Starring: Reita x Ruki (pasti)
Warning: written in indonesian
Chap: 16/??
genre: drama, romance
rating: PG-13
Disclaimer:
Cerita dibawah ini meminjam karakter dan jati diri banyak public figure. I’m not them, I do not own them either, and I don’t have any relationship with them. The story below just from my head and pure fiction. Tidak merusak lingkungan dan dijamin just for fun.
~.~.~.~.~
-
Parasnya pucat dan pandangannya menerawang. Gakuto memandang istrinya yang baru pulih dari histeris. Sudah dua bulan wanita itu dirawat di rumah sakit karena pendaharan parah yang dideritanya. Chiaki selamat, ya. Tapi tidak dengan putri mereka. Kandungan berusia delapan bulan yang berjenis kelamin perempuan itu tidak bisa selamat dari kecelakaan itu. Dan televisi tetap menyiarkan asumsi-asumsi publik tentang bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Entah bermulai dari mulut siapa, tersiarlah kalau Nyonya Suzuki yang cantiknya menyeramkan itu menderita depresi berat. Gakuto sudah bersusah payah menjaga agar berita ini tidak muncul sejak detik pertama ia menikahi Chiaki, tapi media massa memiliki cara sendiri untuk terus menggali berita.
Chiaki sudah pulih dari operasinya, dan karena ia tidak lagi berada di bawah efek obat bius, kesadarannya atas kehilangan bayinya membuatnya histeris. Menjerit-jerit dan menangis sejadinya, menjeritkan nama Hyde di setiap permintaan maafnya dan tidak mengenali Gakuto. Pihak rumah sakit pastinya sudah menutup rapat keanehan ini, karena tidak satupun media massa yang memuatnya, menjadikannya berita utama.
Saat Chiaki tidur, Gakuto akan berada di sampingnya, memandangi wajahnya yang pucat seperti kertas dengan sendu. Ia akan membelai rambut hitamnya yang sudah sangat panjang. Dan ia akan menangis. Gakuto tidak tahu mengapa dirinya menangis saat memandangi wanita itu. Ada sedikit rasa cemburunya pada Hyde, karena hanya lelaki itulah yang ada di pikiran, mimpi dan masa lalu Chiaki. Tentu, Gakuto sendiri masih mencintai Hyde. Tapi tidak bisa ia pungkiri kalau kini ia mencintai istrinya dan tidak ingin Chiaki mencintai orang lain selain dirinya.
Ketika Chiaki terbangun, ia akan histeris melihatnya. Maka ia tidak bisa mendekati wanita itu ketika ia sadar. Gakuto terpaksa menahan kepedihan hatinya saat Chiaki mencari-cari Hyde. Memohon-mohon pada suster untuk membawakan Hyde untuknya. Dan Gakuto tidak tahu pasti, apakah suster-suster itu tahu Hyde mana yang dimaksud Chiaki. Mereka tidak banyak berkomentar, dan mereka tidak pernah bertanya-tanya.
Gakuto mengabari Kyoko tentang musibah yang dialami Chiaki pada malam wanita itu jatuh dari tangga.
“Apa dia mati?” suara Kyoko sedatar tembok.
“Tidak, dia selamat… tapi bayinya tidak.”
“Kau hanya akan mengabari aku kalau dia sudah mati. Selain itu, anggap saja aku tidak punya hubungan apa-apa dengannya.”
Sambungan diputus.
~.~.~.~.~
Gadis itu memang terlihat depresi, Hyde mengingat-ingat. Saat ia mengajar putri Kuriyama itu dulu, ia tidak terlihat sehat. Wajahnya cekung dan rambut hitamnya yang panjang membuatnya tampak menakutkan. Hyde sedikit takut padanya, tapi ia tidak bisa tidak mengakui bahwa gadis itu sangat cantik. Gadis itu selalu tersenyum padanya, membuat wajahnya yang pucat itu menjadi sedikit berseri. Hyde melanjutkan membaca koran pagi yang terus menyelipkan berita-berita tentang Nyonya Suzuki itu. Tidak ada foto terbaru, hanya foto-foto lama saat putri Kuriyama itu masih remaja.
“Ada apa di dalam sana?” tiba-tiba Megumi muncul membawakan setangkup roti isi dan secangkir kopi. Hyde mendongak dari koran yang sedang dibacanya, memandang istrinya yang masih dalam balutan baju tidur.
“Berita biasa, tidak ada yang heboh.”
“Kau mengikuti berita keluarga Suzuki?” entah mengapa saat nama itu diucapkan, Hyde mendadak mulas.
“Tidak juga. Tapi berita itu selalu ada di koran yang aku baca, mau tidak mau akan terlihat olehku.” Hyde mengangkat bahu. Megumi tersenyum.
“Aku kasihan pada keluarga itu, mereka kehilangan anak yang sebentar lagi akan lahir dengan sehat.”
“Ya… membayangkannya saja sudah menyakitkan.”
“Aku ingin tinggal di kasur saja saat hamil nanti. Kau tahu, agar tidak terjadi apa-apa padaku dan bayiku.” Hyde tergelak.
“Kau tidak akan bisa menghabiskan hari hanya dengan diam di kasur.” Megumi menggeleng.
“Aku serius, Hyde. Aku tidak akan meninggalkan kasur saat hamil nanti.”
“Kita lihat saja, kau akan langsung turun dari kasur setiap pagi dan mengecek e-mail-mu lalu kau akan langsung bersiap-siap ke kantor, kau tidak akan mempedulikan aku yang akan mengingatkanmu agar kau jangan terlalu lelah bekerja karena kau sedang hamil.”
“Haha, lucu sekali Hyde. Kau memahamiku sampai ke akar-akar.” Megumi berdiri dan berjalan ke arah kamar mereka, bersiap-siap untuk ke kantornya.
“Mungkin aku akan mengikatmu di kasur, sampai saat kau melahirkan.” Gumam Hyde, ia tidak ingin anak mereka nanti bernasib sama dengan putri Gakuto.
~.~.~.~.~
Gakuto membutuhkan suster untuk menangani Chiaki. Dan setelah ia menempatkan suster itu di rumah mereka, ia baru menyadari kalau rumah mereka lebih banyak diisi oleh para pembantu. Tiga orang pembantu rumah tangga, dua orang tukang kebun dan satu suster. Dan karena mereka cukup berguna, Gakuto menukas ide untuk memberhentikan mereka.
Gakuto hanya akan masuk ke kamar mereka saat Chiaki sudah terlelap setelah meminum obatnya, dan akan keluar dari kamar mereka sebelum Chiaki bangun. Wanita itu akan tertidur selama delapan jam. Setelah delapan jam, Chiaki akan terbangun dan tidak akan tidur lagi hingga saat jam minum obat pada malam berikutnya.
Keadaan ini berlangsung selama berbulan-bulan dan Gakuto merindukan istrinya. Tapi ia tidak mungkin bisa menyentuhnya saat Chiaki sadar. Setiap malam, ia menahan keinginannya untuk menyentuh Chiaki pada saat wanita itu terlelap. Mungkin tidak apa-apa jika ia mencumbu istrinya yang tidak akan bangun di dalam pengaruh obatnya, tapi Gakuto tidak ingin meniduri istrinya dengan cara begitu. Terlalu dingin, dan Gakuto sudah muak dengan kondisi begitu.
Dan sesuatu melintas di kepalanya.
~.~.~.~.~
Gakuto memanggil suster yang menjaga Chiaki ke ruang kerjanya.
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan Suzuki?” tanya suster berparas keibuan itu. Gakuto menarik nafas, berusaha menyusun kata-katanya agar tidak terdengar aneh.
“Aku… aku ingin berbicara pada istriku. Bisakah… bisakah malam ini suster tidak memberinya obat tidur?” tanyanya. Si suster sedikit mengerutkan keningnya.
“Tapi Anda tahu Tuan, kalau Nyonya melihat Anda, Nyonya akan histeris. Lagi pula, Nyonya butuh istirahat malam.” Ujarnya.
“Aku tahu, tapi aku ingin mencobanya. Kalau dia histeris, suster akan tahu. Aku hanya butuh… mencobanya. Kita tidak akan pernah tahu kalau tidak pernah dicoba kan? Lagipula ini sudah hampir tujuh bulan, jadi kupikir… sudah saatnya aku membuatnya sadar atas keberadaanku.” Gakuto menarik nafas panjang. Si suster tampak berpikir sejenak, menimbang-nimbang keadaan.
“Baiklah, saya tidak akan memberinya obat tidur malam ini. Anda bisa memanggil saya kalau… keadaan menjadi sulit diatasi.”
“Suster akan segera tahu kalau situasi tidak terkendali.” Gumam Gakuto. Suara jeritan histeris Chiaki yang akan memberitahunya, tentu saja.
~.~.~.~.~
Gakuto menutup pintu teras kamar mereka setelah merapatkan gordennya. Chiaki sedang dimandikan oleh susternya dan akan selesai beberapa menit lagi. Sore menjelang malam yang gelap, karena mendung tebal bergelantungan di langit. Pasti akan turun hujan, begitu pikir Gakuto. Dan beberapa detik setelah ia berpikir seperti itu, satu titik air mengenai ujung hidungnya, menyusul dengan hujan deras yang tiba-tiba. Membuatnya basah kuyup dalam sekejap.
Pintu teras kamarnya terbuka dengan pelan,
“Tuan, apa Anda ingin masuk? Nyonya sudah selesai mandi…” ujar suster. Gakuto menggeleng.
“Nanti…”
“Anda bisa sakit kalau berdiri di bawah hujan, Tuan.” Suster itu mengingatan dengan was-was karena hujan semakin lebat. Gakuto menggeleng lagi,
“Aku tidak akan kenapa-kenapa. Tutup saja pintunya, suster…” si suster tidak bisa memaksa lagi, akhirnya ia menutup pintu teras itu. Gakuto berusaha menahan dinginnya hembusan angin, kemeja putihnya mencetak badannya yang kukuh dan air dengan licinnya merembes ke dalam kemejanya, mengalir menuruni punggungnya. Gakuto bergidik, kedinginan.
Setelah setengah jam, hujan masih begitu deras. Kamarnya terdengar hening dan Gakuto memutuskan untuk masuk. Menarik nafas dalam-dalam, ia membuka pintu teras itu dan menyibakkan gorgen putihnya, mendapati Chiaki tengah duduk di kasur.
Mata Chiaki menoleh padanya, dan reaksi wanita itu tepat seperti yang diharapkan Gakuto.
Matanya seketika berbinar, senyum cantik merekah di bibirnya yang pucat. Gakuto merasa bersalah, tapi ia menyingkirkan perasaan itu secepatnya dan membalas senyum Chiaki.
“Hyde…” Chiaki menghampiri suaminya dan memeluk tubuh basah itu. “Kau datang… aku sudah menunggumu, lama sekali…” ujar wanita itu.
Gakuto tidak bisa lebih sakit lagi, cemburu ganda yang menghantamnya membuatnya pusing. Cemburu pada keduanya. Ia merengkuh tubuh rapuh istrinya, berusaha untuk tidak menangis.
“Aku… disini untukmu, Chiaki…” bisiknya.
“Oh Hyde…” wanita itu menciumnya dengan lembut, “Kau harus tahu bahwa aku sangat membutuhkanmu. Mereka tidak membiarkan aku menemuimu.”
“Aku tahu.” Ujar Gakuto pelan. Chiaki menciumnya lagi, kali ini lebih lama hingga wanita itu kehabisan nafas.
“Ayo…” Chiaki menarik lengan Gakuto ke arah kasur.
~.~.~.~.~
“Hyde, aku rasa aku butuh ke dokter.” Megumi berjalan keluar dari kamar mandi, menunjukkan alat tes kehamilan pada Hyde. Hyde menatap alat itu sejenak,
“Karena kau belum hamil?” tanyanya. Megumi mengangguk.
“Ini mencemaskan, kita sudah hampir dua tahun menikah, tapi aku belum juga hamil. Aku takut kalau-kalau ada yang salah pada diriku.” Wajah Megumi diliputi kegalauan. Hyde tersenyum dan membelai rambut cokelat wanita itu.
“Tidak mungkin ada yang salah padamu, kau sempurna.” Ujarnya. Megumi tersenyum, pipinya memerah.
“Dulu aku tidak tahu kalau kau bisa semanis ini.” Hyde bergeser mendekat dan menciumnya.
“Hal itu tidak perlu diragukan, sekarang kau tahu kalau aku bisa menjadi sangat manis.” Bibirnya bergerak ke leher kecil Megumi dan meninggalkan gigitan kecil di setiap sentinya, Megumi mendesah pelan. Hyde bangkit dari berbaringnya dan bertumpu pada satu sikunya, membungkuk rendah di atas Megumi, “Kita coba lagi?” tanyanya.
“Mmmh~” Megumi tidak bisa menjawab karena bibir mereka telah bertaut.
~.~.~.~.~
Bukan hal yang mengherankan jika sebulan kemudian Chiaki mulai terlihat aneh. Ia tidak mau makan dan setiap pagi, ia akan lari ke kamar mandi dan muntah-muntah. Si suster tidak perlu bertanya ada apa, dengan pengalaman bekerja selama dua puluh tahun membuat suster itu menjadi sangat profesional. Ia segera mendapatkan alat tes kehamilan di peralatan medisnya dan mengambil sampel urin Nyonya Suzuki. Ia hanya bisa menarik nafas ketika tes kehamilan itu menunjukkan tanda positif.
Ia segera menemui Gakuto di ruang kerja pria itu.
“Ada apa?” tanya Gakuto saat suster itu telah masuk ke ruang kerjanya.
“Nyonya terlihat aneh dan saya melakukan tes kehamilan padanya.” Wajah Gakuto berubah,
“Hasilnya?”
“Positif, Tuan.” Si suster tidak mempertanyakan mengapa hal ini bisa terjadi. Ia sudah menduga, bahwa bulan lalu memang terjadi sesuatu di antara pasiennya dengan Tuan Suzuki. Yang tidak dimengertinya hanyalah, mengapa Nyonya Suzuki itu tidak menjerit ketika melihat suaminya? Apa yang dilakukan Gakuto merupakan misteri aneh bagi si suster.
“Apakah… tidak apa-apa jika dia mempertahankan kandungannya?” tanya Gakuto pada suster itu. Si suster mengangguk.
“Saya rasa tidak apa-apa, tapi penggunaan obat harus dihentikan. Tidak baik buat bayi. Saya tidak tahu apakah Nyonya akan baik-baik saja tanpa obat-obat itu.”
“Kita… bisa mencobanya kan? Maksudku…”
“Kita tidak akan pernah tahu, ya… saya rasa bisa, Tuan.” Suster itu mengangguk pelan. Gakuto menarik nafas.
“Terima kasih atas informasinya, suster…” kemudian wanita paruh baya itu keluar.
~.~.~.~.~
“Apa yang kau lakukan? Kau tidak kerja?” tanya Hyde ketika dilihatnya Megumi masih di atas kasur mereka, belum mandi.
“Aku memutuskan untuk mengambil cuti.” Megumi mengulum senyum. Hyde memandangnya tidak mengerti.
“Kenapa tiba-tiba sekali?” tanyanya.
“Aku sudah pernah bilang kalau aku tidak akan meninggalkan kasur kalau sedang hamil kan?” Megumi melambaikan alat tes kehamilan pada Hyde, “Hasilnya positif.”
Hyde tertegun memandangi alat tes kehamilan itu, kemudian tersenyum.
“Kau benar-benar akan tinggal di kasur selama hamil?”
“Tentu saja. Aku sudah mengirimkan e-mail ke asistenku agar dia membuatkanku surat cuti hamil.” Megumi tersenyum lebar, “Aku senang akhirnya aku bisa hamil, Hyde. Aku sungguh-sungguh senang.” Ujarnya bahagia. Hyde mendekatinya dan duduk di sampingnya.
“Aku juga bahagia untukmu…” ia mencium istrinya, “Aku tidak perlu mengikatmu kalau begitu.”
“Apa?”
“Aku berenca akan mengikatmu di kasur kalau kau sampai pergi kerja saat kau hamil.”
“Kau keterlaluan, Hyde!” Megumi tertawa, “Aku ingin masa hamilku menyenangkan, kau akan jadi budakku, Sayang. Aku bersumpah.” Megumi menjentik hidung mancung suaminya. Hyde ikut tertawa.
“Kau tahu aku akan benar-benar melakukannya.”
“Dan aku selalu mengambil keputusan tepat agar kau tak perlu repot-repot.” Megumi menyibakkan rambutnya yang ikal kecoklatan, “Aku selalu tepat.”
“Ya… aku beruntung memilikimu.”
== to be continue
A/N: lagi2 delay yg bgitu lama T^T mohon maaf sedalam2nya.. dan chapter berikutnya masi BUKAN REITUKI.. harap maklum *sujut2 kasi sajen bunga tuju rupa*