Starring: Reita x Ruki (pasti)
Warning: written in indonesian
Chap: 17/??
genre: drama, romance
rating: PG-13
Disclaimer:
Cerita dibawah ini meminjam karakter dan jati diri banyak public figure. I’m not them, I do not own them either, and I don’t have any relationship with them. The story below just from my head and pure fiction. Tidak merusak lingkungan dan dijamin just for fun.
~.~.~.~.~
.
Suatu keajaiban menemukan Chiaki duduk di depan televisi. Matanya menatap televisi yang mati dan ketika ia mendengar Gakuto terkesiap, ia menoleh. Dan ia tersenyum.
“Selamat datang… harimu menyenangkan?” tanyanya. Gakuto tidak dapat menemukan kata-kata jawaban sama sekali.
Apa yang terjadi? Mengapa dia tidak histeris?
“A-aku… yah, menyenangkan.” Jawab Gakuto gugup. Chiaki melebarkan senyumnya dan kembali menatap televisi yang mati.
“K-kenapa kau menatap televisi mati?”
“Mati? Kau tidak lihat dua pasangan itu sedang bahagia? Aku sedang menonton drama, episode terakhir.”
Sejarah memang berulang, begitu pikir Gakuto saat dirasakannya bulu tengkuknya berdiri. Ia bergidik. Seperti dilempar ke beberapa tahun silam.
~.~.~.~.~
Chiaki dapat merasakan kehidupan di dalam tubuhnya. Itulah yang membuatnya bangun di suatu pagi dan muntah-muntah. Saat kesadaran atas hadirnya bayi di dalam kandungannya, otak Chiaki memanggil memori dimana ia masih memiliki bayinya sebelum ia jatuh dari tangga. Otaknya memerintahkannya untuk hidup di memori dua tahun silam, dengan sengaja menutup memori tentang kegugurannya. Otak secara otomatis akan melupakan kejadian-kejadian menyedihkan yang tidak ingin diingat oleh Chiaki. Karenanya, Chiaki heran mengapa tidak ada tukang-tukang yang membangun ruang menarinya.
“Apakah para tukang tidak datang hari ini?” tanyanya pada salah satu pembantunya. Wanita yang ditanya memandang pada rekannya, meminta bantuan. Rekannya menjawab dengan lugas.
“Tidak, Nyonya. Ruang menari Anda sudah selesai.”
“Oh ya? Wah… para tukang itu sungguh hebat…” Chiaki beranjak dari dapur dan naik ke lantai dua. Dan memang, ada tangga ekstra untuk ke lantai tiga. Dengan hati-hati, wanita itu menaiki tangga dan menemukan ruang menari yang cukup luas untuk dirinya sendiri. Dindingnya dilapisi cermin, memantulkan bayangannya yang kurus, pucat dan berambut sangat hitam. Chiaki bergidik menatap bayangannya.
“Aku mengerikan…”
~.~.~.~.~
Di dalam mimpinya yang buram namun permanen, Chiaki yang sedang dirundung duka karena kehilangan bayinya mendapatkan keajaiban. Bayinya kembali, dan Hyde juga kembali setelah sekian lama menghilang. Saatnya memperbaiki kesalahannya karena tidak hati-hati menjaga anak mereka.
“Hyde, bayi kita kembali. Kau membawa keajaiban untuknya… ia kembali dan hidup bersama kita.” Chiaki memeluk Hyde dengan hangat. “Aku bahagia sekali… aku berjanji akan menjaganya ekstra hati-hati.”
Dan Hyde yang berada di dalam mimpi Chiaki itu akan menjawab, “Aku juga bahagia untukmu…” dan ia akan mencium Chiaki.
~.~.~.~.~
Apa aku salah masuk rumah? Apa aku mendadak gila?
Hari berikutnya, Gakuto tidak menemukan Chiaki di ruang televisi seperti biasanya. Dan ketika ia masuk ke kamar mereka, ia menemukan Chiaki sangat berbeda. Rambutnya telah berubah warna menjadi cokelat gelap dan bergelombang. Bukan lagi rambut lurus dan hitam. Chiaki tampak sedikit lebih manusiawi.
“Kau… berubah…” gumam Gakuto. Chiaki tersenyum.
“Aku memanggil penata rias. Kemarin aku melihat diriku di kaca, aku tidak suka melihatnya. Jadi aku menginginkan ini.” Chiaki membelai rambut barunya. “Kau suka?” tanyanya pada Gakuto. Lelaki itu mengangguk seperti robot. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Cantik. Sungguh…” ujar Gakuto parau.
“Hyde yang menyarankan seperti ini. Pilihannya tidak salah kan?” Chiaki kembali duduk di depan meja rias, memandangi dirinya yang berpenampilan baru. Gakuto menelan ludah dengan pahit.
Tetaplah Hyde yang ada di dalam pikiran Chiaki.
~.~.~.~.~
Bagi Megumi, kehamilan adalah suatu keajaiban. Keajaiban yang memutarbalikkan kesehariannya. Bahkan kesibukannya di departemen luar negeri tidak pernah membuatnya bangun di subuh buta untuk melesat ke kamar mandi dan berlutut di di depan toilet. Kemudian Hyde muncul di belakangnya dan memijat pelan pundaknya, tidak berkata apa-apa. Setelah beberapa menit bergelut dengan perasaan mualnya, Megumi terduduk lunglai di pangkuan Hyde dan menyeka dahinya yang sedikit berpeluh.
“Aku seperti perempuan bulimia.” Keluhnya, “Bedanya adalah, aku tidak mengeluarkan apa-apa. Morning sick ini menyiksaku, Hyde.” Memejamkan mata, Megumi bersandar di pundak Hyde. Hyde memeluknya dengan hangat.
“Aku tahu itu menyiksamu, tapi aku yakin kau tidak akan menyerah.” Ujarnya lembut. Megumi mendesah dan meremas tangan Hyde yang memeluknya.
“Aku mencintaimu, Hyde. Tapi sayang, kau harus rela berbagi sekarang.”
Hyde tertawa kecil, “Haruskah aku cemburu?” tanyanya.
“Mungkin kau akan cemburu. Kalau anak kita laki-laki, aku akan menamainya Takanori. Lalu aku akan memanggilnya Taka-chan. Bagaimana menurutmu?”
“Terdengar imut bagiku. Lalu kalau perempuan?” Hyde merasakan Megumi mengangkat bahu.
“Tidak tahu, aku tidak memikirkannya. Lagi pula aku punya firasat kalau anak kita ini laki-laki.” Hyde tertawa.
“Kandunganmu baru berusia tiga bulan, bahkan USG pun belum bisa memastikannya.”
“Kau lupa kalau aku selalu tepat, Hyde?”
“Ah… ya, aku ingat sekarang. Aku tidak keberatan kalau anak kita laki-laki.”
“Dia pasti tampan, sepertimu.”
“Aku setuju.” Mereka tertawa. “Ayo, kembali ke kasur. Akan kubuatkan sarapan untukmu.” Dan mereka beranjak keluar dari kamar mandi.
~.~.~.~.~
Mungkin sesuatu di dalam otak Chiaki sudah menghapus memori kehilangan anak pertama mereka, begitu pikir Gakuto saat ia berdiri di samping piano yang sudah tidak pernah lagi dimainkan, menatap ke arah laut yang terlihat kecil di bawah sana, di suatu minggu yang cerah. Gakuto mencoba mengerti isi pikiran Chiaki saat ini, pada saat-saat ia terlihat waras dan pada waktu yang sama ia bisa melihat ketidakseimbangan di dalam mata wanita itu. Seakan dirinya terbagi, antara alam sadarnya dan alam lain di kepalanya yang terisolasi.
Kemudian bunyi pintu dibuka membuatnya berpaling ke arah suara. Chiaki, terlihat amat menawan dalam balutan gaun rumah berwarna pastel. Rambutnya yang panjang dan-kini-bergelombang berayun lembut di belakang bahunya. Mata mereka bertemu dan Chiaki tersenyum. Untuk sesaat mereka hanya saling tersenyum, tidak bergerak, seperti patung porselen yang diposisikan untuk saling menatap. Hanya gerakan nafas dan mata mereka yang berkedip saja yang menunjukkan bahwa mereka adalah makhluk hidup.
Kebisuan di antara mereka berdua membuat seorang pembantu mereka, Mina, ragu untuk melintas. Sudah menjadi tugas Mina untuk membersihkan lantai dua itu setiap pagi. Saat wanita muda itu melihat dua majikannya diam seperti patung, menatap satu sama lain, ia jadi tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan untuk berbalik saja dan meninggalkan mereka berdua dalam diam pun tidak terpikirkan olehnya.
Mereka pasangan yang sempurna… dengan misteri mereka yang sempurna juga.
Mina merasakan bulu kuduknya berdiri, dan akhirnya ia menyingkir diam-diam, menuruni tangga tanpa bersuara sedikitpun.
Tapi saat kakinya baru saja menginjak anak tangga kedua, suara dingin Chiaki menghentikannya.
“Mina,” Mina menoleh, dan melihat bahwa Chiaki menatap padanya dengan senyum. Senyum yang… bagi Mina yang sudah hampir dua tahun bekerja di rumah ini, adalah senyum yang paling manusiawi.
“Y-ya Nyonya?”
“Bisakah kau memotret kami?” tanyanya. Mina menatap Gakuto yang menatapnya tanpa ekspresi. Melihat tak ada bantuan dari majikan prianya, Mina mengangguk.
“Tentu, Nyonya.” Mina melihat Chiaki berbalik ke kamar dan beberapa menit kemudian kembali lagi dengan kamera di tangannya. Chiaki mengulurkan kamera itu padanya dan menghampiri Gakuto.
“Kita bisa berfoto disini.” Ia duduk di kursi piano, “Ayo, sebagai pengantin baru, kita harus membuat foto yang bahagia.” Ujarnya, menarik tangan Gakuto untuk berdiri di sampingnya. “Senyum yang tampan, ya?” ia tersenyum, kemudian berpaling pada Mina, “Kami siap, Mina.”
Namun pada saat Mina menempelkan matanya pada jendela bidik kamera untuk memotret dua majikannya itu, yang dilihatnya adalah dua pasangan dengan ekspresi yang paling dingin dan datar.
Seperti lantai kayu yang selalu dibersihkannya setiap pagi.
~.~.~.~.~
Masa-masa kehamilan Chiaki berjalan normal. Setidaknya bagi Gakuto, Chiaki yang duduk tenang ‘menonton’ televisi mati setiap ia pulang kerja adalah hal yang normal.
“Sudah sampai dimana cerita dramanya?” tanya Gakuto suatu hari, saat kandungan Chiaki mencapai enam bulan. Chiaki menarik nafas,
“Aku sudah lupa. Dramanya terlalu panjang, aku tidak tahu lagi ini sudah episode keberapa.” Chiaki mengelus perutnya, “Kadang-kadang aku bosan menontonnya, tapi aku takut ketinggalan sesuatu yang sakral.”
“Seharusnya kau istirahat, kandunganmu…”
Chiaki menoleh dan tersenyum, “Kandunganku baik-baik saja, aku bisa merasakannya. Sehat dan aktif.”
Tapi tampaknya, janin itu menguras semua kehidupan yang ada pada dirimu. Pikir Gakuto, mengamati pipi cekung Chiaki. Kemudian ia berjalan mendekati wanita itu dan duduk di sampingnya, ‘menonton’ televisi mati bersama, seperti sepasang suami istri normal di sore hari.
“Aku haus…” Chiaki bergerak untuk berdiri. Gakuto, yang mendadak merasa mulas mendengar dua kata itu, menghentikan Chiaki,
“Biar aku saja, kau duduk saja disini.” Ujarnya. Chiaki menatapnya heran, namun kemudian tersenyum.
“Oke.” Katanya. Gakuto segera beranjak ke dapur dan mengambil segelas air mineral untuk istrinya. Sungguh, ia tidak bermaksud untuk membuat dirinya sendiri menjadi paranoid, tapi keadaan Chiaki yang seperti ini merupakan sebuah kelegaan baginya. Dan ia tidak ingin kehilangan ketenangan yang seperti sekarang.
Ia kembali membawa segelas air kepada istrinya dan Chiaki mengucapkan terima kasih. “Sebenarnya aku bisa mengambilnya sendiri, Gakuto. Tapi aku menghargai usaha manismu.” Ia tersenyum dan meminum airnya. Gakuto tercekat, ia merasakan kalau lututnya tiba-tiba menghilang. Jantungnya mencelos sehingga ia berpikir bahwa ia terkena serangan jantung.
Chiaki menyebut namanya.
Selama bertahun-tahun pernikahan mereka, Chiaki tidak pernah memanggil namanya. Ia bahkan ragu kalau Chiaki tahu namanya. Tapi barusan, wanita itu menyebut namanya seolah mereka adalah pasangan suami-istri yang normal, seolah wanita itu biasa menyebut namanya.
Gakuto takut kalau apa yang dialaminya adalah halusinasi, ia takut kalau ini hanyalah permainan otaknya yang sebenarnya menginginkan keadaan ini. Ia takut kalau ia menjadi seperti Chiaki, yang otaknya terbagi menjadi dua bagian. Bagian nyata dan bagian mimpi. Namun, sentuhan dingin di pipinya memberitahunya kalau ini nyata, bukan mimpi.
“A-ada apa, Chiaki?” tanyanya gagap, menahan diri untuk tidak berteriak shock saat wanita itu menyandarkan kepalanya ke pundak kukuh Gakuto.
“Kau belum pernah membawaku ke dokter kandungan. Kau terlalu sibuk di kantor, tidak pernah menemaniku.” Gakuto ingin sekali menjerit keras; ia senang, tapi juga takut. Sungguh, perubahan yang tiba-tiba ini bisa menjadi racun mematikan. Manis saat ditelan, kemudian mencekik dari dalam.
“Aku… maaf, aku akan lebih sering di rumah, kalau kau menginginkannya.”
“Tentu saja aku menginginkannya.”
“Dan aku pikir lebih baik memanggil dokter saja, aku… aku tidak mau ambil resiko kau berada jauh dari rumah.”
“Kau mengkhawatirkanku?”
“Tentu saja, kau dan bayim-kita.”
“Aku senang…”
“Aku bisa mengatur mesin USG kemari, ki-“
“Aku tidak butuh USG untuk mengetahui bayi kita, Gakuto. Aku tahu dengan insting. Bayi kita laki-laki. Bayi laki-laki tampan dan sehat.”
“Tapi…”
“Kau meragukanku?”
“Bukan itu maksudku, USG bisa memastikan kesehatannya. Maksudku, aku percaya instingmu, tapi USG perlu untuk mendukung kebenarannya.”
“Baiklah kalau kau mau USG, haruskah kita bertaruh? Kalau benar bayi kita laki-laki, aku yang harus memberinya nama. Kalau salah… yah, kau yang akan memberi nama. Bagaimana?”
“Oke, aku terima taruhanmu.”
~.~.~.~.~
Hyde baru saja melihat bayi mereka dari layar USG, dokter menyatakan bahwa keadaan bayi mereka sehat, normal dan berjenis kelamin laki-laki. Hyde melihat senyum bahagia di wajah Megumi saat mereka berkendara kembali ke rumah.
“Takanori… ibu mencintaimu…” bisiknya pelan sambil mengelus perutnya. Hyde tersenyum.
“Apakah sudah saatnya untukku cemburu?” tanyanya. Megumi menoleh padanya dan tertawa,
“Ya, sudah saatnya. Kau boleh cemburu, dan aku tidak akan peduli.”
“Pencuri kecil itu telah merebutmu dariku.”
“Dan pencuri kecil ini adalah salahmu. Kalau kau tidak ada, tidak akan ada pula si Takanori ini.”
“Oh jadi ini semua salahku?”
“Tentu saja, kau satu-satunya investor, Hyde sayang…” mereka tertawa,
“Guyonan kita murahan sekali.” Hyde menggelengkan kepalanya, “Aku memang bersalah, tapi aku tidak menyesalinya.”
“Kalau kau menyesal, aku akan membuatmu menderita.”
Hyde tergelak, “Aku tahu kau akan berkata begitu.”
~.~.~.~.~
Dokter sudah pergi dan alat-alat USG sudah dikemasi dan dibawa kembali ke rumah sakit. Chiaki duduk diam di tempat tidur, menunggu Gakuto mengambilkan segelas susu khusus ibu hamil. Saat lelaki itu muncul di pintu, Chiaki tersenyum lebar.
“Aku yang akan memberinya nama.” Ujarnya. Gakuto balas tersenyum,
“Ya, kuakui aku kalah. Dan semua instingmu benar.” Katanya, memberikan susu yang dibawanya kepada Chiaki.
“Aku sudah punya namanya.” Ujar Chiaki sebelum menyesap susunya.
“Bolehkah aku tahu?”
“Akira. Bagaimana menurutmu?”
“Akira… bagus, bagus sekali.”
“Dia akan menjadi bocah yang pintar, tampan dan sehat.”
“Tentu.”
“Sangat pintar, Gakuto. Dia akan menjadi bocah kecil yang sangat-sangat pintar.”
“Itu bagus, dia akan membuatmu bangga.”
“Kau juga, tentunya. Kau akan bangga padanya, kan?”
“Tentu saja, dia akan menjadi anak kebanggaan kita.”
== to be continue
A/N: err… lebih baik gw kabur dan melanjutkan menulis… *menghindari serangan tomat terbang*
.