[CHAPTERED / PG+15] Black Soot Chapter 4

Aug 05, 2010 17:15

Title: Black Soot
Author: azura_caelestis 
Rating : PG+15 / straight
Casts: Fly To The Sky (Brian Joo / Joo Min Kyu & Hwang Hwan Hee) and OC (Lee Seun Mi)
Genre: Angst, Fluff, AU
Length : 6 Shots
Part: 4 of 6
Disclaimer: I do not own Hwan Hee and Brian characters. They belong to themselves, and Lee Seun Mi--is my own character. So please don't sue me.
A/N:
- Sorry for the hard diction.
- This fan fic hasn't betaed yet, so I'm sorry if there're some miss typed and spelled.
- The point of view will be changed in each chapter.

Warning:
If there is no one comment here, I won't post the fifth chapter hohoho....XD
For the friend who does not have Live Journal ID, please comment as ANONYMOUS and write your name in the comment box.
READ the PREVIOUS >>> HERE



(click to see the real size of poster)


CHAPTER FOUR

Golakan air mendidih seolah membelah kesunyian pagi. Perlahan kugeser langkah kaki, menuju punggung berlapis kemeja putih. Lenganku ikut membentang, menyambut tubuh mungil ke dalam dekapan.  “Apa yang sedang kau masak?” tanyaku, terperanjat.

Seun Mi terlonjak. Ia memutar tubuh, lalu mencubit pipiku. Aku meringis. “YA! Kau ini! Pagi-pagi sudah memulai permainan.” Kedua lesung pipitnya terangkat, merekah.

“Kau duluan yang memulai,” bantahnya.  Aku memaksa tubuhnya untuk kembali berbalik-menyelesaikan hal yang sedang ia perbuat. Hatiku berdegup cepat. Saraf-sarafku seakan berhenti bekerja. Entah mengapa aku merasa bahwa waktu memang sengaja bertengger sejenak untuk para penikmat. Tuhan mungkin telah menentukan pilihan-Nya. Rumah, kehidupan, dan Seun Mi-dengan begitu baik Ia berikan kepadaku.

“Kau mau mencicipi?” Seun Mi memotong secuil remah roti dari mangkuk. Dahiku mengernyit, bersiap untuk merasakan sensasi yang akan mendarat di lidah.

Asin, manis, dan perasaan tak terkatakan lainnya bercampur menjadi satu; tercipta di mulutku. “Bagaimana? Enak, ‘kan?” Guratan ekspresi penasaran tersulut di wajah antusias itu. Aku mengangguk malu. Iya, kurasa ia memang perlu latihan dan kursus memasak, tetapi masakannya itu tidak terlalu buruk untuk seorang amatir.

“Kau bohong!” Ia mendorong kedua bahuku pelan. Tubuhku terhuyung ke belakang. Sudut matanya berkilat, menatapku dengan pandangan mengancam. Aku menggeleng kuat-kuat, berusaha untuk meyakinkan kebenaran atas jawabanku sebelumnya.

Tanpa menanyakan pendapatku, Seun Mi bergerak cepat; menuju meja dapur, kemudian mencicipi roti buatannya itu, sendiri. Senyumnya mengembang.

Syukurlah, kupikir ia akan marah kepadaku hanya karena sepotong roti, hatiku sudah meniti perasaan aneh sejak kedua mata itu memicing tajam, tetapi tanpa kusangka, ia malah menarik tanganku untuk mendekat, dan menjejali mulutku dengan roti-roti amatir buatannya itu. Aku terbatuk, namun ia malah terpingkal bangga.

Tangannya tergopoh-gopoh mengambil gelas dan memberikannya kepadaku. Aku menangkap cepat, meneguk air di dalamnya sekejap. Ia membantu, menepuk punggungku dari belakang. Rasa sakit yang mencekat tenggorokan mulai berangsur reda.

Kutarik tubuhnya sedikit mendekat. Manik mataku bergerak, menjejaki setiap pakaian yang membalut tubuhnya. Sangat berantakan. Kamisol hitamnya masih berlapis kemeja putih yang kemarin kulihat.

“YA! Kau pulang jam berapa semalam?” tanyaku, menginterogasi. Ia tak memandangku; mengalihkan pandang ke arah jarum jam.

“Er, sudah jam delapan. Mari kita sarapan!” Tangannya memberontak, hendak melepaskan cengkramanku di kemeja. “Eits, aku tak akan melepaskanmu sebelum kau menjawab.” Dengan bangga kuperlihatkan seringai halus. Ia mendengus, kesal.

“Jam dua belas,” jawabnya santai. Alisku terangkat. “Kau gila! Jangan sampai kau menjadi gila kerja, Seun Mi!” Ia tergelak, membiarkan diriku tersambar sakit jantung di pagi buta.

“Tidak. Aku tidak akan menjadi seperti itu, Brian. Tenang saja.” Ia mencubit pipiku. Beranjak mengambil dua cangkir kopi, menuju meja makan. Aku mengekornya dari belakang, melayangkan beberapa ceramah pagi agar ia berehenti untuk berlembur kerja.

“Kau mau makan apa?” Lagi-lagi ia mengalihkan topik pembicaraan. Aku mengerucutkan bibir, menatapnya dengan pandangan tak banyak bicara.

Padahal seminggu yang lalu aku mengenalnya sebagai orang yang pendiam, tetapi hari ini ia menjadi orang yang berbeda. Selalu pulang malam, membantah omongan orang, dan tak pernah menanggapi pembicaraan.

****

Derap kaki yang menjauh itu, kian membuatku tertinggal; untuk menggapai. Lorong-lorong kecil di antara pertokoan menyesakkan tubuh. Setiap pagi, hatiku selalu khawatir menatap punggung gontai itu melangkah pergi, menjauhi pintu rumah.

Kuseret kakiku perlahan, mengikuti derap langkah tergesa itu. Seun Mi dengan penampilan di pagi harinya-yang sedikit berantakan-selalu manis di mataku. Rambut panjangnya yang bergelombang digerai begitu menawan. Aku menatapnya dari kejauhan, menikmati sunggingan yang ia arahkan untuk orang di sekitar.

“YA!” Sekilas kudengar suara itu memanggil, jantungku terlonjak. Aku mengenalinya, tetapi mana mungkin ia mengetahui keberadaanku di tempat ini.

Kusapu pandangan ke sekitar, hanya tong sampah dan gang kumuh yang berada di sisi samping dan belakang. Lalu, dari manakah suara itu berasal?

Dengan bodohnya, aku tak menyadari bahwa kedua mata kecokelatan itu sudah  menatap lekat dahiku dengan penuh kebencian. “S-Seun Mi?” ucapku tergagap.

Ia menyeringai kesal. “Apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku hanya-”

“Sudahlah. Katakan saja jika kau ingin memata-mataiku.” Kini bibirku terkunci rapat. Ia memang lebih cerdik daripada yang kuperkirakan. “Aku sudah tahu hal ini dari beberapa hari yang lalu,” jelasnya sambil menggamit lenganku.

Mulutku terperangah lebar; melihat tingkah lakunya yang mengalami perubahan. Sepertinya baru beberapa detik yang lalu ia menyiratkan pandangan penuh amarah, tetapi mengapa sekarang ia malah bercerita panjang-lebar mengenai partner kerjanya itu.

“Er, Seun Mi~a,” potongku cepat. Matanya mendelik tajam. “Sepertinya ada yang aneh pada dirimu. Apa ada yang kau sembunyikan dariku?”

Bibirnya mengetat, membentuk selembaran bulan sabit. “Tidak. Aku baik-baik saja. Terlalu baik tepatnya. Aku bahagia dapat berjalan, berdampingan denganmu seperti ini.” Tangan mungilnya bergerak, menautkan jemarinya pada sela-sela jariku. Hati berdesir hebat, menyambut kelembutannya yang terpaut itu.

“Semalam aku mendapatkan informasi,” ujarnya dengan penuh keceriaan; mengayunkan kakinya dengan sedikit lompatan ringan. Aku menyeringai, melirik matanya sambil bertanya-tanya heran.

“Informasi apa?” tanyaku, menarik lengannya sedikit ke atas agar ia dapat menjejaki trotoar.  “Tentang Hwan Hee.” Jantungku berdegup cepat-tak mengira bahwa paras yang hampir pupus itu masih terlukis jelas di hatinya.

“Dari salah satu informasi yang kudengar, sepertinya masih ada tentara yang selamat dari serangan mendadak itu.” Langkah kakiku terhenti, menatap lurus ke depan tanpa bayangan. Entah mengapa hatiku terasa sakit, mendapati kenyataan bahwa saudara angkatku selamat dari bencana perang.

****

Dentingan suara piano perlahan membahana di penjuru ruangan. Otakku terasa tenang, mengikuti alunan suara. Sejenak, beban pikiranku terangkat, pergi meninggalkan ruang kekelaman. Pilinan penyiksaan seolah teruntai tanpa pengampunan. Diriku hendak   bertanya,  mengapa pencobaan Tuhan tak pernah berjalan menuju akhir? Apakah semua cerita kehidupan memang akan bertuliskan penyengsaraan? Begitu menyedihkan. Angan manusia hanya tersampaikan melalui kenangan, dan intrik itu terlalu menyakitkan.

Lukisan kebangaannya masih terpajang. Berdebu legam di atas tungku perapian. Sepasang wajah cerianya terpampang dengan indah di atas sana. Sang laki-laki terbalut gagah oleh kemeja putih, sedangkan sang wanita beriaskan gaun merah delima. Hatiku terasa linu, terkikis oleh dendam lama. Bagaimana jika berita yang disampaikannya itu benar?

Hwan Hee akan kembali ke sisi kami; meninjakkan kakinya lagi di rumah ini. Lalu, siapakah yang akan Seun Mi pilih? Aku terlalu hina untuk memohon kepadanya agar tetap berdiri di sampingku.

BRAK! Suasana sunyi rumah terguncang. Pintu didobrak keras, dan sepasang mata berbinar muncul dari balik papan berkayu kokoh. Napasnya terenggah, kakinya terhuyung hampa. Ia berusaha menyeret, mendekat ke arahku dengan sekuat tenaga.

“Seun Mi?” Aku balas membelalak. Dengan kondisi porak-poranda, Seun Mi menyerahkan koran yang digenggamnya.

Hari begitu kalut, dan sebuah berita terpampang gempita. Bayangan penuh kebahagiaan itu kembali bergelimpung, menyesakkan setiap sudut otakku.

Senyum kelegaan tersirat di wajahnya. Seun Mi mendekapku erat. “Hwan Hee selamat. Ia selamat, Brian!” Ia berteriak sambil menitikkan air mata bahagia.

Aku balas mendekapnya, hatiku terasa hancur. Berkemelut dengan perdebatan. Entah aku harus ikut bahagia bersamanya, ataukah bermuram durja.

****

“Bagaimana, kau menyukai filmnya, ‘kan?” Genggaman hari terakhir menyambut tanganku dengan desir hangat yang tersanjung sumringah. Aku tersenyum hampa. Setengah mengangguk, menyetujui perkataannya.

“YA! Mengapa diam saja?!” Seun Mi menyikut bahuku dengan sekuat tenaga. Aku terhuyung, terjengkang ke samping.

“Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya malas berbicara,” ujarku, setengah tak bersemangat. Ia menatapku heran. “Kau benar-benar aneh.” Seun Mi berjalan mendahuluiku, meninggalkan perlindungan dari payung yang kugenggam itu.

Mulai lagi ulahnya, ia mudah sekali marah. Namun, apabila ia dapat mendengar suara hatiku, apakah ia akan berbalik dan menggenggam tanganku untuk berlari bersamanya?

Kupercepat langkah kakiku, menjajarkan tubuh di sampingnya. “Kau marah?” tanyaku dengan gaya dungu. Ia menggeleng cepat, membuang muka, dan berlari jauh di hadapanku. Dasar! umpatku di dalam hati. Aku berlari membelah hujan, menangkap sosoknya dari belakang.

Kehangatan mengalir di sekujur tubuhku. Kami terdiam di bawah hujan yang menikam. Langit sudah mulai gelap, namun aku ingin semuanya terhenti; merasakan kehangatan satu-satunya,  untuk terakhir kalinya.

“Saranghae,” bisiknya di tengah derai hujan. Aku terhenyak, namun ia sudah terlebih dahulu menyambar tanganku; berjalan pulang.

Remang perlindungan lampu jalan seakan membelai. Kami berjalan berdampingan, dengan sepasang tangan yang saling menggenggam. Dari kejauhan hatiku bergemuruh, akut menyerang. Sosok kegelapan itu telah menunggu, dan Seun Mi tampak terkejut dengan pemandangan di depan. Aku segera melepaskan tangan, membiarkan ia berlari; menyambut sang sosok merindukan.

**TO BE CONTINUED**
 

fly to the sky, hwanhee hwang, fan fiction, black soot, brian joo, indonesian

Previous post Next post
Up