya ia pernah pergi sekali. Itu mungkin jadi yang pertama dan terakhir. Ketika ia baru berusia tiga tahun, dan Sarutobi-sama mengajaknya pergi. Tapi itu jadi yang terakhir… karena ia masih ingat persis, bahkan saat Sarutobi-sama masih ada di sisinya, semua orang di sana menatapnya tajam. Membuatnya seolah menjadi makhluk paling buruk di dunia. Itulah mengapa sudah jadi kebiasaannya untuk menonton kembang api dari rumah saja. Dan Naruto tak pernah lupa untuk selalu mematikan lampu di rumah sebelum menonton kembang api dari jauh, dari teras rumahnya itu.

Naruto duduk di sebelah kanan Puma, tangan kirinya mengelus kepala kucing itu dengan gemas, sebelum akhirnya ia menarik Puma ke pangkuannya.

“Cantiknya…” ucap Naruto sambil terus melihat bunga-bunga api yang seolah sedang menari di angkasa. Ia lalu membuka mulutnya lagi…

“Hei, tuan malaikat. Untuk apa kau bergelap-gelapan di situ? Kemarilah. Kembang apinya keren, lho!” seru Naruto tanpa mengalihkan pandangan dari langit. Ia tahu Sasuke masih tetap di belakangnya, di tempat duduknya itu.

‘Kalau aku mau, aku bisa terbang langsung ke langit sana, tahu…’ balasnya ketus dalam hati. Tapi berlawanan dengan protesnya, ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju teras. Pemuda berambut hitam itu lalu mengambil tempat di sisi kiri Naruto dan duduk di sana.

Suara kembang api berdentum lagi. Percikan cahaya berwarna-warni memenuhi langit lagi.

“Indah, ‘kan…?” tanya pemuda berambut pirang itu takjub. Mata birunya terus saja memandang ke langit, mengamati warna-warni yang menghiasi langit malam.

Mata onyx hitam Sasuke memandang wajah bahagia pemuda di sisinya itu. Lalu ia menatap ke langit yang penuh dengan percikan bunga api. Ia bertanya-tanya, mana sesungguhnya yang lebih indah… bunga api di langit itu, ataukah pemuda yang ada di sisinya?

Tapi, tanpa sadar mulutnya mengiyakan,

“Hn.”

Sekali lagi, tanpa sadar. Naruto ‘kan tidak bisa mendengarnya?

Puma bangkit dari pembaringannya di pangkuan Naruto. Kucing hitam muda itu mendekat pada Sasuke. Mata merahnya menatap tepat ke mata onyx Sasuke. Ya, hewan apapun memang mampu melihat malaikat. Bahkan bukan hanya hewan, anak manusia yang masih sangat polos dan belum pernah berbuat jahat pasti mampu untuk melihatnya…

“Miau.” Puma mengeong pada Sasuke.

Kucing hitam inipun mengelus-eluskan kepalanya di paha pemuda bermata onyx itu. Sasuke akhirnya mengelus dagu sang kucing hingga Puma menekur. Naruto menyaksikan semua ini dengan mata biru langitnya. Meski ia tak bisa melihat langsung, ia tahu persis, sang malaikat tengah memanjakan satu-satunya peliharaannya itu.

Sang kucing lalu kembali pada Naruto dan mengeong lagi.

“Humm? Tamu kita bilang ‘iya’? Dia suka kembang apinya?” tanya Naruto riang sambil menarik Puma dalam dekapannya.

“Miau.” Balas Puma manis.

Sebuah senyum terukir di wajah Sasuke.

“Memangnya sejak kapan kau bisa bahasa kucing, dobe?” tanya hatinya.

Mata biru Naruto beralih dari Puma ke teras kosong di sebelah kirinya. Teras kosong yang ia tahu persis sebenarnya tidak kosong.

Ia tersenyum manis ke arah itu dan berkata,

“Rasanya senang sekali mengetahui ada yang lain selain aku dan Puma di rumah ini.”

Sasuke terhenyak sekaligus terkesima… betapa indah senyum itu… dan senyum itu ditujukan untuknya! Bukan untuk Puma… bukan untuk Itachi… bukan untuk siapapun… tapi untuk Sasuke.

Andaikata ia punya Jantung, ia pasti sudah berdebar-debar sekarang.

“Andai… andai saja aku bisa melihatmu.” Ucap Naruto.

Sasuke membalas dalam hati,
‘Ya… andai saja kau bisa melihatku.’

Malam ini masih sama seperti malam-malam musim panas sebelumnya… angin hanya sesekali berhembus, dan udara sama sekali tidak dingin. Tapi malam ini ada orang bodoh yang dengan sengaja membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Sengaja, berharap angin dingin mau masuk dan menyapanya. Lebih bodoh lagi, orang itu meninggalkan jendelanya terbuka dan pergi ke alam mimpi. Sedikit banyak ini terjadi karena ia yakin dirinya akan baik-baik saja. Ia percaya, makhluk tak terlihat yang selalu ada di dekatnya itu pastilah akan melindunginya.

Sang malaikat kini duduk di ranjang pemuda pirang itu. Memandangi sosok punggung dari pemuda yang sedang tertidur lelap itu. Sedangkan sang kucing juga tidur dengan nyenyaknya di atas ranjang, dekat kaki Naruto. Mata onyx hitam Sasuke terus saja memperhatikannya.

Betapa indah makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini. Malaikat-malaikat di sekitar Sasuke sekalipun kalah dengan keindahannya. Rambutnya yang pirang… matanya yang biru. Bibirnya yang lembut. Kulit tannya yang halus… sungguh, ingin sekali ia menyentuhnya.

Sasuke pun bergerak perlahan. Mengecup punggung Naruto.

‘Andai saja aku bisa berwujud…’

Baru kali ini, baru kali ini ia berharap bisa menjadi seorang manusia… meski hanya sekali saja. Ia mengecup punggung itu lagi, lagi dan lagi… lalu…

“…ngh. Geli, Puma…” lirih Naruto, masih dengan mata yang tertutup.

Sasuke terkesiap.

Dia bisa merasakannya?

Sasukepun mendekat lagi. Menciumi punggung itu lagi…

“…ah…” Naruto mulai mendesah. Tapi Sasuke tak berhenti.

“Puma, sto…!” seruan Naruto terpotong. Ia berniat menegur kucingnya. Tapi ia sadar, tak ada kucing di punggungnya. Kosong. Tak ada siapa-siapa di sisinya. Bahkan Puma sendiri terus tidur dengan nyaman di dekat kakinya.

Naruto terdiam. Ia tak dapat berkata apa-apa. Ia tahu siapa yang mengganggunya. Dan kini ia tak tahu harus berkata apa. Entah harus terus marah… atau malah…

Naruto pun berbaring lagi. Ia memeluk bantal gulingnya erat. Rona merah menghiasi pipinya dengan sempurna. Iapun mencoba menutup mata lagi. Mencoba tidur lagi.

Sampai… rasa geli dan merangsang itu mendera punggungnya lagi.

“…mmh…” Naruto mencoba untuk diam, tapi suara-suara itu terus saja meluncur dari bibirnya. Rangsangan di punggungnya semakin menjadi. Mulai menyebar ke pundaknya, ke lehernya, juga ke pinggangnya. Ia tidak tahan lagi dan…

“B-berhenti! Kubilang berhenti!” pekik Naruto sambil bangkit dan memegangi punggungnya.

Makhluk bermata onyx yang tak terlihat itu mundur perlahan.

Naruto pun berkata lemah dengan kepala tertunduk,

“Ma-maaf. Ak-aku hanya ingin tidur…”

Iapun berbaring lagi, kali ini dengan posisi tidur terlentang. Berharap sisa-sisa getar aneh di punggungnya bisa segera lenyap. Ia menutup matanya lagi. Mencoba tidur lagi…

Tapi ada satu sentuhan lagi yang ia rasakan…

Sebuah kecupan manis di pipinya.

Itu yang terakhir.

“Aniki.”

“Hn?” balas sang kakak dari seberang.

“Aniki…” Sasuke diam, ia tak melanjutkan kalimatnya. Otaknya buntu. Ingin sekali ia menceritakan semua yang terjadi padanya beberapa hari terakhir ini… tapi… apa sang kakak akan memaafkannya kalau tahu ia telah jatuh cinta pada manusia? Sungguh. Dia sendiripun belum tentu bisa memaafkan dirinya. Tapi… Sasuke sudah tidak bisa mengendalikan perasaannya lagi…

Itachi, yang mendengarkan jeda panjang dari Sasuke, mencoba untuk menebak sendiri.

“Kalau kau minta untuk digantikan, bersabarlah sedikit lagi. Tidak lama lagi ini akan selesai.” Kata sang kakak.

“Selesai? Apa… aniki akan segera kembali?” Sasuke mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan, “Aku… sebenarnya aku ingin meminta pada aniki …bolehkah aku terus menjaga anak itu?”

“…eh?” butuh waktu beberapa detik bagi Itachi untuk bisa paham apa maksud adiknya.

“Bisakah aniki meminta pada Hatake-sama agar aku resmi menjadi malaikat penjaganya?”

Hening sejenak.

Sasuke bisa mendengar kakaknya membuang napas panjang sebelum membalas.

“Outo… Sasuke,” kata Itachi, ada getar dalam suaranya, “Aku sudah meminta pada Kakashi-senpai untuk menjadikanmu malaikat penjaga utamanya.”

“Benarkah..?” balas Sasuke segera, ia gagal menyembunyikan rasa senangnya.

“Tapi…” kakaknya terdengar ragu.

“Tapi apa...?”

“Ah, sudahlah. Maaf outotou, aku masih punya pekerjaan lain.”

Itachi memutus kontak.

Sasuke terdiam sambil bertanya-tanya dalam hati.

Tapi… tapi apa…?

Hari masih terbilang pagi, meski sinar mentari sudah cukup menghangatkan bumi.

Pemuda pirang yang memakai kaos hitam dan celana panjang dengan warna senada itu tengah menuangkan isi dari sebungkus makanan kucing ke mangkuk oranye milik kucingnya.

“Hmmf… itu yang terakhir, Puma. Makanmu banyak sekali…! Sepertinya aku harus beli makanan kucing lagi.” Kata Naruto. Iapun membuang bungkus itu di tempat sampah. Naruto kembali mengelap rambut pirangnya yang masih basah itu dengan handuk putih yang ia sampirkan di tengkuknya. Yap, dia memang baru saja selesai mandi. Tepatnya, baru saja bangun dari tidur nyenyaknya.

Naruto lalu berjalan menuju lemari es-nya yang berwarna perak dan membuka pintunya. Ia menunduk di depan kulkas yang terbuka itu, dengan tangan kiri yang tetap mengusapi kepalanya dengan handuk. Pandangan mata birunya menjelajahi isi kulkasi peraknya itu…

“…ng… yang habis bukan Cuma makanan kucing rupanya.”

‘Ya, yang rakus bukan kucingmu saja.’ Balas Sasuke sinis.

Naruto bangkit dan melirik ke kalender di atas kulkasnya.

“Hari sabtu… yeah! Waktunya belanja!” serunya bersemangat.

Sasuke hanya bisa geleng-geleng kepala dan menghembuskan napas panjang.

Naruto lalu menyambar jaket oranye dan sneakers putih miliknya. Dengan cepat ia memakai kedua benda itu dan berseru,

“Ayo, Mr. Angel!”

“MR. ANGEL??” ulang Sasuke, “Norak, tahu!!”

Pemuda berambut pirang itu naik ke dalam bus. Ia segera melangkahkan kakinya ke tempat kesukaannya, kursi bus yang terletak paling belakang. Bus ini agak kosong. Wajar, ini bukan hari kerja… dan liburan musim panas belum juga selesai. Memang, akhir minggu seharusnya ramai. Tapi paling-paling keramaian itu muncul sejak sore hingga malam. Terlebih lagi, lebih banyak orang yang akan memilih pergi naik kereta ketimbang bus.

Pemuda bermata biru itu mengambil posisi duduk yang enak untuknya. Ia menyandarkan diri di kursi dan membuka jendela agar angin bisa masuk.

Ia suka angin. Tak peduli angin bisa membuat rambutnya yang berantakan jadi makin berantakan. Angin membuatnya nyaman, menghilangkan penatnya dengan sempurna. Memberi oksigen lagi bagi paru-parunya.

Ia suka angin, dan ia suka malaikat penjaganya.

Sebuah makhluk yang tak bisa dilihatnya, tapi bisa dirasakannya. Ia suka dengan malaikat penjaganya yang dulu, tapi ia lebih suka yang ini. Makhluk tak berwujud ini mampu membuatnya merasa nyaman. Mengenyahkan semua rasa takutnya. Menghilangkan semua rasa kesepiannya. Membuatnya tahu bahwa ia tak sendirian. Bahkan… mampu membuatnya jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.

Naruto menutup kedua mata birunya, menikmati terpaan angin yang lembut di wajahnya. Juga menikmati keberadaan sang malaikat di sisinya.

Kedua mata biru itu tiba-tiba terbuka. Ia lalu mempelototi jalan yang tengah dilewati bus ini lewat jendelanya…

“A-aku tertidur! Astaga… dimana ini?!” serunya panik.

“Pemberhentian berikut!” ucap sang kondektur, bersamaan dengan berhentinya bus.

“Hhhh… mau ke mini market kok malah nyasar di pertokoan?” keluhnya.

‘Pucuk dicinta ulam tiba…?’ Ejek Sasuke dalam hati.

“Yah… sekali-sekali tidak apa-apa ‘kan?” ucap Naruto. Kakinyapun mulai melangkah ringan, “Come on, Mr. Angel!”

“Berhenti memanggilku dengan nama aneh itu, dobe!”

Pemuda pirang itu berjalan sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Kini ia berada di depan sebuah gedung tinggi yang masih dibangun. Mata birunya melirik ke orang-orang yang tengah bekerja untuk membuat gedung itu. Ia pikir, mungkin gedung ini akan jadi gedung yang keren kalau selesai nanti.

Tak lama, telinganya menangkap suara yang berasal dari atas gedung…

”Awas!!”

“…eh?” Ia mendongak, mata birunya mendapati sebuah balok besi besar sedang jatuh… tepat ke arahnya! Sedetik kemudian, sesuatu yang tak terlihat mendorongnya hingga ia terjatuh, beberapa langkah dari tempatnya berdiri tadi.

BRAKKK!

Balok besi besar itu sampai ke tanah. Sempat menggetarkan tempat ia terduduk sekarang. Hanya beberapa inchi, hanya beberapa inchi saja balok besi itu dari ujung kakinya.

“Nya-nyaris!” ucapnya dengan wajah pucat.

Sasuke menghembuskan napas panjang.

Ya, nyaris saja. Kalau ia terlambat memusatkan kekuatannya untuk mengatur gravitasi dan mendorong Naruto, bisa dipastikan pemuda itu sudah berada di bawah balok besi itu.

“Ka-kau tidak apa-apa?” para pekerja bangunan itu mendatanginya.

Naruto hanya bisa nyengir hambar,

“Ya… aku tidak apa-apa.”

Supermarket itu tak begitu sepi, tapi juga tak bisa disebut ramai. Ini memang masih terlalu pagi untuk ukuran supermarket yang buka dari jam 9.00 sampai jam 3.00 dini hari.

Naruto sedang berpikir dan menimbang-nimbang makanan mana yang akan ia beli untuk kucing kesayangannya itu.

“Hm… akhir-akhir ini Puma ‘kan makannya banyak… apa sekalian beli yang besar saja ya? Di mini market itu ‘kan tidak ada yang bungkusannnya sebesar ini… Yap. Yang besar saja.”

Naruto meraih sekotak besar makanan kucing itu. Iapun mulai melangkah. Ia memang sudah selesai dengan belanjaannya dan bersiap untuk pergi ke kasir. Tapi, hanya beberapa detik setelahnya, rak tinggi besar yang penuh dengan barang dagangan itu jatuh ke arahnya…

Sekali lagi, suatu kekuatan tak terlihat mendorong Naruto hingga Naruto terhindar dari rak besi itu.

“Ka… kaget aku! Astaga…” pekik Naruto sambil menyentuh dadanya.

Para pegawai di supermarket itupun segera datang dan berusaha memperbaiki kerusakan yang terjadi.

Naruto melangkah ke luar toko pakaian itu sambil garuk-garuk kepala…

“Apa ini Cuma perasaanku… atau ini memang hari sialku, ya?”

“Bukan Cuma perasaanmu!” balas Sasuke segera, meski ia tahu itu tak akan terdengar oleh Naruto.

Sasuke sendiri capek melindungi Naruto sedari tadi. Bukan hanya balok besi dan rak tinggi di supermarket… Kaca besar yang pecah dan hampir menimpa Naruto, pisau tajam yang terlempar dari atraksi keliling, api yang tiba-tiba menyala dari kompor yang sedang di uji coba di mall, dan terakhir… pintu ruang ganti di toko pakaian yang macet dan membuat Naruto terkurung lebih dari sejam.

Apa-apaan ini? Tuhan, mengapa sekalinya anak pingitan ini keluar rumah malah kesialan bertubi-tubi yang mendatanginya?

“Apa mungkin… karena aku belum sarapan dari rumah ya?” Naruto mencoba-coba menebak, ia lalu memegangi perutnya yang mulai berbunyi, “Ngomong-ngomong soal sarapan… aku lapar… ng, cari makan, yuk!”

Narutopun berjalan, ia lalu berhenti di depan sebuah rumah makan. ‘Sushi House’ itu yang tertulis di depan pintunya.

“Sekali-sekali bukan ramen tak apa-apa ‘kan?”

Semangkuk sup bening beserta beberapa potong Sushi baru saja tersaji di hadapan Naruto.

Mata birunya mengamati makanan itu…

“…kok rasanya Sushi ini aneh ya? Apa karena aku terlalu sering makan ramen sampai-sampai Sushi saja kelihatan asing?”

‘Tidak… sepertinya memang ada yang aneh.’ Balas Sasuke dalam hati.

Iapun mengaktifkan Sharingan-nya dan menyelidiki makanan Naruto. Tak lupa ia mengamati makanan lain di rumah makan ini…

“Itadakimass…!” Seru Naruto senang dengan tangan yang memegang sumpit, bersiap menjepit salah satu Sushi dan langsung memasukkannya ke dalam mulut. Tapi gagal. Piringnya tiba-tiba saja bergeser dan kedua sumpit itu menjepit udara kosong dengan sukses.

“Heeei!”

“Makanan ini berbahaya, tahu! Sudah basi!” kata Sasuke, sayangnya Naruto tak bisa mendengarnya sama sekali.

Kedua tangan tan itu berusaha mengambil Sushinya lagi…

Dan piring bergeser lagi.

“Hei! Mr. Angel! Apa-apaan sih? Aku lapar, teme! Kalau kau juga lapar, bilang dong!” Naruto berteriak-teriak sendiri seperti orang gila. Tapi ia tak peduli orang-orang menatapnya aneh. Ia sedang dalam pertarungan satu lawan satu untuk menyelamatkan makanannya yang diculik oleh makhluk tak terlihat.

Kali ini, ia mengambil dan memegang piringnya erat… sampai… sesuatu mendorong tangannya dan piring itu jatuh ke lantai. Sushi-sushi berhamburan…

“Kau…” Naruto menggeram emosi. Hampir saja ia akan berteriak lebih gila lagi, tapi terhenti. Terhenti oleh suara berisik dari meja di belakangnya. Naruto berbalik dan mendapati seorang gadis jatuh pingsan di atas meja itu.

“Eeh?” Naruto kebingungan. Belum juga kebingungannya terjawab, suara lain terdengar di telinganya.

“Pe, perutku!” Seorang pria memekik sembari memegangi perutnya, lalu muntah.

“Hah…?”

Langit mendung. Ternyata selama Naruto berada di gedung pusat perbelanjaan, di luar sana hujan. Terotoar yang diinjaknya kini masih basah akan air hujan. Jalan-jalanpun begitu.

“…keracunan makanan… baru kali ini aku melihatnya sendiri. Ternyata lebih mengerikan dari pada kedengarannya…”

“Kalau aku tidak melarangmu, kau juga jadi salah satu korbannya, dobe!” balas Sasuke emosi sambil melayang-layang di atas Naruto.

Naruto menghela napas panjang…

“Mr. Angel… ah, bukan… norak ya? Aku tidak tahu namamu sih… ng, Tuan Malaikat!” panggil Naruto, “Kau pasti sudah berusaha keras menjagaku hari ini… jadi… terima kasih, terima kasih banyak.”

Naruto tersenyum ke langit, ke tempat Sasuke berada sekarang.

Sasuke balas tersenyum tipis, meski ia tahu Naruto tak mungkin melihatnya.

Narutopun berjalan lagi di atas terotoar yang masih basah itu. Ia lalu melihat sesosok makhluk kecil lemah tepat di pinggir terotoar, di atas jalan beraspal hitam itu.

“Kucing! Kucing kecil!! Heei… kenapa kau sendirian di sini?” Naruto menunduk dan mengelus-ngelus kucing kecil berwarna putih yang basah itu.

Sasuke tersenyum lagi melihat pemandangan ini. Dasar Naruto… ia jadi ingin tahu bagaimana kisah lengkap Puma bersama pemuda ini.

“Ck. Mendokusai…”

Sasuke mendengar seseorang berucap, mata onyx hitamnya mendapati sesosok malaikat yang amat dikenalnya sedang melayang tak jauh darinya…

“Dari tadi kau mengganggu pekerjaanku, Uchiha.” Kata pemuda itu dengan wajah malas.

Dia Shikamaru Nara… si jenius dari Dark Division, divisi Malaikat Kematian... Tu, tunggu, Dark Division?!

“Ini memang waktunya.” Ucap Shikamaru pendek, membalas pikiran Sasuke.

Sasuke segera berbalik dan melihat ke arah pemuda pirang itu.

“Naruto!!”

Seketika itu juga, sebuah mobil pick up berwarna hijau tua kehilangan kendali karena jalan yang basah, berbelok tanpa arah dan kemudian menabrak tubuh pemuda itu…

“NARUTO!!!” Seru Sasuke lagi sambil terbang mendekati tubuh yang kini terbaring lemah di atas aspal hitam yang basah itu… basah akan air hujan dan darah segar yang mengalir dari tubuhnya.

Naruto lalu membuka dekapan tangannya, kucing kecil putih itu turun dari sana.

“Syukurlah kau tak apa-apa…” kata Naruto pada sang kucing yang mengeong-ngeong, tak paham apa yang sedang terjadi.

“Naruto! Naruto!!”

Pemuda itu mendengar seseorang memanggilnya. Dengan sisa-sisa kekuatan terakhirnya pemuda berambut pirang ini mengadah ke arah suara itu. Mata biru yang hanya bisa terbuka separuh itu bertemu pandang dengan sepasang mata onyx. Dua mata onyx hitam indah yang sedari kemarin sangat ingin dilihatnya.

Naruto tersenyum, tersenyum sangat tulus pada Sasuke.

“A-akhirnya… aku bisa melihatmu.” Lirihnya.

“Na-Naruto… Naruto…!” Suara Sasuke bergetar, air mata memenuhi dua mata onyxnya.

Naruto tesenyum lagi untuk yang terakhir.

Mata biru itupun semakin sayup… semakin sayup tertutup hingga akhirnya benar-benar tertutup. Dan tak terbuka lagi untuk selamanya…

Uchiha Sasuke

Division: The Light Division

Status: Free Angel

Pemuda berambut hitam itu berbaring di atas sofa birunya. Sofa biru yang dirindukannya. Tapi tiba-tiba saja menjadi tidak berarti.

Ia sedang berada di perpustakaan keluarganya, tempat kesayangannya. Tapi juga tiba-tiba saja tak lagi jadi tempat kesayangannya.

Buku-buku yang beberapa minggu lalu begitu ingin ia baca, jadi sangat membosankan… padahal dia bahkan belum membaca isinya. Buku-buku itu hanya tergeletak lemah di atas meja. Tak tersentuh. Tak terbaca.

Dua mata onyx hitam itu tertutup rapat. Ia sedang mencoba untuk tidur di atas sofanya itu. Sudah beberapa hari terlewati olehnya tanpa bisa tidur sama sekali. Peristiwa itu terus berulang di otaknya. Peristiwa itu, peristiwa kematian Naruto. Detik demi detik yang terlewati saat itu terekam baik di otaknya, dan juga terus terputar tanpa bisa berhenti. Berkali-kali ia mencoba lupa, tapi ia tak bisa. Malaikat tak seperti manusia yang bisa melupakan sesuatu. Sekali sesuatu hal terjadi padanya, ia akan selalu mengingatnya. Tak bisa ia hapus, tak bisa ia lupakan. Sasuke sudah berusaha untuk menggantinya dengan kenangan indah yang ia lalui bersama Naruto… tapi sama saja. Yang manapun menyedihkan. Sangat menyedihkan.

Sasuke akhirnya paham, mengapa Tuhan membuat peraturan aneh semacam Free Angel itu…

Tak ada… sekiranya tak akan ada malaikat penjaga yang akan bahagia kalau manusia yang dijaganya itu mati. Tak akan ada malaikat yang senang kalau manusia yang telah dijaganya sejak lahir harus pergi meninggalkan dunia. Sasuke baru menjaga Naruto selama tiga minggu… dan dia tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan malaikat yang telah menjaga seorang manusia selama bertahun-tahun.

“Aku pulang.”

Sasuke mendengar suara seseorang yang amat di kenalnya.

Tak lama, orang itu masuk ke perpustakaan tempat Sasuke berada. Pemuda ini membuka matanya. Tapi kedua mata onyx ini hanya melirik sejenak pada orang itu, sang kakak.

“Outotou, ada yang ingin bertemu denganmu.”

Sasuke membalik tubuhnya membelakangi Itachi, menghadap ke sofa biru itu.

“Aku tidak mau bertemu siapapun.” Katanya dingin.

Itachi membalas,

“Sampai kapan kau mau bersikap seperti anak kecil, Sasuke?”

Sasuke kehilangan kendali akan emosinya. Ia segera bangkit dan duduk di sofa itu sambil membalas keras,

“Aniki yang bersikap seperti anak kecil! Aniki tahu dia akan mati ‘kan? Makanya aniki menyerahkannya padaku!!”

“Sasuke,” Itachi berusaha untuk menjelaskan, tapi Sasuke tak mau mendengarkannya.

“…kenapa aniki? Kenapa harus aku? Kenapa kau pertemukan dia denganku? Lalu… kenapa setelah bertemu dengannya dia malah harus pergi dariku?” getar memenuhi suara Sasuke.

Hening sejenak. Dua pemilik mata onyx ini hanya saling memandang. Itachi bisa membaca kekecewaan dan kesedihan mendalam yang membayang di mata onyx Sasuke. Itachi bisa tahu bagaimana hancurnya perasaan Sasuke sekarang.

“Sasuke… aku memang sengaja melimpahkannya padamu saat tahu malaikat kematian akan menjemputnya. Tapi itu untukmu,” Kata Itachi. Mata Sasuke melebar, hampir saja ia membalas sengit lagi, tapi Itachi sudah melanjutkan, “Bukankah… sejak dulu kau ingin menjadi free angel? Aku membiarkanmu menjaganya agar kau bisa jadi Free Angel yang kau dambakan itu.”

Sasuke terhenyak. Ia berniat membalas tapi tak mampu. Kacau sudah pikirannya.

Ya… ya, dia memang ingin jadi free angel. Tapi ia tak pernah tahu itu akan sesakit ini… sesedih ini. Ia tak tahu. Dan kini bukan itu yang ia mau. Bukan! Bukan kematian pemuda pirang itu…

Sasuke tertunduk lemas, kedua telapak tangannya memegang rambut hitamnya dengan frustasi. Ia sudah tak tahan lagi… ini benar-benar terlalu berat.

“Kau benar-benar sedang kacau… sampai-sampai lupa peraturan lain di sini.” kata Itachi.

Sasuke tak membalas, kepalanya masih menunduk. Ia masih tenggelam di dunianya sendiri. Matanya masih menatap ke lantai yang kosong. Itachi melanjutkan,

“Coba kau ingat peraturan ayat 113.”

Tak ada jawaban. Sasuke malah mengubah posisinya dan kembali berbaring membelakangi Itachi. Saat ini bukanlah peraturan apapun yang ingin didengar atau diingatnya. Hanya ada satu kata, satu nama, atau tepatnya satu orang yang terus saja berngiang di kepalanya. Dan hanya nama itu yang akan ia biarkan berada di sana saat ini. Hanya dia, hanya Naruto.

Itachi membuang napas dan kemudian beranjak pergi,

“Tamumu ada di depan, jangan biarkan dia lama menunggumu. Aku masih banyak pekerjaan lain.”

Sang kakak pergi meninggalkan Sasuke, berniat kembali ke tempat kerjanya.

Sasuke menutup kedua mata onyxnya lagi. Kepalanya terasa sungguh berat… andai saja… andai saja ia tak pernah bertemu Naruto, mungkin ia masih akan baik-baik saja. Tapi kalau dia tidak pernah bertemu dengan pemuda bermata biru itu, dan tahu bahwa dia punya kesempatan bertemu dengannya… mungkin ia juga akan menyesalinya. Sekarang dia telah pergi… telah pergi dan tidak akan kembali lagi.

Malaikat… tak semudah itu bisa mencari roh manusia yang telah meninggal di alam sana. Apalagi kalau itu bukan tugas mereka. Free Angel… itu membuat Sasuke bebas dari tugas apapun, dan dia juga jadi tidak punya hak untuk melakukan apapun sekalipun ingin. Ia tak pernah tahu, menjadi Free Angel justru seberat ini.

Tuhan… kenapa Kau pertemukan kami justru di saat ia harus pergi…?

Kenapa ia harus pergi? Kenapa…

Tanya Sasuke terhenti. Seseorang menyentuh pundaknya, menyadarkan ia dari lamunnya.

“Pergi, aniki! Uruslah apapun yang mau kau urusi itu. Jangan ganggu aku lagi!” serunya tanpa berbalik ke belakang.

Hening selama beberapa detik, sampai akhirnya Sasuke mendengar balasan.

“Sayang sekali aku bukan aniki-mu. Dan maaf kalau aku mengganggumu, tapi aku malas menunggu lama di depan sana.”

Sasuke tercekat.

Suara ini… suara ini! Apakah karena Sasuke sungguh ingin bertemu dengannya hingga suara itu terdengar begitu mirip dengannya? Ataukah ia salah dengar? Atau…

Sasuke segera berbalik sekaligus bangkit dari tidurnya.

Iapun melihat pemuda itu. Pemuda bermata biru dan berambut pirang yang amat ingin ditemuinya. Pemuda yang tengah menatap tepat ke mata onyxnya.

Untuk beberapa detik, Sasuke terpaku. Terpaku karena sebuah pertanyaan besar yang menggantung di kepalanya…

Ke-kenapa…?

Peraturan 113

Manusia yang diperlakukan semena-mena oleh manusia di sekitarnya, tapi meninggal tanpa dendam akan terlahir kembali menjadi malaikat.

…ah!!

Pemuda berambut pirang itu pun akhirnya tersenyum, ia lalu mengulurkan tangannya pada Sasuke,

“Uchiha Sasuke, ‘kan? Aku Uzumaki Naruto, sa…”

Perkenalannya terpotong, Sasuke menarik tubuhnya dalam pelukan pemuda bermata onyx itu. Sasuke memejamkan matanya… hangat, ia tak lagi mati. Ia hidup. Ia hidup, dan ia bisa melihatku.

Kedua tangan tan itu balas memeluk Sasuke. Bibirnya menyunggingkan senyum lagi dan melanjutkan,

“Salam kenal, Mr. Angel…”

Sebuah senyum muncul di wajah Sasuke.

"Hn. Salam kenal."

Fin

fanfiction, sasunaru, fanfiction.net

Previous post Next post
Up