Mar 02, 2009 03:28
Starring: Reita x Ruki
Warning: written in Indonesian
Chap: 2/2
genre: weird romance as usual XDD
rating: PG-13
Disclaimer:
Cerita dibawah ini meminjam karakter dan jati diri personel band The GazettE. I’m not them, I do not own them either, and I don’t have any relationship with them. The story below just from my head and pure fiction. Tidak merusak lingkungan dan dijamin just for fun.
~.~.~.~.~
“Aku mendengar kemajuannya, selamat ya!” Kai menyongsong Reita yang sedang memasuki pintu rumah sakit pada minggu ketiga praktek mereka. Reita tersenyum dan menjabat tangan Kai yang tersodor padanya.
“Terima kasih. Kabarnya menyebar cepat sekali, padahal itu hanya reaksi yang kecil.”
“Setidaknya itu kemajuan.”
“Dia hanya tidak ketakutan jika melihatku. Pada orang lain, reaksinya masih sama.”
“Pelan-pelan, pasti keadaannya akan membaik. Itu tanda positif kan?” ujar Kai menyemangati. Reita mengangguk.
“Kau benar, pelan-pelan…”
~.~.~.~.~
Kejutan.
Ketika pagi itu Reita masuk ke kamar Ruki untuk pengecekan rutin, ia dikagetkan dengan kemajuan yang tak terduga.
“Selamat pagi, Takanori. Bagaimana tidurmu?” seperti biasa ia menyapa si pasien yang duduk di pojok-masih melarikan diri jika ada orang yang membuka pintu. Dan ketika mengetahui bahwa yang masuk adalah dokternya, ia dengan gontai kembali ke kasur. Sudah seminggu begitu, sejak Reita menemukan bahwa Ruki tidak lagi gemetar ketakutan melihatnya-seminggu yang lalu.
“…”
“Aku yakin tidurmu enak, wajahmu berseri.” Ujar Reita sambil tersenyum, menatap paras kosong yang disadarinya kini amat menawan-bersih tanpa cacat. Ia meraih statusnya dan mulai mencatat perkembangan pagi itu.
“Cerita lagi,”
Sepenggal kalimat itu membuat Reita hampir menjatuhkan statusnya. Ia menatap wajah Ruki dengan syok dan tiba-tiba saja tangannya gemetar.
“A-apa?” ia masih meragukan pendengarannya. Betulkah Takanori Matsumoto barusan berbicara?
“Cerita lagi. Aku senang mendengarmu bercerita.” Ruki berpaling dengan pelan, mengalihkan pandangan dari langit-langit ke wajah syok Reita-tersenyum untuk pertama kalinya.
“K-kau b-bicara? Ya tuhan…” Reita merasakan kepalanya berputar waktu matanya dengan seketika merekam senyum itu, senyum seorang malaikat.
“Ayo cerita, apa saja,” Ruki terus meminta dengan pelan, walaupun bagi Reita suaranya bagaikan genta gunung. Jernih dan entah mengapa membuatnya ingin menangis, memuja. Mungkin karena ia belum pernah mendengar suara yang seperti itu, suara Takanori Matsumoto.
Reita terduduk di kursi di samping tempat tidur, lemas karena syok dan lupa menulis di status tentang kemajuan ini.
“Kau… kau ingin aku cerita apa, Takanori?” tanyanya, tersengal.
“Ruki.”
“Ma-maaf?”
“Panggil aku Ruki, aku biasanya dipanggil begitu.”
Dia bahkan ingat namanya…
“Ruki… kau ingin aku cerita apa?”
“…”
“Ru-Ruki?”
“…”
Genta gunung itu terdiam lagi. Wajahnya kembali kosong. Reita menarik nafas.
Apa barusan aku berhalusinasi? Bisa gawat kalau aku menulis halusinasi di status… bisa-bisa aku yang akan dijebloskan kesini…
Dengan tangan yang goyah, Reita menyiapkan statusnya untuk ditulis.
Pasien berbicara, meminta dokter untuk bercerita apa saja. Pasien bahkan tersenyum ketika ia meminta dokternya bercerita. Entah ini halusinasi si dokter ataukah betulan, tidak ada yang tahu karena tidak ada saksi.
Reita terkekeh mendengar pikirannya sendiri.
Aku bisa dibantai dokter pembimbingku kalau menulis status seperti itu.
Kemudian ia menulis status sebagaimana seharusnya.
Ketika selesai, Reita menarik nafas dan bersiap-siap bercerita. Ia sudah menyiapkan satu cerita tentang kakeknya ketika ia menemukan mata besar Ruki terpaku padanya. Mata itu tetap jinak, memandang padanya dengan sorot ingin tahu. Reita berhasil menguasai diri,
“Baiklah, hari ini aku akan b-”
“Berapa umurmu?” tanya Ruki tiba-tiba.
“Eh? Itu… dua puluh dua…”
“Aku… aku dua puluh… Februari nanti aku jadi dua puluh satu.” Tangan Reita kini dengan sigap mencoreti status dengan setiap perkembangan mengejutkan dari Ruki.
Pasien ingat tanggal lahir dan umurnya.
“Wah, berarti sebentar lagi kau ulang tahun. Aku senang.” Ujar Reita, mengamati kestabilan emosi dan suara Ruki. Pemuda itu tersenyum pada dokternya, sangat manis. Mau tak mau Reita kembali terkesiap.
“Aku suka ulang tahun… banyak kado… dan ibuku akan membuat makanan enak.” Suara Ruki makin lancar.
“Eh… ya, pastinya begitu.” Reita menjadi was-was, dari pertama ia sudah mewanti-wanti diri sendiri agar tidak menyinggung masalah keluarga Ruki. Tapi sekarang pemuda berpostur mungil itu mengungkitnya sendiri.
“Ibu… kau tahu dimana ibuku?” Ruki menggeser tubuhnya ke pinggir kasur, tepat menghadapi Reita yang duduk di samping kasur itu. Reita menengadah menatap wajah yang berseri itu, apa jadinya kalau tiba-tiba trauma itu menyerangnya lagi? Apakah Ruki akan kembali takut padanya?
“Itu…”
“Ibuku sangat cantik… kau harus melihatnya. Tidak ada yang lebih cantik dari dia, kau pasti ingin melihatnya.”
“Y-ya, aku ingin sekali, Ta -eh, Ruki…” Reita mengawasinya tersenyum bak malaikat, senyum itu membuatnya sangat-sangat memikat. Reita tidak tahu mengapa ketiga-belas penjahat itu mampu berbuat nista padanya.
Ruki itu cantik. Dalam artian lebih mendalam.
Kemudian Ruki meluncur turun dari kasurnya dan berdiri di hadapan Reita, mengulurkan tangannya yang pucat untuk menyentuh rambut pirang Reita yang tergerai menutupi sebelah matanya.
“I like you… I like you a lot.” Ujarnya pelan. Reita bersusah payah menelan ludah di tenggorokannya yang mendadak tercekat.
“I… I can say that I like you too…” ujarnya kering. Ruki tersenyum.
“Would you stay here forever? Be with me? You’re a nice guy… unlike… unlike…” tiba-tiba saja Ruki memucat dan tubuhnya menggigil.
“Ru-Ruki, berbaringlah, kau butuh istirahat.” Reita berkata panik dan hendak berdiri. Tapi tangan pucat Ruki menahan bahunya untuk tetap duduk di kursi kayu itu.
“Aku… aku tidak apa-apa. aku…”
“Ruki…”
“Me-mereka menyiksaku hingga aku tidak bisa merasakan diriku lagi. Aku berusaha melupakan mereka, tapi mereka selalu datang dan datang lagi, membuatku takut.” Suara Ruki bergetar tapi ia tampak berusaha mengendalikan diri.
“Tenanglah, ayo kembali ke kasurmu.” Lagi-lagi Reita berusaha berdiri dan lagi-lagi, kedua tangan Ruki menahan bahunya agar tetap duduk.
“Kau… kau akan terus disini kan? Kau akan terus bersamaku kan?” tanya Ruki parau. Reita tidak tahu harus menjawab apa, tapi mulutnya bergerak di luar kendalinya,
“Tentu… aku akan terus bersamamu.” Ujarnya, kemudian langsung menyesal. Ruki tersenyum manis, semanis malaikat bisa tersenyum dan memekarkan bunga pada musim semi. Mendadak Reita ingin sujud, menyembahnya, memujanya hingga ke awang-awang.
And then a soft lips brush his dry ones, jerking him from his thought to reality. He nearly scream to the pure softness, makes him froze in his state like a cold statue.
Ruki’s lips swaying in infiting manner but Reita was too afraid to make a single move, afraid that he will crack if he try to return the favor… afraid he will woke up if this was just a dream….
A sweet dream….
Then that softness is over.
“Aku percaya kau akan selalu disini.” Ujar Ruki pelan, senyum itu masih melekat di bibirnya-bibir yang baru saja menelusuri bibir kering Reita.
“R-Ruki…”
“Kepada Dokter Suzuki Akira, kehadiran Anda diharapkan di ruangan Kepala.” Suara itu bergema di luar ruang rawat.
“Nanti kembali lagi ya? Aku menunggumu.”
~.~.~.~.~
“Ajaib…”
“Ya, ajaib…”
“Tapi itu tidak baik, Reita. Kau berjanji hal yang tidak mungkin padanya. Kau tahu kalau kita tidak akan disini selamanya kan?” Kai menggelengkan kepala.
“Aku tahu,” Reita menarik nafas, “Tapi susah mengatakan ‘tidak’ di hadapan mata yang memohon begitu.” lanjutnya putus asa. Kai menarik nafas.
“Dan kenapa tadi kau dipanggil ke ruangan kepala rumah sakit?” tanya Kai.
“Oh!” Reita terkesiap. Ia merasa lebih resah dan menyesali keteledorannya karena telah berjanji macam-macam.
“Ada apa?” tanya Kai yang melihat wajah temannya menjadi pucat pasi.
“Itu… ya tuhan! Aku harus bagaimana?!” Reita tiba-tiba panik. Kai menepuk-nepuk bahunya,
“Ada apa, Rei? Jangan buat aku bingung!” ujarnya cemas. Reita menggigit bibir.
“Ya tuhan… ya tuhan… ya tuhan….” Reita makin pucat, Kai mendudukkannya kembali ke kursi di ruang co-ass itu.
“Ada apa, Reita? Bicara padaku!” ujar Kai untuk ketigakalinya. Reita menggeleng lemah,
“Itu… aku…” Reita membenamkan wajah di telapak tangannya.
“Rei?”
“Aku dimutasi ke rumah sakit jiwa lain…”
~.~.~.~.~
“M-mutasi?”
“Ya, rumah sakit tempat Anda dimutasikan itu kekurangan tenaga.”
“T-tapi, bagaimana dengan pasien yang saya tangani?”
“Itu akan diserahkan ke dokter ahli. Ah, kerjamu bagus sekali Suzuki, kemajuan Takanori Matsumoto sangat cemerlang, aku bangga padamu.”
Tapi tetap saja pujian itu membuat Reita makin terpuruk. Apa jadinya Ruki kalau ia pergi begitu saja? Ia sudah berjanji, tapi ia akan sagera mengingkari janji itu. Mengingat binar di mata cokelat pemuda itu membuat jantungnya serasa diiris-iris, ngilu sekali.
“Maafkan aku, Ruki… bukan mauku, semua ini diluar kendaliku.” Keluhnya dalam hati, sambil berdoa agar Ruki lupa pada semua percakapan mereka pagi tadi sebelum ia dipanggil kepala rumah sakit.
Tapi tentu saja itu tidak mungkin.
Ketika Reita masuk ke ruang rawat, Ruki sudah melesat ke pojok ruangan dan mengintip dari balik lengannya, kemudian tersenyum senang.
“Kau kembali!” serunya gembira. Ia menghampiri Reita dan memeluk pinggangnya yang tipis.
“Ya, aku kembali, Ruki…”
“Hari ini kita akan cerita apa?” Ruki menengadah dan melemparkan kilauan matanya yang seperti kristal itu pada Reita, nyaris membuat Reita menganga terpesona. Tapi Reita cepat mengontrol emosinya dan tersenyum lembut pada pasien PTSD itu seperti tersenyum ke anak TK.
“Cerita apa yang kau inginkan?”
“Ceritakan padaku tentang ibumu.”
“Aku sudah pernah bercerita tentang itu, Ruki…” Reita membimbing Ruki ke tempat tidurnya. “Kau sudah minum obat?” tanyanya. Ruki mengangguk dan menunjuk baki makan siangnya.
“Aku minum banyak sekali, rasanya tidak enak. Pahit.” Ia mencebik tidak suka, bibirnya kini tidak lagi pucat dan mati, tapi sudah lebih berwarna, kemerahan dan basah. Reita mengalihkan matanya dari bibir itu.
“Kau harus cepat sembuh kalau tidak ingin meminum obat-obat itu.” ujar Reita sambil memfokuskan mata ke status di tangannya.
“Aku akan cepat sembuh kalau kau ada terus bersamaku. Tapi… sebenarnya aku ini sakit apa?” Ruki duduk di tempat tidurnya sambil mengerutkan kening, “Aku tidak panas, tidak batuk, tidak demam, tidak bintik-bintik…” katanya. Reita menarik nafas.
Bagaimana aku harus menjawabnya? Tuhan, tolong aku…
“Kau sakit… mmm… kepala. Kau sering pusing-pusing kan? Nah, pusingmu itu harus sembuh dulu.”
“Ah iya… aku memang sering pusing-pusing… malam-malam… kadang-kadang mereka datang menyerbuku dan aku menangis…”
Reita tidak perlu bertanya ‘mereka’ siapa yang dimaksud Ruki. Ia meletakkan statusnya di meja dan menghampiri Ruki, membelai rambut cokelatnya yang lembut.
“Jangan menangis lagi, Ruki… itu tidak baik.”
“Lalu aku harus bagaimana? Mereka menyeramkan.” Matanya menyiratkan kebingungan.
“Usir mereka, tunjukkan pada mereka kalau kau kuat.”
“Tapi… tapi… mereka…” Ruki mulai menggigil, Reita menahan bahunya,
“Tenanglah, Ruki…”
“Mereka membunuh keluargaku, menyakitiku dan… dan… dan membuatku jadi sendirian. Aku tidak bisa apa-apa selain menangis saat mereka datang…” suaranya gemetar, matanya memerah dan bibirnya memucat. Reita otomatis menarik tubuh rapuh itu ke dalam pelukannya, menenangkannya. Dan benar saja, Ruki langsung mengambil nafas dalam dan melingkarkan kedua tangannya di pinggannya, berusaha kuat.
Reita tidak tahan.
Apa jadinya Ruki bila ia pergi?
“N-nah, Ruki… lebih baik kau istirahat. Cukup istirahat akan membuat mereka jauh-jauh darimu.” Ujar Reita sambil melepaskan pelukannya. Ruki mengangguk patuh seperti anak kecil.
“Ya.” Ujarnya lirih.
“Aku pergi dulu.” Itu adalah ungkapan pamit secara tidak langsung, karena nanti sore ia tidak akan kembali, begitu juga besok pagi, besok paginya lagi dan seterusnya… entah kapan mereka akan bertemu lagi.
“Kau akan kembali kan?”
“Err…”
“Kan?”
“Ya.” Dustanya kelihatan sekali, tapi bagi Ruki itu amat menyenangkan.
~.~.~.~.~
“Sudah semua?” tanya Kai.
“Sudah, statusnya sudah kuberikan pada dokter yang sebelumnya menanganinya. Aku harap Ruki baik-baik saja…”
“Dia akan baik-baik saja, Reita. Kau hebat.”
“Terima kasih…”
“Ayo, aku antar ke pintu depan.” Kai berjalan mendahului Reita keluar dari ruang co-ass itu.
~.~.~.~.~
Suster masuk sambil membawa napan berisi makan malamnya. Ruki mengamati suster itu pergi dan kembali ke kasurnya.
Sesudah ini Reita yang datang, aku tidak akan lari ke pojok lagi. Aku akan menunggunya disini.
Dan selagi ia makan, ia memperhatikan kalau di napannya tidak ada pil-pil seperti seminggu ini. Ruki senang karena ia tidah harus menelan pil-pil pahit itu, tapi ia tidak akan menolak karena Reita-lah yang memintanya.
Selesai makan, Ruki membenamkan dirinya di dalam selimutnya yang hangat, menanti Reita. Ketika pintu dibuka, Ruki menoleh penuh harap, tapi ia terbelalak.
Karena orang asing yang masuk. Menggunakan jas putih panjang seperti Reita dan menenteng budelan juga seperti Reita.
“Selamat sore, Matsumoto.” Ruki merasakan perasaan yang selama ini dialaminya ketika orang asing mendekatinya. Secepat kilat ia berlari ke pojok ruangang dan mendekam disana, menggigil hebat. Takut dan cemas.
“Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu. Kau ingat aku? Aku dokter lamamu.” Ujar laki-laki asing itu. Ruki membenamkan wajahnya ke lengannya, tidak ingin didekati.
“…”
“Aku Takshima Kouyou, kau ingat aku? Kita berteman dekat sebelum ini, ingat?”
Tidak tidak! Aku tidak tahu siapa kau! Mana Reita? Mana Reita-ku?
Si dokter tampak tidak ingin memaksa, maka ia menenteng statusnya keluar ruangan setelah ia menulis selama beberapa menit disana dengan kening berkerut.
Ruki menanti. Menit-menit berlalu dan Reita tidak kunjung datang. Ia takut Reita tidak akan kembali, ia cemas dan ingin menangis. Tapi Reita melarangnya menangis, Reita ingin ia sembuh dan menghilangkan pusing yang dirasakannya. Ruki berdiri dari meringkuknya di lantai dan berjalan ke arah pintu. Ia tidak pernah meninggalkan kamarnya ini sepanjang ingatannya.
Apa aku harus mencarinya? Mungkin dia tersesat?
Ruki membuka kenob pintu dan keluar pelan-pelan, menyusuri koridor yang setengah gelap karena hari telah menjelang malam. Ia tidak tahu harus mencari Reita kemana, maka ia tetap berjalan kemana kakinya membawanya.
Reita… kau dimana? Jangan tinggalkan aku…
~.~.~.~.~
“Dokter Kouyou! T-Takanori Matsumoto tidak ada di kamar!”
“Apa?!”
“Pintu kamarnya terbuka, dan semua orang panik mencarinya!”
“Katakan pada semua orang untuk tidak mendekatinya, dia bisa histeris! Sial!” dokter berpostur semampai dan berambut sewarna madu itu mulai berkutat dengan telepon di ruangan itu, menelepon kepala rumah sakit.
“Dokter Shiroyama? Takanori Matsumoto tidak ada di kamarnya.”
~.~.~.~.~
“Nah hati-hati, semoga beruntung di rumah sakitmu yang baru…” Kai menjabat tangan sahabatnya.
“Terima kasih. Dan Kai… tolong, kabari aku tentang Ruki…”
“Beres, serahkan padaku.” Kai mengacungkan jempolnya. Reita berusaha tersenyum dan menyeret tas ranselnya, berjalan keluar pintu.
~.~.~.~.~
Ruki menatap ke bawah tangga. Reita disana, dengan seseorang berambut hitam, sedang salaman. Reita membawa tas besar di punggungnya dan berjalan menuju pintu.
Satu yang Ruki tahu, Reita akan pergi. Ia merasa Reita tidak akan kembali. Matanya mengabur oleh air mata.
Tidak! Reita tidak boleh pergi! Reita, jangan pergi!
Ruki berusaha menggapai sosok yang semakin menjauh itu. Tanpa sadar, ia melangkahkan kakinya ke arah tangga tanpa melihat anak tangganya. Ia hilang pegangan dan limbung ke depan. Grafitasi menyeretnya jatuh dari undakan paling atasnya, memberikan hantaman langsung ke kepala kirinya.
~.~.~.~.~
…and suddenly you flying down the stairs
Into my arms…
“TAKANORI-SAN!!!” jeritan para suster itu membuat Reita membeku dan berbalik seperti anak kunci. Ia melihat sesuatu yang putih menggelinding dari tangga dengan dentaman mengerikan. Ketika benda itu terkapar di lantai di bawah anak tangga paling bawah itu… matanya seperti disetrum.
“Ruki!!!” serunya dan berlari ke arah tubuh yang tergeletak tak berdaya itu. kepalanya lebam dan bibirnya berdarah. Suster-suster dan beberapa dokter yang ia kenal turun dengan heboh ke arahnya dan tidak bisa berkata apa-apa selain terkesiap kaget dan membekap mulut masing-masing.
“Siapkan ambulance!” seru seseorang.
Ruki membuka matanya dengan pelan, berusaha memfokuskan pandangannya yang kabur karena aroma yang familiar memenuhi hidungnya. Aroma Reita. Reita-nya.
“Ruki, kau dengar aku? Ruki, katakan kalau kau dengar aku.”
“J-jangan per-pergi…” suaranya selirih hembusan angin.
“Ruki, tetaplah sadar! Kau dengar aku?” Reita menggenggam tangan pucat pemuda itu, dengan hati-hati memapah kepalanya yang tertekuk ke pangkuannya.
“J-jangan pergi… jangan tinggalkan aku…” suaranya lebih dari sekedar memohon.
“Ruki…”
“Kau berjanji akan te-terus bersamaku, kan? Hingga aku sembuh…”
“Ru…”
“A-aku menanti… tapi kau tidak muncul. Aku men-mencarimu dan ternyata k-kau akan pergi. Jangan pergi… jangan p-pergi…”
“Ruki, aku…”
Ambulans datang dan tenaga medis berhamburan ke dalam lobi rumah sakit jiwa itu.
“J-jangan pergi, R-Reita… Reita…” itulah kalimat terakhir Ruki sebelum ia dipindahkan ke atas tandu dan Reita mau tidak mau harus menyerahkan pemuda itu untuk ditangani medis yang lebih ahli.
“J-jangan pergi, R-Reita… Reita…”
Akhirnya Ruki menyebut namanya… entah ia akan mendengarnya lagi atau tidak.
=END=
A/N: begitulah akhirnya!!! No smut!!! Yay! *bersulang* comment please…?
the gazette,
reita,
kai,
fanfic,
aoi,
ruki,
uruha