[CHAPTERED / NC21] Distance Between Us Chapter 4

Feb 19, 2010 19:18

Title: Distance Between Us
Author: azura_caelestis  
Beta Reader: pandara_gauze 
Rating : PG+13 to NC21 / straight
Casts: Big Bang and OC
Genre: Romance, Drama, Comedy
Length : ? Shots
Part: 4 of ?
Disclaimer: I don't own the character and this story is only a fiction.
A/N: This story is the sequel of my first fan fiction (You're the Key of My Secret). Maybe the plot is little bit flat, but I try to make the scenes in romantic way.

Warning:
If there is no one comment here, I won't post the fifth chapter hohoho....XD
For the friend who does not have Live Journal ID, please comment as ANONYMOUS and write your name in the comment box.




Previous Story...

Min Young--seorang gadis yang memiliki nilai unggulan di sekolahnya--tiba-tiba saja bertemu dengan Seung Hyun di hari pertama sekolah.
Ia membenci kebiasaan Seung Hyun yang berandalan dan ternyata menyimpan banyak rahasia itu.

Sampai suatu hari Mr. Lee--sang guru matematika--menyuruhnya untuk membimbing Seung Hyun yang lebih tua darinya dalam kelompok bimbingan belajar.

Awal dari sebuah penolakan ternyata berujung pada sebuah kisah yang tak terpisahan.

Berbeda lagi dengan kisah Seung Ri.
Sahabat baik Seung Hyun itu ternyata jatuh cinta dengan wanita yang lebih tua darinya.
Segala upaya telah dikerahkan dirinya untuk merebut wanita yang bernama Hee Sung itu, namun sayang. Karena kecerbohannya sendiri, nyawanya hampir saja melayang hanya karena perbuatannya yang ingin melindungi itu.

Semua kisah mengharukan itu ternyata berakhir pada sebuah peristiwa indah yang ternyata hanyalah sebuah permulaan dari segalanya.

Chapter 4 : “L for Love, L for Lies Part. 1”

Hee Sung mengerjap tak percaya saat mengetahui siapakah boss yang berdiri di hadapannya sekarang.
“Seung Ho Oppa.” Ia hanya dapat memekik pelan.
Otaknya seakan berhenti bekerja saat melihat wajah itu tersenyum licik ke arahnya.
Ia tidak menyangka bahwa ia akan kembali bertemu dengan pria buaya itu.

“Waegurae? Kau terkejut? Akhirnya kita bertemu kembali, chagiya.” Dengan lancangnya Seung Ho menyetuh pipi Hee Sung sambil menyulas senyuman licik di wajahnya.
Hee Sung menepisnya dengan cepat.
“Geumanhae, Oppa. Aku muak dengan perlakuanmu.”
“Jinja? Bukannya kau merindukan diriku?”
Lagi-lagi Seung Ho mendekatkan wajahnya. Hee Sung sedikit menghindar, tetapi rasanya ia sudah terlambat. Ia sudah berada di dalam perangkap sang laki-laki buaya itu.
“Merindukanmu? Sepertinya tidak. Aku malah bersyukur jika saat itu aku memutuskan hubungan denganmu.”
Mata Seung Ho membulat saat mendengar kata-kata yang dilontarkan wanita di hadapannya, namun ternyata dirinya tidak menyerah begitu saja.

“Kau tidak akan pergi kembali dariku, chagiya.”
Hee Sung langsung mencibir kesal saat mendengar ucapannya laki-laki buaya di hadapannya itu.
“Memang dirimu siapa? Sampai-sampai aku harus menuruti kata-kata perse-”
Ucapannya terhenti seketika saat ia menyaksikan sebuah kontrak kerja disodorkan di hadapannya.
“Jadi? Kau akan menolaknya? Aku tahu ini impianmu.”
Sekarang keadaan berbalik. Seung Ho mengumbar senyum mengejeknya.
Ia tahu akan masa lalu dan harapan wanita bernama Hee Sung itu.
Dengan begitu ia akan dapat mudah untuk memperalatnya.

****
Yang Seung Ho! Dasar pria keparat!
Ternyata ia menjebakku.
Sifatnya sama sekali tidak berubah. Ia tetap saja ular berkepala dua.

Kini hatiku pilu.
Apa yang harus kulakukan?
Apa aku harus memupuskan harapanku begitu saja atau aku harus bertahan dalam ini semua?
Aku rindu akan wajahnya, tetapi aku tidak yakin untuk dapat menjalani ini.

“Ya!” Tanpa menunggu jawabanku, Seung Ho sudah menyodorkan sebuah pena ke arahku.
Aku menerimanya dengan hati terpaksa dan sekarang surat menyedihkan itu terpampang jelas di hadapanku.
Keringat dingin perlahan-lahan keluar dan membasahi telapak tanganku.
Beberapa kali aku memutar otak, tetapi hasilnya hanyalah kesia-siaan belaka.

Apakah aku benar-benar mencintai dirinya atau itu hanyalah kata-kata isapan jempol belaka?
Di hadapannya aku begitu yakin saat mengucapkan kalimat romantis itu, tetapi di dalam keadaan yang begitu menyiksa ini, apakah aku sanggup untuk tetap mengucapkannya?

Kugengam pena di telapak tanganku dengan yakin.
Akhirnya dengan membesarkan hati kuukirkan tanda tanganku di atas kertas perjanjian kontar itu.
Aku tahu resikonya, tetapi sepertinya aku tidak peduli.
Keinginan dan keyakinan hatiku rasanya sudah mengalahkan rasa gundah yang bergemuruh di hatiku ini.

****
Drrt...Drrt...Drrt...
Dengan tergopoh-gopoh Min Young menggapai handphone yang tergeletak di atas tempat tidurnya.

Matanya membulat seketika.
Ia seakan tak percaya dengan nama yang terpampang di layar handphone-nya itu.
Lidahnya terasa kelu.
Digenggamnya handphone dengan erat dan mencoba untuk memutar otak sambil berusaha menemukan kata-kata tipuan yang  dapat menyembunyikan kecurigaan omma-nya itu.
Hatinya terasa bimbang.
Ia benci saat-saat ini. Saat di mana dilema kembali menyerangnya.

“Um, yeoboseyo? Omma?”
Ia mencoba untuk mengembangkan senyum palsunya itu.
“Bagaimana kabarmu, Nak? Omma menelepon ke asramamu, tetapi mengapa tidak ada yang mengangkatnya?”
Suara omma terdengar bersemangat dari seberang sana.
“Omma, aku baik-baik saja. Omma menelepon ke asramaku?”
Hatinya berdegup kencang saat omma menuturkan masalah tentang asramanya, tetapi lagi-lagi ia bersikap sok tenang dan kembali merubah nada bicaranya.

“Asrama itu benar-benar buruk, Omma. Aku jarang berdiam di sana, lebih baik aku berjalan-jalan. Um, sekarang aku sedang berada di-di depan Big Ben.”
Ia sempat kehabisan kata-kata untuk mengarang cerita bualannya itu, tetapi untung saja otaknya bekerja dengan cepat dan segera menemukan sebuah kata untuk menutupinya.

“Jaga kesehatanmu.” Omma bertutur kembali.
“Ah, arasseo. Kopchonghajima. Omma selalu saja mengkhawatirkan diriku. Aku sudah bes-”

Tok...Tok...Tok...
Sebuah ketukan pintu tiba-tiba menghentikan kata yang hendak diucapkannya.
Min Young menarik nafas lega di sela kegugupannya itu.
“Omma, nanti kita sambung lagi. Aku harus bertemu seseorang sekarang. Annyeong.”
Tanpa menunggu jawaban dari omma, Min Young langsung menutup handphone flip-nya dengan segera.

****
“Ya! Lama sekali!” protesku.
“Oppa?! Untuk apa kau datang ke sini?”
Sudah kuduga, ia masih saja berakting benci terhadapku. Padahal kisah konyol itu sudah berakhir.
“Ya! Aku ini namja chingu-mu. Aku tidak memerlukan kartu tanda pengenal untuk datang ke tempat ini.”
Min Young menggembungkan kedua pipinya kesal.
Aku tertawa dalam hati melihat tingkah lucunya itu.

“Untuk apa kau melakukan itu?” Aku mencubit kedua pipi gembungnya itu.
“Ya! Oppa! Geumanhae! Sudah cepat katakan kau ingin apa?”
Wow! Baru saja aku tidak bertemu dengannya selama beberapa jam, tetapi tingkahnya sudah galak sekali. Ia tampak seperti seorang boss yang tidak sabar menunggu jawaban dari anak buahnya.

Aku terkikik dalam hati, tetapi mata galak itu terus saja menatapku dengan tatapan kecurigaan.
Sebenarnya ia hanya ingin bermain-main denganku atau memang dia sedang memiliki masalah?

“Um, ke mana kalung itu?”
Aku bertanya dengan mata mendelik ke arah dadanya.
Hari ini ia memang terlihat lain. Jika bukan candaan yang kubuat pastinya ia sudah bersikap murung seharian.
Satu lagi yang terlupakan. Setiap hari ia selalu saja ingat memakai kalung itu, tetapi kali ini. Ke mana kalung itu?
Ini bukan sifatnya. Min Young yang kukenal bukanlah orang seceroboh ini.

“Ah, chogiyo. Kalung itu-aku lupa memakainya.”
Min Young memamerkan senyum seringai sambil memasang wajah polosnya itu.

****
Kalung?
Ah, babo ya! Aku lupa memakainya!
Tidak ada gunanya aku mengumpat.
Aku memang terlalu ketakutan dengan telepon dari omma sampai-sampai aku lupa memakainya.

“Oppa, mianhada. Aku tidak ber-”
Aku tidak sanggup melanjutkan kata-kataku saat menatap dirinya yang berekspresi pilu itu.
Aku merasa amat bersalah.
Aku mengingkari janjiku sendiri.
Walaupun hanya sekilas saja kubuat, tetapi aku tahu janji itu amat berarti baginya.

Sebuah tangan tiba-tiba saja menggenggam telapak tanganku.
Aku mendongak di sela keterpurukanku ini..
Kutatap Seung Hyun yang masih tertunduk itu.
Ia mengusap tanganku lembut kemudian menariknya perlahan.
Lalu menempelkan tanganku pada dadanya.
Sekejap aku terpaku dengan apa yang diperbuatnya itu.

“Ya! Igeu!” Ia berteriak cepat kemudian menyelipkan sesuatu dalam genggaman tanganku.
Perasaan terpakuku tergantikan oleh kekesalan dalam sekejap waktu.
Hampir saja aku ingin berniat untuk balas membentaknya, tetapi benda yang terselip di sela jariku seolah menghentikan niatku.

Perlahan kubuka lipatan kertas kecil itu.
Aku menganga kaget saat kutahu apa isinya.
Sebuah lirik. Rupanya ia belum lupa tentang kebiasaanku ini.

“Otte? Joa?”
Senyuman jahil rupanya sudah tersungging di sudut bibirnya dan aku tidak tahan untuk memeluknya.

“Oppa! Gomawo!” Aku tersenyum haru sambil menggelanyut di dalam dekapannya itu.
“Kau bahagia sekarang?”
Aku mengangguk yakin dan menggerai senyuman ke arahnya.
“Aku senang kalau begitu. Aku tidak tahu masalah apa yang dipikirkan olehmu, tetapi aku hanya ingin membuatmu tetap tersenyum, sekalipun itu mengenakkan.”
Aku tertegun saat mendengar perkatanya itu. Aku tahu, ia pasti akan mengetahui segala sesuatu yang disembunyikan diriku, namun aku belum siap untuk memberitahu semua itu.
Aku takut dan belum siap untuk berada jauh dari sisinya.

****
Ini mungkin hari terakhir aku dapat bebas berjalan bersama dirinya.
Ia memang akan selalu berada di dekatku, tetapi aku tidak akan merasa sedekat ini.
Pekerjaan demi pekerjaan akan terus menghantui diriku mulai saat ini.
Ini mungkin waktu yang panjang, tetapi aku masih ingin menggenggam kehangatan tangannya di waktu yang singkat ini.

Aku tertawa menyeringai melihat wajahnya yang belepotan itu.
“Waegurae?” Namun ia masih saja tidak menyadari bahwa sisa-sisa es krim sudah menodai pipi kemerahannya.
“Igeu.” Aku mengelap pipinya dengan jari-jariku kemudian menjilati sisa-sisa krimnya.

“Oppa! Kau jorok sekali.” Ia melemparkan selembar tissue ke arahku.
“Ya! Waeyo? Itu memang enak,” belaku.
“Tetap saja itu menjijikkan.” Ia menirukan gaya begidig gelinya di hadapanku dan itu membuatku menjadi tertawa semakin keras.
Aku mengerucutkan bibirnya. Aku tahu ia marah, tetapi tetap saja itu sangat lucu di mataku.

“Arasseo, aku akan menghentikannya.”
Kucoba menahan tawaku dengan menutup mulut seraya menahan nafas.

“Oppa, kau mau aku tetap di sisimu?”
Sebuah pertanyaan yang tak kusangka tiba-tiba saja disuguhkan kepadaku.
“Ye? Apa maksudmu?”
Aku benar-benar tidak mengerti pertanyaan mengejutkan itu.
Sekarang ia sudah berada di sisiku, bukan? Lalu, mengapa ia mengajukan pertanyaan seperti itu?
Apakah pertanyaan itu mendilema hatinya sekarang?

“Anio, aku hanya berandai saja. Bagaimana jika aku berpisah denganmu suatu sa-”
Dengan cepat kuseuntuh bibirnya dengan telunjukku.
Aku tidak ingin ia melanjutkan kata-kata menyakitkan itu.
Aku sudah cukup menderita dengan kesibukkanku belakangan ini dan aku tidak ingin ia berkata hal yang lebih buruk dari itu.

Ia melepaskan sentuhan tanganku dengan perlahan dan menatapku dalam.
“Oppa, mian. Mungkin besok aku tidak dapat menemani waktu latihanmu. Aku ingin mencari universitas di sini, aku tidak ingin omma berteriak histeris hanya karena aku putus sekolah.”
Kali ini ia tersenyum, tetapi senyumannya itu lebih terkesan menyakitkan di pikiranku.
Ia seperti terpaksa untuk melakukannya.

“Min Young~a, seharusnya aku memang tidak perlu mengajak dirimu ke sini. Aku sudah menyulitkan dirimu.” Hatiku terasa pilu saat mengucapkan kalimat itu.
“Anio, aku senang berada di sampingmu, Oppa. Oppa yang selalu menghiburku di saat aku murung seperti ini. Gomapta.” Aku tersenyum lembut ke arahku.
Aku mengacak rambutnya pelan. Aku benar-benar beruntung memiliki yeoja chingu seperti dirinya.

****
“No gwenchana?”
Seung Ri terbangun dari lamunannya dan mendongak ke arah datangnya suara itu.
“Um, Hyung. Gwenchanayo.” Seung Ri membalas lesu.

“Kau ada masalah lagi dengan Hee Sung?”
Dirinya hendak menggeleng, tetapi hati seakan tidak menginginkannya untuk kembali menipu diri.
“Ye.” Akhirnya Seung Ri membuka suara.
“Memang ada masalah apa? Ia menolak untuk menerima teleponmu lagi?” Ji Yong mencoba untuk menerka.
Seung Ri mengangguk pelan dengan wajah frustasinya.

“Mungkin saja ia sedang sibuk. Jangan menyerah, ia pastinya sudah tidak dendam terhadapmu.”
Kata-kata dukungan Ji Yong rasanya belum dapat mengembalikan kepercayaan diri yang terkubur di hatinya. Ia masih saja bergumul dengan kata-kata perpisahan yang menyakitkan itu.

“Hyung~a, bagaimana hubunganmu dengan Jung Hwang?”
“Ya! Apa-apan kau? Kau mengalihkan pembicaraan?”
Seung Ri meringis saat menerima tinjuan pelan dari Ji Yong.
“Sudahlah Hyung, kau tak perlu menipu perasaanmu.”
Ji Yong membelalak tak percaya dengan ucapaan yang baru saja diucapkan Seung Ri itu.
Ia tidak menyangka bahwa Seung Ri akan mengungkap rahasianya dengan mudah.
“Ya! Geumanhae. Jika tidak aku akan menghubungi Hee Sung sekarang dan melaporkan perbuatan dirimu.” Ji Yong menantang seraya mengeluarkan handphone dari saku miliknya.
“Laporkan saja! Ia tidak akan pasti mengangkat teleponmu.”
Seung Ri balas mencibir dengan menjulurkan lidahnya ke arah Ji Yong.

“Aish, dasar kau!” Ji Yong yang semakin kesal pun akhirnya menekan beberapa tombol di handphonenya lalu mendekatkan  benda itu ke telinganya.
“Terserah Hyung! Aku pergi sekarang!” Dengan wajah tak acuhnya Seung Ri melangkah pergi.

****
Kugenggam erat handphone yang bergetar dengan tanganku.
Aku tahu siapakah sang penelepon, namun aku tidak ingin orang di hadapanku ini mengetahuinya.
Kutatap Seung Ho dengan tatapan dingin sambil berusaha melahap hidangan yang terasa menyesakkan itu dengan setengah hati.
Aku terpaksa melakukan semua ini.

Mianhae, Seung Ri~a.
Aku memang yeoja chingu yang tidak berguna. Aku tidak ingin mengecewakanmu, tetapi aku takut mendengar suaramu di tengah ketegangan tak menentu ini.
Aku ingin segera bertemu denganmu.

“Otte?”
Aku terlalu kesal untuk menanggapi pertanyaan itu.
Seenak apapun rasa makanan ini, tetapi tetap saja tertasa sepat di lidahku.

“Ya! Hee Sung~a, kau masih membenciku? Berhentilah berakting di hadapanku.”
Aku malas meladeni ucapan kasarnya itu.
“Terserahmu, Oppa. Aku hanya ingin cepat-cepat pulang dari tempat ini.”
Ia tertawa mengejek saat mendengar ucapanku itu.
Memang apa yang lucu? Otaknya memang sudah rusak.
Aku  merasa muak saat berada di dekatnya.

****
Sepertinya tidak ada seorang pun yang dapat menghilangkan perasaan ini di hatiku.
Khawatir, rindu seakan teramu menjadi satu dan aku tak dapat menemukan penawarnya.
Aku rindu senyumannya itu, tetapi sampai kapan gambaran itu

Hee Sung~a, bagaimana kabarmu sekarang?
Mungkin ini bukan selama yang kau bayangkan, tetapi kau terasa hampa dirimu.

Aku mengayunkan langkah lunglaiku sambil melintasi jembatan di tengah kota Tokyo.
Pandanganku hanya dapat kuarahkan ke bawah.
Kuperhatikan setiap pantulan cahaya lampu yang memantul di permukaan sungai.
Indah. Aku ingin menikmati pemandangan ini bersama seseorang di sisiku, tetapi itu semua hanyalah anganku.
Sebaiknya aku kembali ke hotel sekarang. Aku tidak ingin yang lain mencemasi diriku.

Kuangkat kepalaku dan memandang lurus ke arah depan, namun betapa terkejutnya diriku saat menemukan seorang gadis menangis histeris di hadapanku.
Ia berada tak terlalu dari tempat di mana aku berdiri.
Perlahan kuperhatikan gerak-geriknya, akan tetapi aku menjadi semakin cemas saat kutahu ia melangkahi pagar pembatas jembatan itu.
Apa-apa ia ingin melompat ke sungai itu?

**TO BE CONTINUED**

GLOSSARY by Regina Tofanny

Oppa = panggilang untuk kakak laki-laki*dri perempuan*
Waegurae/waeyo = mengapa
Chagiya = sayang/honey
Geumanhae = hentikan
Jinja = benarkah
Ya = hei
Omma = ibu
Yoboseyo = halo
Arasseo = aku mengerti
Kopchonghajima = jangan khawatir
Namja chingu = pacar laki-laki
Babo = bodoh
Mianhada / mian = maaf
Igeu = itu
Otte = bagaimana
Joa = suka
Gomawo / gomapta = terima kasih
Anio = tidak
No gwenchanna = kau tidak apa-apa
Hyung = panggilan kakak laki-laki*dri laki-laki*
Ye = iya
Yeoja ching = pacar perempuan
 

chaptered, distance between us, seung ri, mblaq, seung ho, indonesian, top, fan fiction, big bang

Previous post Next post
Up