Title: T O R N
Author:
azura_caelestis Rating : PG+15 / straight
Casts: Kim Ki Bum (U-KISS) and OC
Other Casts: U-KISS
Genre: Fantasy, AU, Fluff, Angst
Length : ? Shots
Part: 8 of ?
Disclaimer: I don't own the U-KISS characters here. They belong to themselves, and this story is only a fiction. So please don't sue me.
A/N:
- Sorry for the hard diction.
- This fan fic hasn't betaed yet, so I'm sorry if there're any miss typed and spelled.
- Kim Ki Bum will play as Aro in his past time memories :D
- Thanks for my twin who had given a beautiful name for this fan fiction.
READ THE PREVIOUS CHAPTER ON
HERE Warning:
For the friend who does not have Live Journal ID, please comment as ANONYMOUS and write your name in the comment box OR you can comment by your Facebook account.
CHAPTER EIGHT
BUSAN. SOUTH KOREA. 1998
Tatapan mereka tak sempat bertemu. Chae Rin termangu sangsi, menatap dua pasang manik yang kian menjauh. Lesak dedaunan saling bertumbukan, seolah mengaburkan jarak pandangnya.
Ia tak lagi memberungut, tatkala sebuah rengkuhan harap meraupnya. Ki Bum, gumam Chae Rin, tergoler lemah. Matanya nyaris terpejam. Tengkuknya disisipi semburat napas hangat. Nalarnya berlayar, beriringan dengan tubuh Ki Bum yang menyembul di atas permukaan. Tak disangka Ki Bum membawanya terbang; melayang beberapa kaki dari pijakan mereka.
Gadis itu tak berani berujar. Keputusasaan seakan merongrong relung hatinya. Kepalanya tersangga lunglai, alih-alih mendongak memandang Ki Bum: menuntut penjelasan.
Sejoli itu membungkam. Remang cahaya keperakan menimang tubuh mereka, menembus siluet pepohonan. Chae Rin meringis, menahan sesak yang mengasaki dadanya. Cengkeraman Ki Bum membebat kuat, tak sadar telah meremukan tubuh mungilnya.
Degup jantung Chae Rin seakan berjeda sesaat. Sekilas, paras kedua makhluk yang mengincarnya terlintas. Senyum getirnya tak ayal merekah, dan raib: tersiur di antara dua perasaan. Ngeri, sekaligus terselamatkan.
Jati diri Ki Bum belum sepenuhnya kembali. Dengkur napasnya tak berima padan, menyisakan rintihan yang menjadi-jadi.
“Ki Bum-ah,” bisik Chae Rin, menepuk-nepuk pipi saudaranya, risau. Lelaki itu tak kunjung sadar. Tubuhnya terhempas. Punggungnya bergesekkan dengan himpunan ranting, tatkala keseimbangan keduanya menukik luruh, mengantuk onggokan batu.
Chae Rin meringis ketakutan. Jemarinya mengerat. Ujung bibirnya tergigit kuat-kuat, menahan pekikan yang tercekat di pangkal tenggorokan.
Sekejap, dekap erat itu terlepas. Chae Rin terengah. Dipandangnya Ki Bum dengan raut gundah. Lelaki itu menyeringai. Matanya berangsur membeliak, namun ada yang berbeda pada warna maniknya.
Sepasang retina merah memicing tajam, beradu tatap dengannya. Ia bukan Ki Bum. Chae Rin kenal betul dengan warna kornea lelaki itu. Dan kini, siapakah orang di hadapannya?
Chae Rin hendak memekik, namun impulsnya berkata lain. Giginya bergemeletuk, membayangkan napak tilas yang terulas beberapa menit lalu. Kini manik matanya kembali bergulir, memandangi onggokan tubuh yang tertelungkup itu.
“Ki Bum, kau kah itu?” bisik Chae Rin, setengah berharap.
“Lex,” ujar Ki Bum, tiba-tiba mengelus pipi saudara perempuannya. Kali ini Chae Rin beringsut menjauh. Ia tahu, ada seseorang lain yang menabiri penglihatan saudara lelakinya.
Nama itu tak terdengar asing di telinga. Tatkala sesaat sebelum Ki Bum tenggelam dalam samudera mimpinya, agaknya pria itu mengucapkan nama yang sama.
“Lex?” Chae Rin balas bertanya. Namun, tangis Ki Bum terlampau menggelegak. Direngkuhnya Chae Rin amat erat, tak ubahnya sebuah harta berharga yang ia punya. Tak ayal, gadis itu diliputi perasaan aneh. Jantungnya seolah berpacu dengan arus waktu.
“Apa yang kau-” Chae Rin tak sanggup memaki saudaranya. Perasaan iba bak menggerayangi relung hatinya. Pemikirannya menelaah kejadian di kala senja: saudara lelakinya rela berlari meninggalkan rumah demi menolongnya. Kini, rasanya tak etis jika ia masih bersikap apatis terhadap lelaki itu.
“Kau takkan meninggalkanku lagi, ‘kan?” keluh pria itu. Chae Rin terheran. Ia kian penasaran dengan sosok Lex di mata saudara tirinya. Wanita itu agaknya telah membekasi kehidupan Ki Bum dengan sebuah kepergian. Namun, apakah paras keduanya memiliki kemiripan?
“Jawab aku, Lex,” seru Ki Bum, jengah.
Chae Rin terkesiap. Bibirnya terbata-bata mengucap, “Tidak. Aku takkan meninggalkanmu.” Untuk pertama kalinya ia membual.
Entah apa yang membuat hati dingin itu tergerak. Derai tangis Ki Bum seakan meluluhkan peringai angkuhnya. Sebuah perasaan asing sukses menguak paradoks dalam kehidupan gadis itu.
Kata-katanya berbalas rasa. Kala Ki Bum merebut takhta siswa teladan dalam kelas sastra, Chae Rin dengan tegas mengumpat; takkan menaruh hati pada saudaranya, namun kini rasanya semua itu berbeda. Lecutan sensasi anyar mulai menyisipi sumpah serapahnya.
“Kau tahu, aku mencintaimu, Lex. Dan ayahmu membuangku. Membuatku melanglang-buana, mencari dirimu di tempat asing ini.”
Chae Rin tersentak. Nyalinya mengerdil, mendengar deretan klausa yang meluncur dari pengakuan saudaranya.
Lex dan ayahnya. Lalu Ki Bum dengan peristiwa pembuangan. Rasanya ada sebuah peristiwa janggal yang menaungi mereka bertiga. Namun, Chae Rin merasa tak enak hati, menyinggung perkara itu.
“Aku juga mencintaimu.” Kata itu terangkai begitu manis, menyelinap keluar, melalui bibir Chae Rin. Ini hanyalah panggung sandiwara. Tak lebih dari lakon dan aksi tipuan belaka, ia berusaha menghardik dirinya.
Pertemuan mereka seolah terulang kembali. Menjadi sejoli yang tak saling kenal dan tak saling menyapa. Bergeming di bawah bias cahaya bulan, ternaungi sejumput lingkaran dedaunan, namun keduanya saling memadu kasih. Ki Bum melepaskan dekapannya, memandang anggun gadis itu.
Chae Rin hendak beranjak; memalingkan wajah. Pipinya memanas, bibirnya terasa kelu untuk berucap. Berkali-kali ia berusaha menyangkal, tetapi perasaan itu seakan bermekaran, merambati sudut hatinya.
“Ada yang salah?” seuntai senyum tulus terperangkap di bibir sang pria. Chae Rin menekur sejurus, bersemburat pilu. Kepalanya berusaha mendongak, ingin mengutarakan isi hati, namun jemari dingin itu gegas membuai dagunya.
“Er, Ki Bum-ssi…” kata-katanya terhenti. Tangan Ki Bum terangkat, mengaksikan sepercik kehangatan. Jemarinya menekan tenggorokan Chae Rin, membuat gadis itu menegang. Perlahan bibirnya terdorong maju, memberikan sebuah sentuhan manis pada bibir sang gadis.
Chae Rin hendak memberontak, namun secercah kenikmatan dan kejanggalan memagut bibirnya, menjadi satu.
Ia berusaha membuang jauh-jauh rasa galau: menampik pergi perihal hubungannya dengan Ki Bum di dunia realita. Sekalipun euforia itu tak berlangsung lama dan mungkin yang dilakukannya merupakan bidah keluarga, tetapi rasanya ada perasaan nyata yang membalut semuanya.
****
“Apa-apaan kau, Lex?!” bentak Xander, menahan tingkah ‘tuan’-nya. Entah apa yang terbersit di otak wanita itu, sedari tadi membanting barang-barang tanpa alasan. Lex terengah. Tatapannya redup, tak berambisi layaknya biasa. Bibirnya diselubungi ceceran noda darah.
“Ini semua karena ulahmu!” pekiknya, menuduh.
Pria itu termangu. “Jika kau tidak terlalu memusingkan aroma lain, pastinya kita dapat menemukan Aro di balik rumpun itu!” lanjutnya, menendang bak sampah.
Xander tak dapat membantah. Terserah apa kata Lex, setidaknya ia berhasil menggagalkan rencana itu. Dan, soal aroma lain? Agaknya perihal itu hanya manipulasi belaka. Ia tak ingin-satu-satunya-miliknya pergi.
“Ayolah, Lex. Kau terlalu naif, menyangka aroma mint sejuk itu milik Aro? Mungkin saja itu hanya ilusimu,” sangkal Xander, menampik tuduhan. Wanita di hadapannya membelalak. Rupanya sang incubus hendak berseteru paham dengannya.
“Jangan remehkan semua kejadian itu. Bahkan aroma itu terlalu berharga untuk ikut bertandang ke indera penciumanmu,” Lex mendengus, sengit. Kali ini Xander mencoba mengulik akal.
“Tapi aku yakin. Tadi aku mencium sesuatu yang lain, seperti-”
“-kau hanya mencoba mengelabuiku,” sambar Lex, tak ingin tahu.
“Oh, jangan bilang kau tak merasakannya, Lex. Ada seorang perempuan di sana.”
Lex tak berkutik. Air mukanya sontak menyusut, menanggapi paradigma itu. Jujur, ia pun dapat merasakannya, tetapi aroma mint sejuk itu menguap begitu kuat, disandingkan wangi colonge yang tak terlalu menyeruak.
“Perempuan?”
“Entahlah. Kurasa ia memiliki hubungan kekerabatan dengan Aro.” Mendengar ucapan itu, Lex berjalan mengentak, mengampiri seonggok tubuh di ujung lorong jalan. Taring-taringnya seolah ingin mendobrak keluar: mencabik-cabik daging segar.
Gadis muda yang terbaring itu belum sepenuhnya meninggalkan jasad. Matanya separuh terpejam, tak sadar ambang kematian telah mengintip dari balik pintu penghakiman.
“Lex, apa yang hendak-” kata-kata Xander tercekat. Bibir manis itu tak perlu melafalkan murka, dari gerak-geriknya; wanita itu menatap tajam, mengarah ke kaki langit, bersikeras ingin merebut kembali hak kepemilikannya.
Hanya tersahut sebuah erangan singkat ketika sepasang taring itu menancap. Tenggorokannya menyuarakan dahaga; naik-turun seirama dengan detak jantungnya.
Xander meniti langkah: mendekati tuannya dan bertelut di samping. Tangannya tergerak, menggapai dagu sang wanita. Bibir itu mengangsur sebuah seringai lancung yang disambutnya dengan sebuah ciuman hampa. Mereka saling berbagi, melenyapkan kemaruk dahaga yang memaguti relung hati.
****
Hanya sepucuk mimpi kelam yang menelusup di antara malam, yang membuat Chae Rin membelalak sayu. Jemarinya meraba sisi samping. Menemukan permukaan batu kosong, meninggalkan-tak lebih dari-segugus siluet hampa.
Dingin bak menjalari jemarinya, kebas bak merambahi sendi-sendinya. “Ki Bum?” panggil Chae Rin, mencari sosok saudaranya. Perlahan, diliriknya mantel lusuh yang tertinggal di sana.
Perca kain itu meninggalkan aroma khas; bukan salah satu dari sederet wewangian Armani, namun wangi khas yang berhaluan pinus. Wewangian yang sama, yang merengkuh tubuhnya semalam, menenggelamkannya dalam hamparan awan.
Mengingat hamparan awan, rasanya Chae Rin masih mengingat persis perihal semalam. Bibirnya masih merekam sentuhan manis itu.
“Itu bukan apa-apa,” sergahnya, menahan semburan air mata. Yang dilakukannya semalam tak lebih dari panggung sandiwara, bahkan Ki Bum pun melakonkan jiwa yang berbeda.
Bayu fajar seakan dicarakkan paksa, menelusuri rongga paru-parunya. Chae Rin mengalih pandang sekilas, mengamati rumpun-rumpun belukar di ranah yang tak asing baginya.
Nyatanya, ia terdampar di tengah Taman Tenggara. Taman kota mungil yang terpaut hanya beberapa blok dari rumahnya, namun saat malam tiba, rasanya taman mini itu menopengi dirinya, menjadi rimbunan pohon yang menyerupai hutan di tengah kota.
Gadis itu menghela napas berat, merutuki kepergian Ki Bum tanpa sepengtahuannya. Ujung sepatunya berusaha berjinjit, menjejaki timbunan rumput yang bergerombol di permukaan tanah.
Langkahnya limbung. Separuh sadarnya masih berada di ambang tanya: teganya saudara lelakinya itu meninggalkannya seorang diri mencari jalan pulang. Jika teringat kata-kata Ki Bum semalam, rasanya kobaran asmara itu hanyalah roman picisan; tak berarti, namun pantas untuk dibuang.
Onggokan air mata-tak sadar-menggelimangi pelupuknya, namun Chae Rin berusaha menarik balik semua sesal itu. Ditatapnya semburat mentari pagi yang belum sepenuhnya meninggi. Jingga masih tertutup kabut, meruam riang di ufuk timur.
Disusurinya ruas jalan. Timbunan dedaunan kering bergerombol di kiri-kanan. Musim panas kian berakhir, berganti dengan nuansa musim gugur yang sebentar lagi merambahi cuaca ekstrim.
Sembari menggosok-gosok kedua telapak tangannya, Chae Rin melangkah gontai. Kepalanya tertunduk lesu, tak sanggup menatap arogan ke arah depan. Bibirnya terkatup, tatkala hatinya menggerutu.
Kendati perjalanan tak sejauh yang ia kira, namun kini Mr. Park telah menunggunya di pelataran rumah. “Chae Rin, ke mana saja kau semalam?” sergahnya, muram.
Langkah Chae Rin terhenti. Lehernya menegak. Dan bibir itu hanya dapat membungkam, sembari menyampirkan cengiran khas. “Er, Appa semalam aku-”
“Kau tahu, adikmu-Ki Bum-mencarimu semalaman!”
Ki Bum? Agaknya ia salah dengar. Mana mungkin lelaki bengal itu telah menginjakkan kaki di rumah? Jika begitu, siapa yang merangkulnya semalam?
“Aku menginap di rumah Hye Min kemarin. Maafkan aku, membuat Appa cemas,” Chae Rin membungkuk, hormat. Entah alasan bualan itu berhasil apa tidak, namun hatinya telah menyiasati skema balas dendam.
Mr. Park berdecak. Ia tak habis pikir dengan tingkah putri sulungnya: menghilang semalaman tanpa memberi kabar, dan sekarang malah beralasan yang tidak-tidak.
“Appa tahu, kau berbohong. Tetapi, setidaknya kau baik-baik saja sekarang. Jika kau tidak pulang, mungkin saja kau akan berada di dalam daftar orang hilang hari ini.”
Chae Rin membelalak-mendengar fakta yang agak sedikit mengada-ngada-namun bibirnya terpaksa menyisipkan senyum rindu untuk sang ayah. Untung saja, Mr. Park tak berpikir hal yang bukan-bukan.
****
Beberapa menit sebelum bel masuk berdering, Kevin bersandar di samping jajaran loker ‘langganannya’. Sekedar melihat jam, lalu balik melirik pintu hall utama.
Lengang. Jawaban itu telah tersirat sejak beberapa menit yang lalu. Dan lagi-lagi Chae Rin terlambat.
“Ke mana anak itu?” gumam Kevin, mengentuk-ngetuk pintu loker di sampingnya. Ini bukan hal yang biasa bagi Chae Rin. Ia bukan siswi yang tersohor dengan kata ‘terlambat’, tetapi mungkin saja, gadis itu mengalami sesuatu hal. Kecelakaan, mungkin?
Lagi-lagi Kevin melirik jam tangan. Tangan kanannya mulai meraih kenop-salah satu-jenjang loker. Memutarnya sesuai kombinasi angka yang tepat, dan… KREK. Bunyi decitan engsel logam saling beradu. Mulutnya mulai berbisik kecil, merapal daftar mata pelajaran hari itu.
Hanya sepersekian detik-sebelum jemarinya menarik buku sastra, derap langkah di ujung lorong terdengar mengentak, panik. Chae Rin tiba. Wajahnya pucat pasi, setelah sebelumnya berlari, menyusuri pelataran depan.
“YA! Chae Rin-ah, ke mana saja dirimu?” keluh Kevin, menghampirinya.
Chae Rin tak sanggup membalas rutukan itu. Napasnya tersengal, “Ma-af, Kev. Mem-buatmu me-nung-gu.”
Kevin terkekeh. “Dasar kau. Tak biasanya kau terlambat seperti ini. Memang ada masalah apa?”
“Tak bisa kukatakan sekarang. Ayo cepat masuk, kurasa kita sudah tertinggal beberapa menit.” Tanpa berbasa-basi panjang, Chae Rin segera menarik tumpukan buku itu dari genggaman sahabatnya. Kakinya melenggang, taktala sebuah tepukan sekonyong-konyong mematri langkahnya pada lantai pualam.
“Ki Seob?” seru Kevin, terkejut. Keduanya sontak berbalik.
Kevin tak ingin berlagak munafik. Bibirnya mengukir senyum ketus. Tata berdirinya pongah, tak kenal sapa.
“Chae Rin?” alis Ki Seob mengedik, mencari sesosok bernama Chae Rin di samping sepupunya.
“Kau mencariku?” sergah gadis itu dengan nada yang dibuat-buat. Dahi Ki Seob mengernyit, tatapannya teduh-layaknya biasa.
“Ada yang salah denganmu, Chae?”
Chae Rin mendengus, menampik jemari yang hendak menggamit tangannya. Ia tak sudi diperhatikan seorang penipu. Beberapa hari lalu, pengecut itu berlari tunggang-langgang, meninggalkannya di sebuah pub. Dan kini, apa yang hendak ia lakukan? Meminta permohonan maaf?
“Yang salah itu dirimu, Ki Seob-ssi. Kau merasa benar? Dasar pembual!” Didorongnya Ki Seob sekuat tenaga. Lelaki itu terhuyung beberapa inci ke belakang, namun kekuatan mungil Chae Rin tak sanggup menjengkangkan tubuhnya.
Kendati ingin segera meninggalkan perdebatan, Ki Seob malah berhasil menahannya untuk tidak langsung melengos, pergi. “Hentikan! Lepaskan aku!” Tubuh itu meronta.
Kevin enggan membantu. Ia malas berurusan dengan begundal itu. Jika ingin jujur, Kevin pun tak sudi mengakui relasinya dengan Ki Seob. Profesinya tak jauh dari seorang pemabuk dan pemain pool. Berani bertaruh, bahkan peringainya lebih menyerupai preman ketimbang siswa tingkat akhir.
“Boleh kupinjam sahabatmu, Kev?” Ki Seob tak mengindahkan erangan gadis itu, ditariknya paksa tangan mungil Chae Rin. Menyeretnya keluar koridor tengah. Kevin hanya terlongo di tempatnya. Nasib buruk memang tengah melanda sahabatnya, padahal seminggu lalu ia sudah memperingati gadis itu dengan segala kengerian sepupunya, tetapi bodohnya, Chae Rin malah menomor-satukan rasa takjubnya.
Raut Chae Rin berkelit, gusar. Memperhatikan pilar-pilar beton penyangga. Ki Seob nampak berbeda. Perilaku familiarnya seolah lenyap, disesaki amarah.
“Apa yang kau inginkan dariku, Ki Seob-ssi?”
“Bicara apa kau, Chae? Aku hanya ingin kau tidak menghindariku. Itu saja.”
“Tetapi, kau yang meninggalkanku malam itu.”
Ki Seob tak langsung menjawab, tatkala otaknya sibuk mengatur siasat.
“Saat itu aku-”
“-apa yang kau lakukan? Kau meninggalkanku, ‘kan? Sampai seorang datang dan-“
Kata-kata Chae Rin terhenti. Ia pun tak tahu, siapa yang menolongnya kala itu. Seorang laki-laki kah? Tetapi semuanya seolah membaur, seiringan dengan aroma alkohol yang menyeruak dari dasar lambungnya. Ia mabuk berat, bahkan saat pagi menjemput, ia hanya sadar, tubuhnya telah berada-utuh-di atas ranjang.
“Siapa yang menolongmu?” Ki Seob berusaha melempar topik: ikut penasaran dengan sosok baik hati itu.
“Kau tak perlu tahu. Urus saja pekerjaanmu, toh aku, hanya kau anggap sebagai gadis murahan yang dapat kau permainkan. Dan saat kau butuh, kau datang padaku, meminta maaf.” Chae Rin tak sanggup memungkiri kekecewaannya. Mungkin dulu ia terlampau gelap mata; dengan bangga memproklamirkan jodoh barunya di hadapan para teman. Namun, sekarang sosok tampan itu malah mencalar kepercayaannya.
“Tunggu. Maafkan aku, Chae. Aku tak bermaksud meninggalkanmu malam itu, namun-”
“-aku tahu, kau membual.” Gelagat apatis Chae Rin semakin menjadi-jadi. Ia jenuh mendengarkan serentetan alasan berambigu.
“Dengar! Aku melihat saudaramu malam itu.”
Ki Seob berhasil menarik perhatian Chae Rin tepat waktu, “Apa yang ia lakukan saat itu?” Manik matnya berbinar, seolah ingin mejarah penjelasan lebih lanjut.
“Entahlah. Ia seperti orang kerasukan. Percaya atau tidak, seorang teman pernah mengatakan, ada perkumpulan aliran hitam di daerah ini.”
Wajahnya mendongak, menatap kedua manik itu, lekat. Chae Rin kian penasaran dengan sosok saudara laki-lakinya. Apakah Ki Bum salah seorang dari mereka? Namun, agaknya prediksi itu meleset dari petak realita.
“Apakah semua fakta itu benar? Atau itu hanya buah bibir para penghuni kota saja? Kurasa, Ki Bum bukan salah seorang dari mereka.”
“Terserah, kau hendak percaya atau tidak. Tetapi, aku berkata jujur soal fakta,” Ki Seob bersedekap, menatap hamparan ladang rumput di hadapannya. “Kota ini memang sudah tidak aman untuk dihuni, dedemit mungkin telah berseliweran di antara ceruk tembok antar rumah.”
Chae Rin merasakan bulu kuduknya meremang. Kalimat itu sukses membuatnya kalut bukan kepalang. Selama ini, ia lebih gemar menggauli artikel berita ketimbang kolom fiksi-yang dirasanya bualan. Namun, semua kejadian pembantaian itu agaknya bukan hasil dari penerkaman binatang buas yang direkayasa. Mereka nyata dibunuh tanpa belas kasihan.
****
Dering telepon silih menyapa, meramaikan divisi investigasi. Eli nampak lusuh dengan kemeja putihnya. Gurat kecemasan seolah mempertua perawakan tegapnya. Ia berdiri di hadapan komputer berlayar besar, menggenggam segelas espresso panas.
Kepulan uap panas mengawang di atas bibir gelas. Perlahan Ki Seob menyesap, namun matanya tak henti melempar pandang ke arah layar. Enam foto mengenaskan terpampang di sana; yang tak lain enam gadis korban pembunuhan berantai minggu ini.
“Bagaimana, Ms. Jung? Kau sudah memiliki beberapa bukti teranyar?” tanya Eli, berjalan ke arah meja sekretarisnya.
Ms. Jung yang sibuk bergumul dengan pembicaraan di telepon tak ayal menggeleng. Informasi anyar memang belum dikonfirmasi ulang dari pihak kepolisian. Namun, Eli tetap bersiteguh ingin memperoleh data-data itu secepat mungkin.
“Eli-ssi, sepertinya data ini dapat membantu Anda!” Young Hak berteriak, mengabarkan sejumlah temuan yang terpapar di monitor komputernya.
Pemuda itu mengambil langkah cepat, menyusuri lorong meja. Seketika saja, komputer Young Hak telah diambil alih olehnya. Manik matanya memindai barisan kata yang tertata di sana.
“Kau sudah menyelidiki jasad terakhir?”
“Sudah. Saat fajar, dikabarkan: jasad itu di temukan di tempat yang berbeda dari keenam lainnya.”
Eli menghela napas berat. Seorang gadis muda terbukti menjadi korban ketujuh, setelah semalam ditemukannya enam jasad di hutan Gyeongsang. Dan saat petang kemarin, Mr. Park memberi kabar padanya, putri sulung dan saudara angkatnya juga ikut menghilang.
Semua potongan kejadian itu agaknya dapat disusun sebagai reka ulang. Dan Eli cukup mensinyalir kedua pihak yang berstatus menghilang tanpa berita itu. Park Chae Rin dan saudara angkatnya-Kim Ki Bum. Kedua remaja itu telah masuk dalam buku catatan hitam, terlebih lagi Ki Bum. Saat terakhir kali mereka bertatap muka, lelaki itu seperti menyembunyikan sesuatu yang kelam dari manik matanya, tetapi mungkin saja, jika kini anak itu telah mengingat masa lalunya.
“Baiklah. Tolong beritahu Sang Ho dan Hye Rim, suruh mereka lacak keberadaan pemuda bernama Kim Ki Bum sekarang juga.”
“Ne, Eli-ssi,” Young Hak mengangguk patuh, meninggalkan tertorial kerjanya.
Tak ada yang dapat dilakukan Eli selain mendapat kepastian. Kendati jejak pendapatnya berhaluan benar, namun sejumlah bukti-bukti yang terkumpul belum dapat melesakkan para tersangka di balik terali penjara.
****
“Aristoteles,” baca Chae Rin, membenahi tumpukan buku di troli barang. Gadis itu berusaha menjinjit, menggapai jenjang rak tertinggi. Namun sial, tubuhnya terlalu mungil. Kakinya hanya dapat menandak-nandak gelagapan di atas lantai, tanpa tahu, ke mana harus mencari pertolongan.
Mrs. Han? Senior galak itu pasti akan menyuruhnya mengambil tangga kayu di ruang penyimpanan. Jaraknya jauh, dan lagi bilik penyimpanan itu pengap, disesaki butiran debu.
Sambil membisikkan aba-aba singkat, kedua tungkai kakinya berjingkat. Sedikit lagi, jemarinya hampir berhasil menyelipkan buku tebal itu di antara jajaran buku lain. Namun, kini buku itu malah terlempar kembali, bersama-sama dengan onggokan buku-buku besar yang ikut berhamburan.
Lorong sejarah berhasil diluluhlantakkan hanya dengan sekali senggolan. Chae Rin menarik napas, terkejut. Lengannya berusaha merengkuh buku-buku yang berserakkan sebelum Mrs. Han datang, memeriksa sumber bunyi berdebum itu.
Tiba-tiba saja seseorang datang dari arah belakang. Chae Rin hampir saja memekik, tatkala manik matanya mengenali sosok itu.
“Soo Hyun-ssi-” tenggorokannya tercekat, berusaha merapal alasan atas kecelakaan barusan.
“Mari kubantu,” pemuda itu malah meletakkan buku-bukunya. Dan segera saja, tangan besar itu meraih buku-buku yang berceceran di sepanjang lorong.
Chae Rin sempat tepekur, menyaksikan tingkah cekatan Soo Hyun. Ekspresinya terperangah kagum, tak menyangka pria yang ‘kelewat ramah’ itu hendak membantunya.
“Gamsahamnida, Soo Hyun-ssi,” ujar Chae Rin, tersipu. Pemuda itu mengangguk sekilas, merajut senyum rikuh. Keduanya kembali tenggelam dalam hamparan buku historikal.
Chae Rin sibuk menyusuri bibir lorong dari sisi depan, sedangkan Soo Hyun menyiasati serakan di bagian hilir-belakang.
Tak terelakkan, mata Chae Rin diperhadapkan dengan seonggok buku di samping rak besar. Buku-buku yang tadinya berada di genggaman Soo Hyun tiba-tiba tampak begitu memikat.
Buku Besar Kutipan Kitab Henokh, rapal Chae Rin, beringsut kehilangan akal. Sebenarnya apa yang tengah dikerjakan pemuda itu? Apa ia seorang mahasiswa teologi? Tetapi, kemarin agaknya pemuda itu hendak meminjam berbagai buku kesusastraan.
“Ah, jaesonghamnida,” Soo Hyun segera menghalangi Chae Rin, menilik tajuk buku-buku lainnya.
Chae Rin terkesiap. Cengkeraman mereka saling bersinggungan, memberikan sentuhan pilu pada pucuk jemarinya. Perasaan itu-Chae Rin terasuk sesaat. Tak perlu hitungan detik untuk menebak, ia merasakan perasaan yang sama dengan naungan semalam.
“Cepat bangun!” Sekonyong-konyong helaan itu menyergap angan bawah sadarnya. Tubuh mungilnya dipaksa berdiri dengan sepasang kaki yang tertekuk separuh, lunglai.
Chae Rin berbalik, menemukan sosok yang hilang itu. “Ki Bum?” rautnya dirambah amarah. Belum sempat ocehan mautnya membabi-buta, Ki Bum gegas menyembunyikan tubuh mungil itu di balik perlindungannya.
Soo Hyun dan Ki Bum. Mereka saling beradu tatap, menyiratkan sebongkah dendam yang telah terkubur lama.
Chae Rin tak tahu-menahu mengenai perkara itu, manik mata kecokelatannya hanya sanggup mengintip ragu di balik kemeja lusuh saudaranya.
**TO BE CONTINUED**