[CHAPTERED / PG+15] Black Soot Chapter 6 & Epilogue

Aug 22, 2010 06:21

Title: Black Soot
Author: azura_caelestis 
Rating : PG+15 / straight
Casts: Fly To The Sky (Brian Joo / Joo Min Kyu & Hwang Hwan Hee) and OC (Lee Seun Mi)
Genre: Angst, Fluff, AU
Length : 6 Shots
Part: 6 of 6
Disclaimer: I do not own Hwan Hee and Brian characters. They belong to themselves, and Lee Seun Mi--is my own character. So please don't sue me.
A/N:
- Sorry for the hard diction.
- This fan fic hasn't betaed yet, so I'm sorry if there're some miss typed and spelled.
- The point of view will be changed in each chapter.

Warning:
For the friend who does not have Live Journal ID, please comment as ANONYMOUS and write your name in the comment box.
READ the PREVIOUS >>> HERE



(click to see the real size of poster)


CHAPTER SIX

Isak tangis kecemasan tercampur menjadi satu. Aroma kesenyapan bernaung, menyelimuti ruangan. Deru napas terdengar hinggar-binggar. Semuanya hanyalah wujud kegusaran. Seorang pria di sampingku masih terlelap. Busananya terlihat compang-camping dengan kelusuhan yang tergurat.

Aku segera terkesiap. Kesadaranku belum sepenuhnya menghinggapi tubuh. Namun, akhirnya aku menyadari. Aku berada di suatu tempat. Jeruji besi yang begitu dingin, memagari penglihatanku. Dengan terdiam aku memutar otak, mencari tahu tentang peristiwa yang telah menimpaku semalam.

Ubun-ubunku terasa terhunjam. Kucoba untuk menegakkan tubuh. Sepertinya lebam telah menodainya. Rasa sakit yang amat sangat menggerogoti permukaannya dan aku hanya dapat merintih dalam hati. Perasaanku benar-benar tak enak, yang kuingat hanyalah sebuah lorong gelap. Aku mabuk semalam. Tubuhku mungkin saja bertindak binal, tetapi aku benar-benar tak ingat semua kejadian itu.

Derap langkah berjalan semakin mendekat. Ekor mataku menangkap sesosok bayangan, namun sayangnya ia tampak kurang bersahabat. Seragam hitam membalut tubuh kekarnya. Tanpa berbasa-basi ia menarik tanganku, lalu memasungnya dengan sebuah borgol besi. Aku terkejut, namun tak ada waktu untuk semua itu, ia telah menyeret tubuhku pergi; meninggalkan kamar senyap di belakangku.

“Nama?” Ia bertanya sinis. Aku memperhatikan kedua matanya yang begitu tegas. Jemarinya dengan lincah meloncat di atas keyboard komputer. Ia berdeham, menagih jawaban atas pertanyaannya tadi.

“Min Kyu-Joo Min Kyu.” Aku seolah kehilangan semangat hidup. Ini pertama kalinya aku berhadapan dengan seorang polisi investigasi. Dan mulutku seakan terkunci.

“Coba ceritakan peristiwa semalam,” suruhnya.

Alisku terangkat, tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun dari bibir. Semua rentetan persitiwa itu bagai film-film yang tak tercatut dalam otakku.

“Aku tak tahu,” tuturku, lesu.

“Bagaimana bisa?! Semalam apa yang kau lakukan?! Sudah jelas kau tercatat sebagai seorang tersangka pembunuhan!”

Paru-paruku terasa sesak. Lorong itu seolah berjalan mendekat, menarik tubuhku untuk ikut tertelan dalam kegelapan.

“Pembunuhan?” Mataku hanya dapat termenung, mendapati kenyataan pahit yang bergelimpung.

“YA! Bahkan kau tidak mengetahui itu?” Aku menggeleng yakin. Sang polisi terperangah, mendengar jawaban konyolku itu.

“Aku benar-benar tidak tahu, yang kuingat hanyalah sebuah lorong gelap,” tuturku keras. Sepasang manik mata itu membelalak, menghunjam diriku akan sebuah keyakinan bahwa aku adalah orang yang bersalah.

“Sudahlah, aku frustasi mengintrogasimu. Sekarang aku akan membawamu kembali ke ruang tahanan.” Bibirku langsung membisu. Aku sama sekali tak memiliki alibi untuk membantah, namun bagaimana caranya aku dapat keluar dari skandal gila ini?

Sang polisi menuntun-lebih tepatnya menyeret-tanganku untuk ikut bersamanya. Ruang senyap itu sudah menunggu. Dan kali ini aku pun merasa gentar.

“BRIAN!” Seseorang di belakanganku berteriak histeris. Aku memutar tubuh, mendapatkan Seun Mi yang terengah di ambang pintu. Air matanya berderai. Kedua lenganku ingin sekali menyambut tubuh mungilnya dalam dekapan, namun sayangnya bayangan yang kuimpikan itu telah pupus.

Dengan gaya beraninya, Hwan Hee menahan Seun Mi untuk berlari. Sorot mataku yang menjerit akan pertolongan tak mampu meruntuhkan bentengnya. Aku merasa bodoh, telah berteriak kepada orang yang salah. Ia tak seharusnya datang ke tempat ini. Semuanya bagaikan aib dan aku merasa malu.

Kakiku seolah mengerenyit pelan, meninggalkan jejak di pualam itu. Hatiku bagai tertanam, enggan meninggalkan pemandangan indah untuk terakhirkalinya. Namun, akal sehatku telah kembali. Seun Mi memang sudah ditakdirkan untuk menemani adik angkatku. Dan aku seakan penghalang bagi kedua insan itu.

****
Bulir-bulir keringat tak hentinya membanjiri pelipisku. Mimpi buruk itu datang. Semuanya laksana peperangan yang menggebu dalam simpulan ingatanku.

Kwon Jae Seok. Nama itu tertera jelas dalam otakku. Wajah beringasnya yang tak kenal ampun, berjalan mendekat. Aku hanya dapat menelan liur sambil berusaha kabur. Namun sayangnya, kedua tungkai kakiku terlalu lemah untuk melakukan itu. Perasaan melayang seolah meliputinya hingga aku merasa berjalan di angkasa. Bodoh, tuturku; mengumpat.

Aku berusaha lari dengan membawa sebotol beer di genggamanku. Namun, derap kaki itu seolah menggerenyit di belakangku. Aku menghela napas, mencari suatu perlindungan untuk bersembunyi dari kejaran mafia jahanam itu.

Tong, seruku di dalam hati. Dengan gerakan sedikit bersiap, aku berlari ke arah sebuah benda di ujung jalan. Namun, sebuah tepukan kasar malah mengacaukan semua rencanaku.

“Jae Seok?” Kata-kataku tercekat. Ia sudah terlebih dahulu menarik kerah bajuku. Mengangkatnya tinggi; sampai tak kurasakan lagi kedua tumitku menyentuh permukaan jalan. Ia tersenyum licik sambil menepuk-nepuk pipi kananku.

“YA! Min Kyu, kau sedang mencari masalah lagi denganku?” Aku terdiam.

“Untuk apa kau mendekati Gae In, huh?” Matanya membelalak, hingga bola matanya seolah mencuat.

“Gae In? Kau pikir dia peliharaanmu? Sampai-sampai kau mencegatku hanya karena masalah sepele itu?” Ia mendengus kesal; merasa terhina atas kata-kataku.

“Oh, jadi kau merasa sebagai seorang majikan?” Tinjuannya dengan sukses mendarat di wajahku. Aku terdiam, berusaha menahan sakit.

“Jika aku menjawab ‘iya’, lalu kau hendak berbuat apa?” tantangku.

Lagi-lagi senyum picik itu terseringai di bibirnya. Ia tampak penuh amarah. Dengan kasar, ia melepaskan genggaman di kerah bajuku. Aku terbatuk, merasa terbebas dari rasa mencekik itu.

Jae Seok mengeluarkan sebuah cincin dari saku celananya. Ia tertawa bangga, “jangan harap kau mengganggap dirimu sebagai majikannya.” Ia menendang bahu kananku, keras.

Entah apa yang membuatku menjadi begitu cengeng. Onggokan air mata seolah mengumpul di kelopak mataku, urung kucurahkan begitu saja. Mengapa Gae In tega berbohong kepadaku? pertanyaan itu bergumul di hatiku. Jelas-jelas kemarin Gae In mengungkapkan bahwa calon tunangannya itu adalah seorang dokter di markas bekas tempatku bekerja. Lalu, apakah semua kejadian di hadapanku ini nyata?

Dengan cepat aku bangkit, meninju perut Jae Seok sekuat tenaga. Ia terjengkang; terhempas ke atas  permukaan aspal. Napasku tersenggal, kuinjakkan kakiku menuju perutnya. Bertubi-tubi hingga kelelahan. Matanya sayup-sayup masih terbuka.

“Kau marah padaku? Dan kukira aku akan diam seperti ini saja? Jangan harap kalau begitu.”
Tanpa kusangka Jae Suk bangkit dengan begitu cepatnya. Ia mendorongku tubuhku hingga punggungku menghantam tembok gang.

Wajahnya amat dekat. Dan kepalan tangannya sudah teracung di atas. Namun, dengan sok jagonya aku masih berusaha mencibir.

Tangan Jae Seok berhasil membuat punggung kepalaku berdarah. Ia menghantam-hantamkan kepalaku ke arah tembok, hingga aku terhuyung setengah sadar. Namun, entah apa yang terjadi sesudahnya, semua penderitaan itu seakan terhenti seketika.

Kudengar raungan suara Jae Seok yang melolong pertolongan. Sekelibat bayangan tersampir di hadapanku. Siluet hitamnya terlukis di samping tempatku terjatuh. Namun, aku tak dapat melihat jelas sosok kejam itu.

****
“Brian, katakan kepadaku. Kau tak bersalah, ‘kan?” Kutatap mata yang berbinar itu. Manik kecokelatannya seolah menghasut diriku untuk pulang.

“Jangan terlalu percaya pada semuanya, Seun Mi. Aku tahu, aku yang membunuh Jae Seok malam itu.” Rentetan kalimat itu begitu mudah terucap dari bibirku. Aku tak ingin pulang. Aku ingin menjauhkan diri darinya, sejauh mungkin.

“Tapi aku membutuhkanmu. Jadi kumohon, jangan mengutuk dirimu dengan kata-kata itu. Aku pasti akan mengeluarkanmu dari tempat ini.”

“Mengutuk diri? Jangan pernah mencibirku dengan kata-kata itu. Aku sudah terbukti bersalah. Dan sebaiknya kau tak perlu membujuk diriku untuk pulang bersamamu.”

Derai air mata meluncur perlahan, menerobos kelopak matanya yang sayu. Tanganku ingin sekali bergerak, menghapus jejak-jejak yang tergurat di pipi manisnya itu. Namun, anganku terlalu jauh. Sebuah penghalang kaca di antara kami membuat sekujur tubuhku membeku. Aku tak dapat melakukan apa-apa demi dirinya, dan semua itu akibat kebodohanku.

****
Aku percaya, semua yang kualami adalah rencana-Nya. Ia telah menempatkan hukuman yang setimpal atas perbuatanku. Dulu aku hanya tertawa geli jika seseorang menasehati kebiasaan mabukku itu. Namun sekarang, kurasa semua nasehat angin itu bagai tersihir nyata.

“Joo Min Kyu terbukti bersalah.” Suara nyaring itu membahana di seluruh penjuru ruang pengadilan. Hakim begitu tegas menatapku.

Aku hanya terdiam. Bulir-bulir peluh membanjiri punggungku. Sejujurnya, aku merasa takut. Menjejakkan kaki beberapa hari saja di penjara seakan mimpi buruk bagiku. Dan sekarang aku harus menjalani segalanya di bilik senyap itu.

Kualihkan pandang ke arah kursi-kursi kayu di belakangku. Mata Seun Mi terlihat sembap. Berkas air matanya terlihat mengering; menodai kedua pipi itu. Hatiku seolah merintih, ingin memberontak dari pasungan borgol yang tertanam di pergelangan tanganku.

“Brian..” Mulutnya terbuka, memanggilku. Ia sudah tak sanggup menitikkan air mata untuk terakhirkalinya. Namun, raut wajah itu seolah menggambarkan seluruh perasaannya.

Aku hanya dapat melihat dari kejauhan. Hwan Hee mendekapnya, menahan ledakan emosi yang terguncang dalam tubuh itu. Hatinya seolah telah koyak karena semua perlakuanku. Dan aku merasa amat sangat menyesal. Andai saja ia tak pernah menyimpan namaku dalam kotak memorinya, mungkin semua ini tak akan terjadi.

Hwan Hee adalah takdirnya. Sekalipun kata-kata sayang dan rayuan tersirat di bibirku, tetapi tanpa kunci sang takdir, kurasa kotak kebahagian tak akan pernah kuraih.

Tautan jemari lentik itu berjalan kian menjauh. Kobaran api seolah menjilati setiap kenangan kami. Tiap kepingnya tertiup, menjadi jelaga hitam di atas semua kepahitan yang menyelimuti hari-hari.

****

EPILOGUE

Lembaran hari begitu cepat berlalu, dan kenangan usang itu hanya berbayang di hatiku. Tiap goresannya seolah mengabur; tak lagi menyiksa pikiranku. Senyum tipis Hwan Hee seakan mengulik kebahagiaan baru dalam hidup itu.

Simpulan tahun berlari kian menggebu, menyusuri kepingan dasawarsa yang melaju. Sepuluh tahun berjalan begitu cepat. Dan aku sudah memilki Brian lain dalam kehidupanku. Mata sipitnya yang  kecokelatan mulai menerka setiap benda-benda dunia.

Walaupun kesengsaraan itu telah berlalu, namun rasanya Brian yang lama tak boleh terlupakan begitu saja. Begitu banyak kenangan yang kami lalui bersama, dan tak etis rasanya jika membiarkan semua itu tertiup bagai angin di angkasa.

Terkadang aku masih menyimpan harap atasnya. Kuakui, aku memang seorang yang bebal. Brian sudah tak ingin menemuiku, tetapi aku tak pernah menyerah. Setiap tahun aku selalu berusaha untuk menengoknya.

Ia terlihat kurus. Dan mata cekungnya seolah menatapku dengan penuh kebencian. Entah apa yang ada dalam hatinya itu. Apakah ia memang memiliki dendam atas perbuatanku?

Aku memang telah berlaku tak adil padanya, tetapi aku ingin ia memaafkanku.

****
“Seun Mi-ssi?” Seorang ahjussi  tiba-tiba mendatangiku. Sikapnya terlihat sangat sopan, namun sayangnya aku tak mengenali pria itu.

Dengan sedikit membungkuk, aku mengulurkan tangan untuk saling berjabat. “Kau pasti tidak mengenalku, ‘kan?” Aku menggeleng. Sebenarnya siapakah pria ini? tanyaku dalam hati.

“Kau benar-benar cantik, tak kalah dengan fotomu yang kulihat.” Aku semakin terkejut saat mendengarnya bercerita tentang fotoku.

“Jaesonghamnida, sebenarnya Anda siapa?” Aku benar-benar tak dapat meredam rasa penasaraanku. Ia terlihat begitu asing, namun setiap tutur katanya mengingatkanku pada seseorang.

Dengan seringai tipis, mulutnya terbuka,”Sang Chul-Kim Sang Chul imnida , Brian telah menceritakan  banyak tentangmu.”

“Brian?” Aku mengulang nama itu dengan mata terbelalak.

“Iya, dia keluar penjara hari ini. Dua hari yang lalu-sebelum aku bebas dari penjara kemarin-ia menunjukkan fotomu padaku, ia bercerita banyak sampai hatiku ikut terenyuh. Dan kebetulan aku dapat bertemu denganmu di tempat ini.”

Perasaanku tercampur aduk. Brian tak pernah berbicara tentang hari pembebasannya, lalu apa yang harus kulakukan? Apa aku harus menyimpan dendam padanya?

“Saat itu ia berujar bahwa ia sangat ingin menemuimu, namun aku tak tahu-menahu tentang hari ini. Apa kau sudah bertemu dengannya?”

“Entahlah. Mungkin saja kata-katanya itu hanyalah dusta. Ia sangat membenciku. Dan aku tahu itu.”

“Ia menipu perasaannya. Aku kenal betul dengan sorot mata itu. Ia terlihat sangat menderita saat aku bertanya hal-hal tentang dirimu.”

Aku tak sanggup berkata-kata. Sudut bibirku hanya dapat terangkat, menyulam senyuman tipis. Langit di luar berubah kelabu, dan aku mulai berpikir akan perjalanan pulang.

“Gamsahamnida atas semua informasimu, tapi kurasa sebaiknya aku melupakan nama itu.” Aku segera bangkit dari kursi café, membungkuk-berpamitan, lalu mengayunkan kaki menuju pintu kaca.

****
Hari ini terasa amat buruk bagiku. Pakaianku basah kuyup terkena hunjaman air hujan dan sekarang pikiranku malah melayang entah ke mana. Aku tak ingin mengingat nama itu, namun sarafku seakan lepas kendali dari tubuh.

“YA!  Jangan begitu, gendonglah yang benar!” Suara Hwan Hee berkumandang dari balik tembok gang. Kakiku melangkah semakin cepat, tak sabar untuk mengetahui siapa yang datang.

Seorang pria tengah menggendong Brian dengan gaya amatiran. Aku ingin memekik, memerintahkannya untuk menurunkan anakku dari gendongan. Namun, saat tubuh itu berbalik, mulutku malah terbungkam.

Tatapan kami bertemu, dan derap kakiku terasa terpaku. Hwan Hee segera menghampiriku. “Brian pulang hari ini. Kau pasti senang,” bisiknya, terseling senyuman.

Aku berjalan layaknya orang idiot dengan sedikit limbung, kehilangan arah. Tanganku tetap mencengkram lengan Hwan Hee sambil berjalan mendekatinya.

“Seun Mi?” tanya Brian dengan wajah polosnya. Aku tetap mematung. Kelopak mataku berusaha menahan onggokan air yang hendak membanjiri pipi.

“Kau mengobrol saja dengan Brian, aku akan membawa Brian yang satu lagi masuk ke dalam. Er, kurasa kita harus memanggilnya Brian Jr. sekarang.” Hwan Hee tergelak di belakangku. Namun sayangnya,  aku tak dapat menanggapi lelucon konyol itu.

“Aku senang kau baik-baik saja,” ucapku tertatih.

“Aku selalu baik-baik saja. Dan kurasa, aku sedikit merindukanmu.” Ia menyunggingkan senyuman kecil di sudut bibir. Aku hendak tergelak melihat salah tingkahnya, namun butiran air mata malah mengambil alih dan melesat keluar, membasahi pipiku seketika.

Aku merasa malu. Kuusap kedua pipiku cepat. Namun, Brian malah menahan tanganku. “Seun Mi~a, saranghae,” bisiknya lembut. Aku terpaku, menatap kedua manik kecokelatan itu.

Brian tak berubah. Dan kenangan kami tak seharusnya terjilat api amarah. Setiap peristiwa yang terjadi merupakan takdir hidupku. Walaupun aku tak  dapat menjadi miliknya, namun sebuah kamar kosong di hatiku akan selalu tersedia untuk menampung setiap kepedihannya.

**FIN**

fly to the sky, chaptered, hwanhee hwang, fan fiction, black soot, brian joo, indonesian

Previous post Next post
Up