FanFic SagaxShou "Waterfall"

May 07, 2011 13:49


Title                 :           “ Waterfall ”
Chapter           :           1 of ?
Author             :           Sakamoto ‘Caprii’ Kazamasa
Genre              :           BL/Yaoi, Romance, Fluff, AU
Rating             :           PG-13
Fandom           :           Alice Nine (for this chapter)
Pairing             :           Double S à Saga x Shou
Disclaimer       :           Saga is Shou’s seme, Shou is Saga’s uke . . Saga and Shou is my hubby lalala *plakk*
Warning          :           Don’t ever read this if you didn’t like Yaoi. Unbeta-Ed.
A/N                 :           After a long long time . . finally I’ve made Saga Shou fic again . . yatta !! Oh, jika ada kesamaan nama dan sifat itu memang saya sengaja. Tapi jika ada kesamaan cerita itu berarti anda mencontek fic saya *dicemplungin jurang*. I’m NOT a Copycat. Cerita ini murni dari OTAK saya. Jangan pernah meng-copy dan menyebarkan fic ini tanpa ijin saya dan credit.

Summary         :           Inilah sebenarnya yang sudah kutunggu dari tadi. Kesempatan untuk berdua saja dengannya. Sehingga dia akan memusatkan fokus hanya kepadaku.


Saga’s PoV

Lagi, kau berikan senyum cemerlangmu itu kepada semua penonton yang dengan setia berdiri sejak tadi hingga konser berakhir demi melihat penampilan kita di atas panggung. Senyuman yang amat manis sehingga aku rela melakukan apapun demi mendapatkan senyumanmu itu. Senyuman yang sangat tulus. Senyuman yang dapat membuat siapapun bertekuk lutut. Senyuman yang kuharap akan menjadi milikku seorang.

Apa kau tahu? Ada perasaan aneh yang kurasakan saat kau membagi senyum indahmu itu untuk orang lain. Ada sebersit rasa kesal di hatiku. Seperti ada naga yang sangat ingin keluar dari dalam diriku saat aku melihatmu memberikan senyuman indahmu itu untuk semua orang. Tidak hanya untukku. Tapi apa hakku? Aku hanya temanmu. Bassist di dalam band yang kau bentuk sejak awal dengan Tora, kawanmu di band sebelumnya.

“ Whuah~~ itu tadi konser yang terbaik yang pernah kita lakukan,” Hiroto, si kecil yang selalu menjadi pusat perhatianmu itu berteriak dengan ceria sesampainya di ruang make-up. Seakan tak pernah lelah.

“ Iya . . meskipun sangat melelahkan tapi aku puas. Great job teman-teman,” sang leader mengulaskan senyum imutnya, kemudian menepuk bahu kiriku dari belakang. “ Kau keren Saga,” imbuhnya kemudian.

“ Haha, sankyuu . . kita semua hebat malam ini kurasa,” benar kami semua cukup hebat malam ini. Puas sekali rasanya bisa membuat para penggemar berteriak, tersenyum, dan bahagia karena lagu-lagu yang kami bawakan. Rasa lelah yang sudah menghinggapiku beberapa hari belakangan ini pun seakan terangkat saat melihat senyum mereka. Tetapi rasanya semua permainan kami akan sia-sia jika tidak ada seseorang itu. Jika tidak ada dia di tengah panggung rasanya permainan bass-ku, melodi indah gitar Hiroto, tarian jemari Tora di gitarnya, atau gebukan drum Nao tak akan ada artinya.

“ Ne~ Saga-kun . . ada apa denganmu? Kita baru menyelesaikan semuanya dan kurasa kita cukup berhasil. Kita akan merayakan semua ini dengan berpesta. Kita layak mendapatkan itu. Tetapi kenapa kau malah tidak semangat begitu? ” seseorang menepuk bahuku lagi. Tetapi bukan sang leader yang melakukannya kali ini. Suara itu. Suara yang sangat kukenal. Suara yang lebih indah dari instrumen apapun di dunia ini. Suara emas yang melambungkan nama band kami.

“ Ah tidak apa-apa Shou. Aku hanya capek saja,” kuulaskan senyuman di wajahku yang berkeringat. Akhirnya ia datang padaku dan menanyakan keadaanku setelah sebelumnya sibuk bersalaman dan berpelukan dengan member lain.

“ Hontou ka? Apakah pestanya kita tunda saja teman-teman? Sepertinya Saga-kun sedang tidak enak badan,” tersirat nada khawatir dalam suaranya. Oh, apakah kau mengkhawatirkanku?

Menahan keinginanku untuk memeluknya karena kekhawatirannya yang memang wajar karena dia sangat perhatian kepada kami semua, kugelengkan kepalaku.

“ Aku tidak apa-apa. Tenang saja, aku hanya errr~ sedikit lelah kau tahu.”

“ Kau kecapekan Saga?” Tora membungkukkan badannya menghadap kepadaku yang memang tengah duduk di kursi di depan meja rias dan menyandarkan kepalaku di bantalannya.

“ Tidak juga. Sungguh.”

Tora mengulurkan tangan kanannya kepadaku dan menarikku sehingga aku berdiri menghadap kepada tiga lainnya.

“ Oh ayolah kawan-kawan, aku bukannya sakit parah atau apa. Hanya sedikit lelah, kenapa kalian begitu mengkhawatirkanku?” kuulaskan senyumku seraya mengedarkan pandangan ke semua member. Aku tahu semua merasa sangat lelah setelah semua ini. Tetapi aku juga tahu mereka sudah menantikan hari ini. Hari dimana konser kami berakhir untuk merayakan pesta.

Kulihat Nao menyunggingkan senyuman bijaksana, mengerti dengan keadaanku dan perasaanku yang akan merasa sangat tidak enak jika mereka menunda atau membatalkan pesta hanya karena aku. Hiroto sumringah, sangat bersemangat untuk melakukan pesta itu kurasa. Tora yang berada di depanku juga memberikan senyumnya yang menenangkan dan aku yakin ia mengerti dengan apa yang ada di otakku. Sedangkan dia, seperti tidak rela dengan keputusanku untuk tetap melanjutkan acara kami dan memilih untuk menghindari tatapan mataku. Kurasa ia terlalu mengkhawatirkanku. Jangan menyebutku besar kepala. Tapi itulah dia, selalu mengkhawatirkan yang lain dan mengesampingkan keinginan pribadinya. Lelaki yang sangat baik. Aku beruntung mempunyai teman sepertinya. Kuharap aku juga mempunyai kekasih sepertinya.

“ Aku tidak apa-apa Shou . . tenang saja,” aku menoleh dan tersenyum kepadanya yang tepat berada di sebelah kananku. Kubelai rambut cokelat keemasannya sekilas untuk meyakinkannya bahwa aku tak apa-apa. Tak dapat kupungkiri hatiku melonjak gembira dengan ekspresinya yang terlihat sangat mengkhawatirkan keadaanku.

“ Yatta !! let’s go party guys !! ” si gitaris mungil kami melangkahkan kakinya dengan semangat sambil menggandeng tangan Tora dan Nao keluar dari ruang make-up. Meninggalkan aku berdua dengannya disini.

Atmosfer yang kurasakan sangat berbeda kini. Tidak ada tawa ceria Hiroto dan Nao. Atau Tora yang cool tapi sering memberikan celetukan-celetukan yang membuat kami tertawa. Tidak lagi ramai seperti saat kami bersama yang lain. Inilah sebenarnya yang sudah kutunggu dari tadi. Kesempatan untuk berdua saja dengannya. Sehingga dia akan memusatkan fokus hanya kepadaku. Sehingga senyum yang tak henti kuharapkan untuk menjadi milikku seorang akan terwujud meski hanya untuk sebentar saja.

Aku masih berdiri di depan cermin dan melepaskan jaket kulit yang kupakai saat konser. Menggantinya dengan kaos berwarna hitam polos dengan leher v-neck. Dapat kulihat dari pantulan cermin di depanku. Ia melakukan hal yang sama. Mengganti bajunya dengan kaos hitam dengan desain rumit yang aku tidak tahu apa maksud si designer membuat gambar seperti itu. Kami berdua memang yang paling terakhir masuk ke ruang make-up sehingga hanya kami yang belum mengganti pakaian kami.

“ Umm, Saga-kun apa kau sudah selesai? ” ia berkata pada akhirnya setelah menit-menit yang canggung di antara kami. Kulihat ia sudah siap dengan tas pinggul kecil yang tergantung di bahu kirinya dan jaket di genggaman tangan kanannya.

“ Yeah, kita turun sekarang? Oh, matte~” aku membungkukkan badanku untuk mengikat tali sepatu Macbeth hitamku.

Kulihat sepasang sepatu dengan merek sama, hanya model dan warna yang berbeda sangat dekat dengan posisiku kini. Kemudian tanpa aba-aba kurasakan sentuhan lembut tangan seseorang di puncak kepalaku.

Kutengadahkan kepalaku dengan cepat karena terlalu terkejut.

“ Ah, gomen ne Saga-kun. Ada confetti di rambutmu,” ia menunjukkan senyum yang sedari tadi kuinginkan itu dan menunjukkan confetti berwarna jingga di tangannya. Mungkin confetti berwarna jingga itu tersangkut di rambutku saat kami memberikan komentar di akhir konser yang kemudian berakhir dengan taburan confetti yang memang sudah disiapkan di atas set panggung.

“ Oh, arigatou~” ucapku singkat. Bahkan terkesan dingin mungkin. Bukan hanya itu yang ingin kukatakan atau lakukan sebenarnya. Lebih dari itu. Sungguh. Tetapi aku bukan orang yang ekspresif seperti Nao atau Hiroto.

“ Jadi, kita siap turun? ” kuanggukkan kepalaku sekilas untuk menjawab pertanyaannya.

“ Ah !! Chotto matte kudasai Saga-kun,” teriakannya yang tiba-tiba mengejutkanku dan membuatku menghentikan langkah menuju pintu.

Dengan sigap ia menarik lenganku dan membawaku ke depan cermin-lagi. Belum usai keterkejutanku, kulihat ia mengeluarkan I-Phone hitamnya. Memencet screen-nya menuju menu Camera dan . .

“ Kita ambil foto dulu ya. Ini akan ku upload di ameba-ku nanti,” ia tersenyum dengan manis. Membuatku tak tahan untuk memeluknya. Tapi tentu saja aku tidak berani melakukannya.

Setelah memastikan posisinya bagus untuk mengambil foto kami berdua-dengan memanfaatkan cermin di depan kami, ia memasang senyum itu-lagi-dan melingkarkan tangannya yang bebas ke bahuku. Oh, kurasa aku akan meledak karena gembira saat ini. Sedikit berlebihan memang, tapi itulah yang kurasakan.

“ Siap ya . . 1 . . 2 . . 3 . . cheese~” kuulaskan senyum di wajahku, memposisikan jari telunjuk dan jari tengahku membentuk huruf V.

Klik !

“ Yosh,” melepaskan lingkaran tangannya di bahuku, ia melihat hasil foto kami barusan. “ Wah bagus Saga-kun,” ia melanjutkan dengan senyum puas. “ Nah, ayo kita turun. Hiroto mungkin akan menggantung kita karena terlalu lama menunda pesta,” ia melangkahkan kakinya tanpa beban ke arah pintu, sedangkan aku mengikutinya dari belakang dengan senyum sumringah yang seakan tak rela pergi dari wajahku.

>> SS <<

Kami sudah sampai di depan cafe favorit kami kini. Hiroto yang memang semangat untuk melakukan pesta ini berjalan di depan mendahului kami. Di belakangnya tampak Tora tersenyum melihat tingkah Hiroto yang seperti bocah itu.

Aku berjalan di samping Shou yang sedang melihat-lihat langit di atas kami. Taburan bintang memperindah suasana malam ini. Betapa langit menggambarkan perasaanku saat ini. Cerah . . hanya saja rembulan tampaknya masih malu untuk menunjukkan dirinya. Ia memilih berlindung di belakang awan musim panas yang berarak. Indahnya . . tapi sungguh, tak ada yang lebih indah di dunia ini jika dibandingkan dengan makhluk yang sedang berjalan di sampingku ini. Mata bulatnya yang begitu indah. Bibirnya yang merah dan penuh. Kulitnya yang seputih susu. Rambut cokelat mahoni-nya yang membelai wajah cantiknya karena angin musim panas yang berhembus. Oh Tuhan . . bagaimana bisa Kau menciptakan makhluk seindah ini ?

“ Ne . . Kemana Nao-kun ??” suara manis itu lagi. Menyadarkanku dari khayalan indahku. Baru kusadari ternyata selama beberapa menit yang lalu mataku tak henti menatap paras indahnya.

“ Eh . . bukankah tadi dia bilang mau mampir di Starbucks seberang jalan sana ??” kuusap pelipisku dengan canggung.

“ Ah benar juga,” si menawan itu menepuk dahinya pelan. Ah ekspresi macam apa itu Shou? Sejak kapan kau jadi pelupa begini. “ Bukankah ia bisa mendapatkan Capucchino di dalam?? Kenapa harus repot-repot ke Starbucks.”

Kuangkat bahuku sekilas. “ Entahlah, dia kan penggila Starbucks kau tahu.”

Kedua temanku yang lain telah duduk manis menunggu kami di meja biasa. Tempat yang tidak terlalu mencolok dan sedikit berada di ujung Cafe. Tempat favorit kami. Letaknya berada di sisi kanan Cafe dan langsung menuju ke beranda belakang tempat orang-orang dapat menikmati kopi terkenal di Cafe ini sambil menikmati langit malam. Entahlah . . mungkin orang-orang melakukan itu jika hari sedang cerah seperti ini. Pilihan menggoda kurasa. Tapi kami tidak ingin mengambil resiko ketahuan oleh para fangirl. Akan sedikit menyusahkan dan tentu saja akan menghancurkan niat kami yang ingin bersantai.

Hiroto tengah melambaikan tangannya pada waitress yang berada di bar saat kami-aku dan Shou-sampai di meja nomor 33 itu.

Kuhenyakkan tubuhku ke sofa yang berada tepat di depan Tora dan Hiroto. Tapi aku baru menyadari kalau aku menempati tempat duduk yang salah. Bukan single sofa seperti yang biasa kududuki. Ini sofa dimana ‘dia’ biasa duduk.

Blukk !!

Kurasakan bantalan sofa di bawahku sedikit bergerak. Dan itu artinya, tentu saja sang ‘pemilik’ sofa ini sedang duduk di sampingku. Aku dapat melihatnya dari sudut mataku. Ia menjulurkan tangannya untuk menerima buku menu dari Tora. Bagaimana ini? Aku sungguh tidak bisa berada sedekat ini dengannya. Aku takut akan menjadi lepas kontrol saat mencium aroma tubuhnya. Menurut kalian apa yang akan kulakukan jika berada sedekat ini dengannya? Kau tahu bagaimana kami melakukan fanservice saat konser. Mungkin aku akan melakukan hal itu disini dan saat ini jika aku sampai kehilangan kontrol.

Jadi apakah aku harus berdiri dan pindah ke single sofa yang biasa kududuki sebelum melakukan hal yang akan membuatnya berpikir bahwa aku maniak? Tapi apa yang akan dipikirkannya nanti jika aku melakukan hal itu. Itu akan memberikannya kesan bahwa aku sedang menghindarinya. Ia akan berpikir buruk tentangku. Dan pilihan itu akan menjadi yang terburuk yang mungkin kulakukan. Jadi kuputuskan untuk tetap diam di posisiku. Berusaha bersikap santai meski hati ini bergejolak tidak karuan. Berusaha mengontrol diriku untuk tidak me’lahap’nya.

Kurebahkan kepalaku di bantalan sofa. Berusaha serileks mungkin. Kupejamkan kedua mataku. Hah~

“ Saga-kun . . kau mau pesan apa ??” suara indah itu mengalun kembali. Menyadarkanku yang setengah tertidur.

Ia mengguncang tubuhku pelan saat melihatku tak kunjung membuka kedua mataku.

“ Ah . . Ore wa juusu to sandoitchi ni suru wa.” Kuulaskan senyum sekilas ke arah waitress yang langsung mencatat pesananku.

~TSUZUKU

Next post
Up