Title: Recall
Author
azura_caelestisRating: T
Fandom: TVXQ/SNSD
Pairings: Changmin/Jessica
Length: Series (2 of 3)
Genre: Action, Sci-fi, Crime, Psychological, Friendship, Hurt/Comfort
Disclaimer: I am not, in any way, take any profit from the story. All real people are used without their permission. Events portrayed are fictional and do no reflect on the actual people within the stories. The contents are purely made for personal entertainment.
RECALL
-azureveur
©2013-2014
(2 of 3)
.
.
.
172, psst, ia berbisik lumayan keras. Seluruh orang di dalam ruangan itu terbahak. Mataku buru-buru mengerjap. Kursi yang kududuki terasa asing. Derak-derak nyaris rompal; buku-buku usang dengan pias menguning.
Kau seharusnya memperhatikan, Nona Jung, gada itu mengetuk-ngetuk pinggiran meja. Aku tertegun melihat mata sipitnya, hidung bengkok yang dihinggapi kacamata.
Apa kau baik-baik saja?
Aku melirik ke samping, suara itu kembali berbisik. Bibirku memilih geming, menatap lekat ke arah buku teks. Kepalaku tidak bisa pikir. Rasanya seperti seseorang telah menekan tombol flush, mustahil untuk mengerti apa yang sedang ia bicarakan.
Hei, kau baik-baik saja?
Aku merunduk dalam-dalam, enggan menatap matanya. Kepanikan itu membesar. Kulit kami bersinggungan. Ia menangkup tanganku terlebih dahulu. Hangatnya menjalar. Mungkin bibirnya tersungging sementara kerut-kerut lain memahat senyum.
Aku tak sepenuhnya dapat mengintervensikan sebuah kata. Rasanya pelik. Seperti terperanjat, tapi urung mendongak. Seperti hendak melarikan diri, tapi kakiku malah berhenti. Siapakah dia?
.
.
.
Ketika mataku mengerjap, tak ada disorientasi. Praktisnya aku tahu di mana aku melesak. Berikut bunyi mesin yang menderu-deru-aku berada dalam sebuah mobil. Hangat itu masih menjalar ke tengkuk. Kepingan kuanta menyebar, berbingkai rangka besi. Tanganku bersalutkan satu sama lain. Bersandar separuh mendekati jendela. Ubun-ubunku pusang. Radio masih memutarkan lagu-lagu post-grunge. Aku berusaha membenarkan posisi duduk. Menarik siku kiri, agar bisa bersedekap, mendekati heater.
Tunggu. Tangan kiriku tak bisa bergerak. Ada sebuah benda yang memasungnya di susuran pintu. Aku melirik curiga. Great! Borgol. Dingin dan sungguh tidak perlu.
“Well, bagaimana tidurmu?” Changmin sekonyong-konyong menelengkan kepala.
Aku masih berkelit dengan benda yang sama. Menutup sebelah telinga dengan tangan kanan; ia mematikan radionya.
“Aku minta maaf untuk hal itu.” Aku tak begitu yakin dengan nada bicaranya yang penuh penyesalan. Entah ia meminta maaf soal selera musiknya yang kepalang riuh atau borgol yang mengganggu tidurku.
Ekor mataku menyapu pandang ke arah samping. “Di mana-?”
“Toledo, kurasa,” ia menjawab dengan serta-merta.
“Toledo?” aku mengerang. Kepalaku masih di ambang sadar. Mengintip kecil keluar jendela. Plat-plat bertuliskan “Interstate 75” menyembul sesekali di bahu jalan.
“Aspirin?” Changmin mencoba menyelisik dasbor; mengendurkan pedal gas. Benda-benda, yang tak jauh berbeda, berjejalan di ceruknya; kertas-kertas dengan pias sompek, berkas-berkas, dan artikel koran. Aku langsung bisa menjulukinya sebagai Manusia Arsip.
Aspirinnya tersisa dua keping, terselip di antara tiket parkir kadeluwarsa.
Aku meraupnya dengan sebelah tangan. Menenggak tablet itu tanpa bantuan air mineral. Aspirin agaknya bukan kelas yang sepadan. Aku perlu Zoloft
[1]-atau dosis SSRI lainnya, tapi tidak dalam situasi semacam ini.
“Aku telah membicarakannya dengan Yunho hyung. Kami akan mencarikan jalan keluar,” sahutnya, setelah bergeming cukup lama.
“Kau sungguh menceritakannya?” tanyaku, parau. Mataku separuh terpejam. Changmin memasukkan persneling ke gigi tiga. “Terima kasih … aku akan segera terlibat dengan peperangan federasi.” Aku rapatkan celah kemeja lumberjack (yang kebetulan miliknya).
“Tentu saja tidak. Aku masih menjadikanmu rahasia.”
“Maksudmu?”
“Hanya aku dan Yunho hyung. Ia memiliki teman yang tepat di Monroeville untuk data itu.”
“Hacker? Cyborg?” Mustahil. Aku mendengus geli. Satu-satunya yang dapat membantuku adalah dengan memasuki jaringan sentral korporasiku di Osaka. Tapi, aku bisa menjamin kalau tindakan barusan termasuk satu persen dari seratus kemungkinan.
“Bisa dibilang begitu.” Bahunya mengedik. “Memang terdengar tidak masuk akal. Alih-alih, kami sempat berargumen sebelumnya. Aku mencoba meyakinkan Yunho hyung tentang kondisimu. Tentang storage data itu, khususnya. Dan ia berspekulasi tentang beberapa catatan kriminal.
“Pengeboman di Marathon Boston beberapa bulan lalu, lebih tepatnya. Dzhokhar dan Tarmelan Tsarnaev diduga sebagai tersangka utama. Tapi, tak dinyana Nikolai Gogol juga berada di dalam catatan buronan yang sama. Dan Alexei Petrov-sama sekali tak bisa dianggap remeh. Probabilitas tertinggi: keduanya mencoba untuk memperebutkan sebuah formula, yang mungkin saja tersimpan di kepalamu, sekaligus kami menduganya sebagai bukti dari implementasi beberapa kegiatan teror lain yang belum pernah terungkap .”
Aku tak menyahut pemaparan panjangnya. Hatiku bukannya ciut, hanya saja tidak terperanjat untuk ingin tahu. Aku bahkan tak memiliki sandi yang semua orang maksud tentang “membuka berkas”, aku benci mengintip privasi. Begitu juga jika seseorang bermaksud mencuri lihat privasi milikku.
Mobil melaju, tanpa letupan bunyi betotan bass dari speaker radio, Changmin menggeser lampu sein. Ketak-ketuk repetitif itu menggiring roda mobil, melaju di ruas jalan menuju pintu keluar 208.
“Hei,” Changmin memergokiku yang melamun. Mataku melirik layu ke arahnya.
“Tidak perlu dipikirkan. Kau hanya perlu untuk tidak melarikan diri, kau tahu, aku pernah mendengarkan kasus implan sepertimu.”
Rautku mengerut. Omong kosong. “Di mana?”
“Di dalam film.”
Sama sekali tidak lucu. Aku memberangus, melesak semakin dalam di jok mobil.
“Well, sepertinya aku tak akan mendebatkan soal itu kembali.”
“Bagus,” aku berbisik kecil, tapi sepertinya ia dapat mendengar. Mengingat suara radio yang terdengar nyaris tandas, bersipogang bersamaan desau ban karet memberus aspal.
“Tapi, kau tidak keberatan, ‘kan?”
Tubuhku bertolak ke kiri, ia pasti sedang bermain dengan repertoar kepolisian. “Maksudmu?”
“Membawamu ke Pittsburgh seperti ini.”
“Kau polisinya, bukan?” Aku mengedikkan bahu.
Changmin terkekeh tak percaya, melirikku dengan mata menyipit. “Tentu saja. Tapi, aku lebih memilih dipanggil detektif.” Ia melempar pandangan ke spion atas, lantas ke depan. “Kau tiba-tiba kehilangan kesadaran kala itu-kala kau berkata tentang mnemonic.”
Aku berdeham, tak membalas perkataannya, perutku merasa ingin muntah. Post-grunge mungkin lebih baik. Terlebih rock progresif. Changmin tak memaksaku berbicara. Tapi, kepalaku kini malah balas meringking. Aku melempar pandangan keluar jendela. Lini ephemeral itu menghilang satu per satu; tonggak-tonggak lampu jalan yang membaur menjadi gelembung-gelembung cahaya.
Mulanya jemari itu bergerak memainkan manset lengan kemejanya. Kotak-kotak, berpadu sempurna kamisolku yang berbau anyir darah. Lantas, mataku menatap spion muka yang bergayut tanpa rontek-rontek. Mata kami bertemu.
Changmin memandang lurus.
“Rasanya seperti mempunyai jutaan pintu di sebuah selasar. Dan data-data itu mengisi setiap kamar.” Entah apa yang membuat bibirku bercericip di luar kendali.
“Apakah rasanya sakit?” sergahnya, lantas memasang lampu sein; berbelok ke kiri.
“Tidak.” Entah dari mana senyum itu berasal, tapi aku malah mempertontonkan barisan gigi.
“Jadi, apakah terasa menyenangkan?”
“Bisa dibilang begitu. Aku selalu merasa kesepian sebelumnya. Dan tawaran itu tiba di suatu siang, aku hanya mengambil premis, rasanya data-data itu bisa menghiburku. Memang terdengar konyol.” Aku terkekeh.
Changmin menyunggingkan senyum; agaknya ia hanya berempati. Pandangannya hanya sekelebat, menoleh, lantas terfokus pada ruas jalan yang nyaris lengang. Aku mengecek jam di dasbor. Pukul satu dini hari. Changmin mengecilkan tombol heater. Tanganku mulai mengobrak-ngabrik onggokan kertas di dasbor. Manik cokelat itu terimpit sekali, bibirnya tidak mendengus, membiarkanku mengimplikaskan diri dengan berkas-berkas renyuknya.
Sebagian besar potongan surat kabar itu bertajuk masalah politik dan kriminal. Termasuk dengan catatan pembunuhan di sejumlah suburban di Michigan. “Detektif?” panggilku, jengah. Rasanya tidak terlalu menyenangkan, menanyainya tentang pelbagai hal.
“Yes, Mam.” Ia terkikik kecil, ikut melirik kertas-kertas di tanganku.
“Kau detektif divisi pembunuhan?”
“Well, iya. Kau punya masalah dengan itu?”
“Entahlah. Aku hanya bingung dengan semua ini. Kau-detektif divisi pembunuhan-dan Jung Yunho? Dia …?”
“Dia bekerja untuk CIA di Langley.” Ia sengaja mengganti persneling; membiarkan sejurus interval untukku berpikir. “Jangan berpikir macam-macam,” sentaknya, aku bisa mendengar derai tawanya yang menyembul di antara kegelapan. “Ia bekerja di divisi internal, divisi inteleginsi dan sekuriti negara, tentunya, tapi jangan berpikir untuk beraksi seperti Bourne, Hunt, atau siapa pun itu. Itu palsu.”
“Itu terdengar masuk akal.” Aku urung menyambut kelakarnya. Alih-alih mengetuk-ngetuk dagu-menyangkutpautkan keterlibatannya dengan kasus-kasus federasi dan perniagaan ilegal.
“Hubunganku dengan Yunho hyung bisa dibilang di balik panggung. Yunho menyertakanku sebagai informan. Tapi, sesungguhnya aku tertarik bekerja seperti dirinya.”
“Menjadi agen rahasia?” kepalaku berjengit, itu topik yang luar biasa menarik.
“Tidak seperti itu. Aku berpikir mungkin suatu hari teknik penyelidikanku akan berguna.”
Changmin memilih menanggalkan jaket North Face-nya. Tangan jenjang itu satu per satu bergantian menggenggam kemudi. Aku membiarkannya berkelit; jemariku mulai menelusup di antara agenda tua miliknya. Seperti tidak pernah ditilik selama bertahun-tahun, aku menjumput kertas asing yang terkepit di bagian sampul.
Sebuah foto dengan tulisan tangan mungil di sudut kiri samping: Yoyogi, December 12, 1999.
Aku membaliknya dengan perlahan. Itu wajah Changmin dengan perawakan kurusnya. Bahu agak membungkuk. Berbalut windbreaker biru terang. Sungguh itu dirinya, dengan potongan rambut agak sedikit ketinggalan tren. Aku menahan napas, kendati diakhiri suara kikik tawa.
“Apa yang kaulihat?” Alisnya terjinjing naik. Changmin berusaha merebutnya dariku.
“Tunggu.” Aku berhasil menyembunyikannya dan menyuruk ke celah pintu.
“Kau membongkar agenda lamaku?” Changmin memekik-mekik kesal.
Aku tak menjawab. Menerawang foto itu dengan bantuan intesitas cahaya yang minim. Gigiku seketika terkunci, mata cokelat itu memasungku, bukan yang tengah tercium sorot lampu. Aku bisa melihat tubuh ringkih yang berdiri di sisi Changmin, dibebat syal rajut magenta. Separuh tanganku kebas, mengentakkan lembarannya dengan serta-merta, buku agenda itu terjungkal, mengempas babut.
“S-sorry,” aku geragapan. Jantungku seolah menobrak rusuk. Ingin mengambil foto? Ayolah, ini yang terakhir kalinya sebelum upacara perpisahan. Aku benci suara-suara itu. Gunjingan-gunjingan pelik yang kerap menyarati kepalaku. Satu per satu membuka selarak pintu, hengkang berlarian di koridor tengah.
“Sica?” Changmin menepuk bahuku. Aku melempar tatapan keluar jendela. Turnpike-aku berhasil melihat nama itu di salah satu baliho-di rembang malam, pendar-pendar lampu jalan yang masih menyala temara, Changmin agaknya tak mengambil bulevar utama.
Aku menggeleng cepat.
“Kau baik-baik saja?”
Aku ingat salju terakhir yang beseliweran di pucuk kepala. 172, psst. Paru-paruku mencoba mengatur napas.
“S-siapa dia?” tanyaku, memungut foto itu dari kolong bangku. Punggungku berdenyut-denyut, seolah ephiphany barusan telah memutus jaringan ke tulang sumsum. Sepintas Changmin tak menjawab. Aku mengamati rautnya. Tidak terdeskripsi, manik cokelatnya mengintari keredep lampu sein mobil depan. Ia tak ingin menatapku seperti yang selalu dilakukannya. Buku-buku jemarinya memutih, ruas-ruasnya menegang, memegang roda kemudi.
“Sooyeon. Ia teman sebangkuku dulu,” ucapan itu nyaris menyerupai kisik; seolah-olah ia baru saja merapal mantra dalam sebuah ibadah.
“Kau pernah tinggal di Tokyo?” Sungguh, itu pertanyaan yang tidak perlu.
“Begitulah.” Changmin menjawabnya. “Foto itu diambil sehari sebelum hari terakhir aku melihatnya.”
“Ke mana dia?”
Bahunya mengedik. “Ia pergi tanpa pamit. Kedua orangtuanya meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di hari upacara perpisahan. Mereka memanggilnya ke ruang kepala sekolah. “
“Setelah itu?”
Kepalanya tertunduk; menginjak pedal rem. Lampu merah menggantung tepat di sisi bubungan sebuah kedai dua puluh empat jam. Aku mendengar regukan air liurnya. Agaknya tidak adil. Tak seyogainya aku memaksanya bicara.
“Para tetangga bilang ia pindah dan tinggal dengan bibinya di Kyoto.”
“Kau menyukainya,” pungkasku; Changmin mendengus geli, ia mengira aku berkelakar. Tapi, aku tak bisa lupa bagaimana sorot matanya kala itu. Tidak cerkas, tidak waswas, hanya Changmin yang terluka di masa lalu.
“Entahlah.” Lagi-lagi ia mengedikkan bahu, tapi kala itu dibarengi kikik senda. “Kami hanya bocah ingusan, kalau boleh berkomentar. Aku umur sebelas, dan dia … mungkin sepuluh. Cinta semacam itu hanya lantaran kami terlalu keranjingan matematika.”
“Tidak ada reuni? Atau entahlah-Boa selalu berkata yang aneh-aneh tentang istilah semasa kuliahnya.”
“Tidak.” Changmin menghela napas. “Ia masuk obituari beberapa tahun lalu. Overdosis.” Suaranya agak menyaru, lampu merah berubah hijau; ia lekas menginjak pedal gas. Mesin agak meraung, tapi di saat yang nyaris bersamaan, ia tak mengizinkanku untuk menyela nada bicaranya.
“Aku tak bermaksud mendengarkan itu.” Aku menggigit bibir. Changmin menoleh pelan ke arahku.
“Bagaimana denganmu? Tidak ada kenangan akan masa lalu? Ceritakan padaku tentang Osaka.” Sungguh palsu, aku tersenyum sama palsunya, kala ia mencoba meyakinkan kalau ia baik-baik saja.
Aku hanya menceritakannya tentang pertemuanku dengan Boa. Simpel. Sama sekali tidak menggigit. Klasik. Sama sekali tidak membutuhkan durasi berjam-jam untuk berbincang layaknya show di teve nasional. Masih dengan pelisir kemeja lumberjack kotak-kotaknya, aku memainkan sebagian benang yang gagal ditisik.
“Aku sama sekali tak bisa mengingat lebih jauh dari itu.” Perlu keberanian ekstra kala ia bertanya tentang masa kecilku. Mungkin Osaka, atau acapkali Boa mengucapkan Nagoya padaku.
“Tidak tentang orangtuamu?”
Aku menarik napas berat. “Kadang aku berkata, lebih baik aku melupakannya, tapi aku tak pernah sungguh-sungguh ingin melakukan itu. Kini, aku merasa kamar-kamar itu tergusur satu per satu. Hingga para penghuninya keluar dan berkelayapan di selasar arteri.” Aku mencoba mengartikulasikan perasaan itu dengan sebuah ringisan. “Itu sangat menyiksa,” protesku, mencengkeram kemeja kedodoran miliknya dengan sebelah tangan.
Foto itu terempas di permukaan dasbor. Pias yang sedikit bergerigi, permukaannya masih terlihat licin namun agak bersaput, luminasi jalan berhasil membuatnya berpendar.
Changmin membiarkan bunyi heater bertalu-talu di antara kami. Ia menyusuri pinggiran Turnpike tanpa banyak bicara. Tapi, aku melihatnya beberapa kali, mencuri tilik ke arah dasbor.
“Jangan bersikap menyedihkan. Setidaknya kau unggul satu poin dariku. Ia masih hidup dalam ingatanmu.” Itu bukan senyum yang tulus-agak terpaksa, sesungguhnya-tapi, kuakui, aku seorang penghibur yang payah.
Changmin menangkupkan tangannya. Sebelah tangan masih menggeser kemudi sesekali.
“Satu sama. Aku yakin, kau juga selalu memilikinya. Kendati tak pernah kaukenali, tetapi, aku yakin, mereka akan kembali,” pelan, sama seperti senandung Death And All His Friend
[2]yang berlindap dari speaker di samping betis kiri.
“Sebaiknya kau tidur.” Changmin menepuknya sekali. “Yunho akan memberondongimu dengan begitu banyak pertanyaan besok. Terima kasih sudah menceritakan segalanya.”
“Malam kalau begitu, Detektif,” aku masih saja bergurau, merapatkan jemari, menggenggam rangkupan jemari kurus itu di sela jemariku.
.
.
Changmin membuka borgolku di sekitar pukul empat; mataku mengerjap-ngerjap tak yakin; berusaha bernapas dengan ritme linear agak terputus-putus. Aku tak begitu ingat angka berapa yang tepatnya berkerap di bagian menit jam dasbor. Langit masih sepenuhnya telanjang. Gelap. Dingin. Dan menusuk tulang. Gigi Changmin bergemeletuk lantaran ia memaksa meminjamkan jaket North Face-nya padaku.
“Tunggu di dalam mobil,” ujarnya, menutup pintu. Mobil agak berguncang. Menyisakan segaris celah di jendela, tubuh jangkung itu mencuar di telundakan setelah memasukkan koin ke dalam mesin meteran dan menarik tuas handle. Aku dapat mencium bau bensin yang menyisip masuk. Changmin membiarkan tangki mobilnya penuh. Ia menguap sesekali; aku meringkuk sembari memegangi pelisir kemejanya, hingga bunyi “ctak” yang membuatku agak mengerang.
“Hei, ingin kopi?” sahutnya, mengosok-gosok tangan di jins belelnya.
Bukan angsuran yang tepat. “Hngg?” sahutku, tanpa sebersit animo, berusaha memindai ke sekeliling pom bensin. Changmin tak balas menjawab, tangannya mengetuk kaca depan, mengadopsi jingkat-jingkat kecil seperti pencuri, ia beranjak ke vending machine di depan 7-Eleven.
O, baiklah. Terserah apa katanya. Aku berganti arah. Bahu kiriku masih terasa menggigit. Aku lekas berjengit, menyalakan lampu pijar, dan mematut diri di spion depan. Mataku terlihat cekung. Pipiku lebam. Pelipisku sobek di bagian kiri. Dan rambutku benar-benar sebuah bencana.
Aku memutuskan beringsut, duduk dan merangkul kedua kaki. Berjengit mencari-cari figur Changmin yang masih membenamkan sebelah tangan di saku; menyesap kopi hitamnya dari gelas karton dan sesekali mengusap-usap mata. Sulit rasanya untuk tidak memperhatikan tingkah itu. Changmin terlihat sungguh lucu. Tumitnya berjungkat-jungkit dengan penny loafer butut. Tatapanku lantas bergeser ke samping. Melirik ponselnya yang terpenyak di sela jok mobil. Aku tak berniat membicarakan gagasan untuk melarikan diri. Merangsek jaringan korporasi di Osaka mungkin ide sinting, tapi apa salahnya mencoba. Kepalaku merunduk, menggapai ponsel Motorola-nya dengan cepat. Jaringan online tak menutup kemungkinan agar aku dapat mengakses catatan pengiriman terakhir.
Jemariku mulai mendomnasi petak keypad. Changmin masih belum bergerak.
Bip. Bip.
Berepetisi dua kali, notifikasi itu sekonyong-konyong menyembul.
Close. Berharap bukan pesan penting.
Aku mencoba masuk ke jaringan server. Dan-shit! Ada yang aneh.
Bip. Bip.
Pesan susulan. Aku melirik ke arah Changmin. Ia lesap ke dalam gerai, menyisakan daun pintu yang baru saja mengayun tertutup.
Close. Lagi-lagi aku berharap, pesan itu mungkin sekadar enamel iseng yang melayap ke kotak surelnya.
Aku tak mengerti apa yang salah dengan kode validasiku. Tiga kali mengakses masuk, sistem korporasi malah memblokirnya. Seseorang pasti sudah merencanakan intrik itu dari dulu. Well, aku mencoba masuk ke dalam kotak surel Changmin. Memang bukan opsi yang baik untuk mengintervensi urusan kepolisiannya. Tapi, aku melihatnya dengan jelas, Jung Yunho. Nama itu berendeng atas bawah. Dua enamel berbeda yang masuk ke dalam kotak surelnya.
Bip. Bip.
Pesan ketiga.
Jung Yunho. 3 messages.
Open. Agaknya bukan berita yang menggembirakan.
Aku menggigit bibir.
Monroeville. 7.00 AM.
Temui aku di sana. JS akan membantu.
Sekarang. Eric tahu rencana kita.
Ketiganya dikirim dengan selang waktu sepersekian detik. Jok yang kududuki rasanya sudah berinisiasi dengan punggung. Aku mencoba melipat sebelah kaki; menggigit bibir; memikirkan nama Eric yang agaknya pernah disinggung Changmin.
Bip. Bip.
Ia tahu lokasimu.
Damn! Entahlah, Eric-siapa-pun-itu, kurasa sekarang bukan situasi yang baik untuk bernapak tilas. Seberkas cahaya mendadak menyorot tempat pompa bensin, kian terang, diikuti gemuruh dan decit as. Konvoi mobil itu sekonyong-konyong membersil, datang berendeng, menikung dari ruas jalan utama. Aku buru-buru merunduk, bersembunyi di balik dasbor, menyaksikan parade lampu sorot di pukul setengah lima, lampu-lampu mobil meredup. Konvoi sinting itu memarkir van di depan 7-Eleven. Derap-derap kaki mulai berhambur keluar.
Tidak lagi. Ada dua ekspektasi yang menghunjam kepalaku-sesuatu berbau Petrov dan sesuatu berbau CIA. Bertindak atau pura-pura tidak tahu. Aku tak memiliki hak untuk berperang bersama Changmin dan rekan CIA-nya. Tapi, pesan-pesan itu, sesuatu yang mengatasnamakan Jung Yunho, sepertinya terdengar seperti sinyal SOS.
Aku mulai membuka pengait laci; sebelah tangan mencengkeram ponsel Changmin. Benda itu tak lagi berbunyi. Aku berlindung di balik berkas-berkas konyolnya, tanganku mulai menelusuk laci dasbor. Entahlah. Mungkin ada sesuatu di sana. Kaleng aerosol. Pewangi mobil. Borgol. Keparat! Apa lagi yang ada di sana? Aku mencarinya dengan gelagapan. Berharap bisa menemukan sesuatu.
Sepucuk Beretta 92 semi-otomatis. Aku menarik popornya dengan hati-hati. Melepas pengaman. Memeriksa peluru yang tersisa di magasin. Tidak banyak. Mungkin separuh, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk seseorang meremang.
Aku tak bisa berhenti memikirkan Changmin dalam gerai itu. Apa yang akan mereka lakukan padanya? Tanganku menutup laci dasbor. Membuka selarak pintu. Beretta kaliber 92 milik Changmin terselip di celah denimku.
Ketuk sol terburu-buru tak lagi terdengar. Alih-alih, kaki jenjang mereka berendeng di muka etalase. Aku melompat ke luar dengan perlahan. SUT
[3] milik Changmin masih terparkir di samping mesin meteran. Langkahku pendek. Tubuhku berputar, bersembunyi di balik tonggak kanopi. Langit nyaris sepekat senja kala Changmin meringkusku ke dalam jok penumpangnya. Napasku menderu-deru, asap tipis mencuat sedikit demi sedikit. Kesepuluh jemariku nyaris mati rasa.
Well, ini akan segera berakhir. Yunho akan menemukan kami. Aku mencoba menuliskan pesan balasan padanya.
“Changmin? Shim Changmin?” aku mendengar pria itu berbicara. Bukan lapat-lapat, malah terang-terangan, seperti letupan suar.
“Eric.” Ia mendengus. Menyepelekan nama itu seolah tahu ia akan menemukan wajahnya membersil di etalase depan.
Aku mencengkeram ponsel itu kian kuat. Eric? Statusnya mungkin seorang kepala divisi atau semacamnya. Mataku melirik ponsel Changmin. Tidak ada keredap notifikasi balasan. Fuck!
“Di mana dia?” tanya Eric.
“Dia? Aku tak mengerti apa yang kaubicarakan,” Changmin pura-pura tidak tahu; aku bergerak perlahan, membelakangi salah satu van.
“Jangan mencoba untuk menutupi. Kautahu itu. Jung Yunho memberitahuku. Kau tak bisa begitu saja terlibat. Pangkatmu tak lebih dari opsir kepolisian Detroit. Lihat tanah yang kaupijak. Ini Pittsburgh.” Ia tertawa. “Menyerahlah, Changmin. Nikolai Gogol adalah wewenang CIA,” Eric berorasi panjang lebar, mencoba menggertak Changmin, ia menarik pistolnya dari suspender samping. Jemari kurus Changmin kalah cepat. Gelas karton itu oleng, terlepas dari tangan kanannya. Isinya tumpah ruah menghujani lantai. Ia mengangkat kedua tangan.
“Kau tak bisa mengambilnya dengan serta-merta.” Manik mata Changmin membeliak. Moncong pistol itu merapat ke tulang mandibulanya.
“Begitu juga denganmu, Bung.” Langkah-langkah patah. Senjata-senjata lain masih terkokang tepat ke arah tubuh jangkungnya. “Kau baru saja terkena pasal pidana lantaran membawa pergi barang bukti.”
Eric tersenyum congkak. Mengeluarkan borgol dari saku pantalonnya.
Keparat! Etape itu terlalu jauh untuk kujangkau. Lima meter. Aku melihat Changmin melirik ke samping. Pria lain yang mengenakan pakaian serbahitam. Dasi tersimpul rapi, melurung di tengah lapel kemeja. Yunho?
Aku melihatnya mengokang Beretta berkaliber 40. Tidak ada yang bergerak. Kedua bibir sama-sama terbungkam. Changmin? Bagaimana dengan Changmin? Jantungku bertalu-talu.
“Tunggu!” pekikku.
Tak sanggup kuhitung berapa pasang mata yang menatapku dari kejauhan. Sol Chuck Taylors itu menggaruk larik aspal. Aku merogoh celah denimku. Menggenggam popor senjata dengan kelima jemari. Lenganku tremor. Persendianku seolah kehilangan pelumas. Alih-alih, tersaruk-saruk melangkah dari balik van hitam.
Sica? Artikulasi itu terpeta di bibir Changmin. Ia melempar tatapan ke seorang pemuda, yang kuasumsikan sebagai Jung Yunho, ekspreksinya datar, ibarat kertas putih. Siaga? Waswas? Itu masih menjadi sebuah cangkriman. Telunjuknya hendak menginjak pelatuk, memegang popor dengan kedua tangan.
“Lepaskan borgol itu!” gertakku, aku tahu, apa yang kulakukan. Mengangkat sebelah tangan, menempelkan moncong Beretta yang kupegang di pelipis kepala.
“Sica,” Changmin menatapku dengan raut tak percaya. “Hentikan itu.”
“Lepaskan!” jeritku. “Kita bisa sama-sama kehilangan data itu.”
Eric baru saja mengungkung sebelah tangan itu dengan borgol. Cengkeramannya terlepas. Ia mendengus. “Well, Miss …” ia berbalik bersemuka dengan Yunho. “Miss Jung, agaknya kau salah mengerti.” Sepatu loafer, lagi-lagi, sol belakangnya mengetuk-ngetuk, mendekati tempatku berdiri.
“Jangan bergerak!” Aku mengokangnya kali ini. Beretta 92 dengan sekali tarik, peluru itu akan meletupkan data sekaligus otakku.
“Okay,” ia mengangkat tangan, membiarkan pistol peraknya bergayut di selongsong suspender. “Aku tak mengerti apa maumu. Satu hal, Miss. Kau seorang buronan. Michigan Building. Ingat itu?” Alisnya bertaut, ia sama sekali tidak prihatin dengan kondisiku-tak ubahnya dengan Jaejoong dan Yoochun, yang ia pedulikan serta-merta hanya data keparat itu.
“Kami menemukan sidik jarimu di popor sebuah Glock.”
“A-”
“Eits, kau tak bisa berkilah. Kami sangat perlu data itu. Jangan sampai ada yang terluka, ini sama-sama merugikan, kautahu? Bagaimana dengan menyerahkan diri? Kami akan menjamin semuanya. Kau akan baik-baik saja.”
Aku menatap Changmin lekat-lekat. Tanganku gemetar. Bibirku bisu, mengamati figur tegap itu berseliweran, mengeriapi pelataran gerai, berganti haluan menyisiri aspal di hadapanku.
“Sica?” Ia mengangsurkan telapak tangan kirinya, mengingini benda itu. Beretta di tanganku.
Aku mencoba mencari pertolongan. Changmin menghela napas, frustasi. Itu bukan pertanda baik. Jantungku berdegup, samar, namun kini teramat kontras, seakan memukul lumpuh seluruh saraf di tubuh.
“Sica?”
Mataku menyipit. Ada yang salah dengan ruas jalan di balik kanopi. Pasukan Eric silih pandang. Tatapanku menumbuk aspal.
DUAR!
Bunyi itu meletup sebagai genta pembuka. Eric terjengkang. Aku menatapnya tak percaya. Lampu-lampu sekonyong-konyong berdisko. Hujan peluru datang beriringan. Memantik nalar, Changmin menerjang ke arahku. Bertiarap di samping telundakan gerai. Raungan mesin diesel serta-merta terdengar. Tembakan bertubi-tubi, menghajar rentetan kaca. Suban meringking, menggelepar-gelepar, menghunjam telundakan.
Sekejap semua menjadi bisu. Waktu berjalan paradoks, terdilasi menjadi sebuah lonjakan khas Einstein. Aku merasakan Changmin merangkup tubuhku. Kepalaku tergolek miring, menghantam benda pejal. Detik-detik kala matamu terjaga, tapi pikiranmu malah memutarbalikkan segalanya.
Sica!
Sica!
Sica!
Aku membaca bibir Changmin dengan saksama. Bunyinya hanya “nging” tak berujung. “Sica?!” tangan pucat itu menepukku beberapa kali.
Aku menarik napas sekuat tenaga.
Ia tak banyak bicara, mataku mengerjap beberapa kali. Cengkeramannya memaksa tubuhku berdiri. Aku menoleh ke belakang. Kim Jaejoong bersalutkan M16; Park Yoochun tersenyum culas padaku.
“Lari, Sica! Kita harus segera bergerak!” Changmin menggamit tanganku. Chevy Tahoe itu sudah berderum, siap melaju. Tak sempat menilik ke jok penumpang, aku menyelinap membuka pintu belakang.
“Cepat jalan, Hyung!” perintah Changmin; menggasak bantalan jok; ban mobil serta-merta berdecit, memberus ruas jalan keluar. Jaejoong mengumpat gagu di balik kaca. Menopang popor M16 dengan sebelah tangan. Larasnya mengarah lurus. Aku berjongkok di sela kursi.
“Awas!”
Peluru dengan singkat merajah pelat besi; mengedor sekujur pintu. Kaca jendela hancur menjadi puing. “Shit!” Changmin memekik di sampingku. Yunho menginjak pedal gas dengan kecepatan penuh.
Jaejoong cepat berlari menghampiri Hummer H2. Salah seorang tangan kanannya terlihat di balik roda kemudi. Yoochun menggelendoti kerai jendela, sebelah tangan melancarkan serangan peluru.
Changmin balas menurunkan jendela di sampingnya. “Jangan kurangi kecepatan!” cecarnya pada Yunho. Mengenggam Glock miliknya dengan kedua tangan. Tanganku otomatis beranjak. Ini sungguh gila, aku membatin, mencondongkan tubuh keluar jendela, dan meraup popor Beretta. Jaejoong menatapku tepat di mata. Lampu jalan masih separuh temaram, sementara cahaya fajar berangsur menyingsing di timur.
Letupan cuar itu tak henti merembes dari jungur senjata. Terjadi adu tembak masif sementara Yunho mempercepat akselerasi Chevy Tahoe-nya. Peluru-peluru memberondong, mengenai badan mobil.
“I’m out,” Changmin masuk terlebih dahulu, mengeluarkan magasin dari Glock-nya. Aku mengempaskan badan di samping. Napasku terengah. Adrenalin seolah berkelejat hingga ke ubun-ubun.
PRANG! Mereka berhasil menghancurkan jendela pemburit; aku spontan memekik.
Yunho melempar magasin dari laci dasbor ke deret jok belakang; Changmin secepat kilat meraupnya. Dadaku naik turun, berusaha mengatur napas, sesekali menilik spion di atas bangku kemudi. Mata kami bersirobok. Yunho dengan tatapan curiga. Berusaha menghindari serangan peluru; menyalib lorry di tengah pertigaan. Memasuki gerbang Interstate 579 S. Changmin merangsek masuk, terperenyak, bermandikan peluh.
“Jaejoong …” deru napasnya terpenggal. “Aku kehilangan kendali atas Hummer-nya.”
Yunho melempar setir ke bahu jalan. Mengisolasi jalan masuk, berimpitan menyuruk di antara antrean mobil lain.
“Merunduk, Sica.” Changmin merangkul tubuhku seiring hunjaman peluru menghantam masuk, menembus busa jok belakang.
Chevy Tahoe yang kami tumpangi berputar miring. Aku melihat ke belakang. Jaejoong dengan M16-nya sementara Yoochun di jok depan, menekap sebelah tangan. Rasakan.
Hummer-nya meraung kencang. Yunho menambah kecepatan. Keluar dari barisan. Mobil kami menyabotase ruas kiri. Truk kontainer sekonyong-konyong menyembul, berkecepatan penuh dari arah depan.
Changmin mencengkeram tubuhku kuat-kuat. Telapaknya dingin. Menyapu bahuku yang separuh telanjang. Kemejanya kini berlumuran darah. Aku mengimpitnya dengan kesepuluh jemari.
Ada decitan ban singkat, Yunho menginjak rem. Aku memejamkan mata.
BRAK!
Bunyi itu bersipogang di seantero Route 885. Air mataku merembes keluar. Meraba ke sekitar. Aku menemukan manik cokelat itu menatapku sembari meringis. Tangan, lengan, punggung, kepala-semuanya nyeri. Kepalaku menoleh ke belakang. Hummer H2 itu baru saja beradu dengan truk kontainer, mesinnya meledos, asap hitam membubung, aku tak melihat keduanya. Jaejoong dan Yoochun mungkin masih terperangkap di jok penumpang.
“Kau baik-baik saja?” Yunho bertanya dari balik setir. Alis hitamnya berjengit. Ia melirik ke arahku, lantas mengecek keadaan Changmin. Aku mengangguk. Pemuda itu membungkam.
“Changmin?” tanyaku.
Rautnya lesi. Sarung oscar yang membalut joknya bersimbah darah.
“O, shit,” hanya umpatan itu yang dapat meluncur dari mulutku. Changmin memilih bersandar, memicingkan matanya sembari melempar tatapan ke luar jendela, Yunho lekas-lekas membuka laci dasbor di sampingnya.
“Apa kau bisa bertahan?” Dagu lancip itu berselisih dua inci di atas roda kemudi.
Changmin tidak menjawab.
“Sini, biar kulihat.” Aku menarik napas sejurus, dengan cekatan membuka kancing kemejanya. Tubuhnya terlalu kurus untuk ukuran resimen, tapi aku melihat otot-otot itu mengejang di sekitar perut. Changmin menggigit bibirnya. Tak ada peluru di pinggang kanan. Alih-alih, daging yang tercabik. Darah yang menyeruak ke mana-mana. Aku memejamkan mata. Merengut kuat-kuat pelisir kemeja yang telah koyak.
Yunho berhasil meraup barang temuanya, lantas menyerahkan sebentuk botol perak dan dua keping obat pereda nyeri padaku. “Kuharap wiski dan parasetamol dapat membantu. Aku akan bergerak cepat. Junsu menunggu kita,” ia menjelaskan; kembali merangkul roda kemudi.
Permukaan metalnya seketika ikut berlumur kesumba. Aku serta-merta membuka tutup botol itu dengan rikuh, mengangsurkan cairannya di mulut Changmin. Ia mereguk dengan susah payah. Bau alkohol mencuat, membasahi lereng mandibulanya. Matanya membentuk busur; aku menangis. Tanpa suara. Membiarkan rasa takut itu mendera.
Changmin memegang tanganku.
Aku membuka kemeja lumberjack yang membalut tubuhku, melipat kain itu, menekan lukanya. “Sica,” ia berbisik di telingaku, lirih. Aku bahkan menyebutnya sebagai desisan. Tanganku menelusup ke balik punggungnya dan mengelus tulang belikatnya perlahan.
.
.
-to be continued …
[1] salah satu merek obat-obatan kelas SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) yang bersifat sebagai anti-depresan.
[2] lagu dari band asal Britania, Coldplay dalam album Viva la Vida or Death All His Friends
[3] Sport Utility Truck