Title: Distance Between Us
Author:
azura_caelestis Beta-reader:
aichi_kanon Rating : PG+13 to NC21 / straight
Casts: Big Bang and OC
New Casts: Yang Seung Ho (MBLAQ), Go Ji Eun (non-gasoo)
Genre: Romance, Drama, Comedy
Length : ? Shots
Part: 8 of ?
Disclaimer: I don't own the character and this story is only a fiction.
A/N: This story is the sequel of my first fan fiction (You're the Key of My Secret). Maybe the plot is little bit flat, but I try to make the scenes in romantic way.
READ THE PREVIOUS CHAPTER on
www.distancebetweenusseries.co.cc Warning:
If there is no one comment here, I won't post the sixth chapter hohoho....XD
For the friend who does not have Live Journal ID, please comment as ANONYMOUS and write your name in the comment box.
(click the poster to see the real size)
Chapter 8: “When the Tears Run Dry”
Berkas cahaya mentari pagi seolah merayu mata untuk terbuka. Aku mencoba untuk meronta, namun cahaya itu semakin mengganggu. Akhirnya dengan terpaksa kubuka mataku, mengerjap heran, dan mencoba untuk memutar memori yang tertinggal semalam. Aku mendapati Seung Hyun yang tertidur pulas dengan lengannya yang masih mendekapku hangat.
Kejadian semalam membuatku terkikik geli. Harapan itu terwujud. Sangat jelas di depan mata. Aku utuh menjadi miliknya. Kuharap setiap pagi membuka mata, mendapati dirinya berbaring ringan di sampingku, mendekapku hangat, dan selalu merasakan kecupan manis dari bibirnya.
Tanganku seolah tergerlitik untuk menyetuh setiap lekuk wajahnya. Mata terpejam itu menghasut diriku untuk bertindak lebih jauh. Kugerakkan jari-jariku mendekati wajahnya. Ia tak bergeming, tenggelam di alam mimpi.
Dekat. Semakin dekat-sampai aku pun benar-benar menyentuhnya. Kuatur poni-poni rambut yang menutupi wajah damai. Ternyata rambutnya sudah bertumbuh lebih panjang dari yang kukira.
Penelusuranku tak hanya berhenti sampai di sana. Sepasang bibir itu membuatku semakin membuatku tergoda. Bibir yang sama, yang telah membuatku merasa bahagia semalam. Boleh kah aku menyentuhnya?
Telunjukku turun, menjejaki hidung. Dan sebentar lagi tujuanku pun sampai. Namun, tiba-tiba saja sebuah tangan sudah menghadang. Aku mengumpat kesal di dalam hati.
Mata Seung Hyun masih terpejam dan tak tampak sedikit celah di antara kelopak matanya, tetapi bagaimana ia dapat mengetahui niatku?
****
“Kim Min Young?” bisikku pelan.
Aku mendapatkan tangannya yang mengendap di sela tidurku.
“Er..”
“Morning, chagiya.”
Alisnya terangkat. Ia kaget mendengar sapaanku tadi.
“Waeyo? Ada yang salah?”
“Anio. Hanya saja risih mendengar kata itu.”
“Risih? Jangan bercanda. Bukankah sudah seharusnya begitu?”
“Geundae-”
Sudahlah, Min Young tolong jangan menahan kata-kata itu. Itu kata terakhir untukmu. Untuk semua kenangan yang terukir indah, yang pernah kita alami. Bisakah kau menerimanya? Untuk sekali saja?
Aku menghela napas, menatapnya dengan penuh permohonan.
Andai ia tahu apa yang akan terjadi, pastinya ia tidak akan menolaknya. Namun, kurasa itu tetap saja tak berguna, walaupun telah terucap, sebentar lagi-jika waktunya tiba-ia pasti akan membenci diriku untuk selamanya.
Min Young tetap saja memainkan jemarinya di wajahku.
“Hidung, mata, bibirmu, semua milikku.”
Aku tersenyum, membalas kenakalannya itu.
“Milikmu? Bukannya kau yang milikku?” balasku dengan seulas senyum.
Ia terdiam, lalu meninju bahuku.
“Ya! Waegurae?!” tukasku kesal.
“Kau egois.” Dengan cepat ia membalik badan.
Lagi-lagi sifat kekanak-kanakannya itu muncul; mudah tertawa dan mudah cemberut. Sekarang apa aku yang harus kulakukan? Apa aku harus merayunya kembali?
****
Biar saja! Biar ia tahu rasa!
Mengapa ia tidak pernah mau mengalah?
Padahal untuk hal kecil sekali pun. Walaupun tadi hanya candaan biasa, namun entah mengapa aku merasa ada yang tak beres pada dirinya.
Sejak sapaan itu mengalun, aku tahu, ia bukan Seung Hyun yang kukenal. Ia tidak pernah seromantis itu. Apa lagi memanggilku dengan sebutan ‘chagiya’.
“Min Young~a?”
“Ehm.”
Kurasakan kedua lengan hangat itu menyentuh punggungku.
Dengan cepat kutarik selimut putih, menutupi dadaku. Dan aku pun berusaha untuk tidak menanggapi rayuannya.
Sepasang bibir lembut itu menyentuh bahu polosku. Seung Hyun mulai membuat jejak di atas sana. Aku menggeliat geli, tetapi ia malah mendekapku semakin erat.
“Oppa, geuman.”
Seung Hyun tetap tak mau tahu. Ia membalikkan tubuhku.
Kini kami bertukar tatap. Matanya terlihat sendu. Namun, aku malah membiarkan bibirnya kembali menjamah bibirku-seolah melanjutkan permainan semalam.
Tok…Tok…Tok…
Seung Hyun berdecak kesal. Ia tak suka jika permainannya diganggu.
****
“Biar aku saja yang membuka pintu.”
Min Young segera beranjak dan menarik sebagian selimut dariku.
Ia berusaha untuk berbusana di bawahnya.
“Berbalik sana!”
“Untuk apa?”
Matanya menyipit, memintaku untuk menuruti perintahnya.
“Sana!” Ia mendorong bahuku dengan sebelah tangan.
“Aku sudah melihat semuanya, jadi untuk apa malu?”
“Tetap saja. Balik sana!”
Baiklah, terserah apa katanya. Aku berbalik. Ini saatnya. Semua kenangan yang terukir itu akan pupus terhapus derai air mata. Aku tak pernah menyangka bahwa waktu akan menjadi sesingkat ini.
“Jangkaman!”
Min Young berteriak bahagia, berlari menuju pintu.
Aku mulai mengenakan pakaian sambil melayangkan tatapan harapan ke arah punggungnya. Bisakah ketukan itu berasal dari yang lain?
Kreek..
Pintu mulai terbuka. Aku menelan ludah. Ternyata Tuhan memang sudah memiliki rencana.
Tampak ahjumma dan ahjussi yang telah mengenakan pakaian terbaik mereka, melayangkan senyum lega ke arah gadis manisku di depan pintu sana.
Aku terdiam, tak berani membayangkan perasaan Min Young yang bergemuruh di dalam hatinya. Aku tahu, aku memang seorang yang tak dapat dipercaya. Namun, maafkan diriku, Min Young~a. Kurasa ini jalan terbaik bagi kita.
Tatapan tercekat itu terlayang ke arahku. Perlahan ekor matanya tenggelam didebur air mata. Min Young tampak terkejut, dan segera menghampiriku. Langkahnya gontai dan membuat kedua orang tuanya tak percaya. Ia menghempaskan tubuh di dadaku, lalu menangis sejadi-jadinya. Lidahku terasa
kelu. Relung hatiku terlalu pilu untuk merasakan semuanya.
“Oppa, jangan katakan kau yang memberitahu mereka.” Suara parau Min Young tercampur aduk dengan isak tangis. Aku mengangguk-setengah terpaksa.
“Pulanglah,” ucapku pelan.
“Tapi, mengapa kau tega?!” Ia mulai membentakku, kemudian memukul dadaku dengan kedua kepalan tangannya. Aku berusaha menahan dan menatapnya tajam. Namun, ia tetap saja tak mau mengerti. Ia memberontak. Meraung keras. Dan berlutut di hadapanku.
Aku tak tega melihat itu. Lututnya bertelut, meminta pengampunan kepadaku. Tetapi, apa gunanya semua itu?! Kumohon berdirilah, Min Young! Aku mohon! Dirimu seolah menyiksaku, aku tak ingin melihatmu mengemis seperti itu. Itu membuatku merasa rendah dan tak layak telah membahagiakan dirimu selama ini.
“Ahjussi, bawa Min Young dari tempat ini.” Aku berucap datar. Tanpa rasa dan belas kasih.
Sampai kapan aku harus berlakon jahat seperti ini? Rasa bersalah seakan menggerogotiku, membuatku semakin tak dapat bertahan.
“JEBAL! JANGAN BAWA PERGI AKU DARI TEMPAT INI!”
Min Young mencengkram celana panjangku, namun ahjussi berusaha menariknya. Ia mengerang semakin keras dan menatapku, meminta suatu kata penerimaan. Namun, sayangnya bibirku terpaksa mengatup.
“Semuanya! Tadi malam! Apa yang telah kita lalui, semuanya itu hanya tipuanku! Kau merasa beruntung selama ini dapat bersamaku?! Jangan anggap aku menerimamu! Mana mungkin aku mencintaimu dengan tulus?! Semua itu hanya penyamaranku saja! Seorang artis tak akan sudi bersama dengan orang biasa sepertimu! Jadi cepat tinggalkan tempat ini!” Bibirnya menganga, menatapku tak percaya. Ya, diriku pun sama tak percaya. Bagaimana kalimat-kalimat itu dapat meluncur mulus dari mulutku? Aku adalah seorang yang paling bersalah di dunia ini. Menipu perasaanku dan bahkan melukai orang yang kucintai dengan sengaja.
Aku tak peduli dengan Min Young yang masih memeluk sebelah tungkai kakiku. Aku mulai menyeretnya dengan paksa, keluar pintu. Ia memekik keras, berusaha mencengkram apa saja yang ditemuinya. Namun dengan bantuan ahjumma dan ahjussi, akhirnya Min Young dapat terseret keluar.
Ia terus berteriak bak orang gila di sepanjang lantai apartemen.
Pekik histeris itu masih terbayang di benakku. Bahkan saat aku menutup pintu. Kakiku melangkah gontai ke arah tempat tidur, dan berusaha berbaring di atasnya.
Kusentuh sisi sampingku. Kosong. Gadis itu telah pergi-pergi untuk selamanya dari kisah kehidupanku.
****
One year later…
Hee Sung menghela nafas panjang sambil meletakkan tas koper bawaannya di samping meja. Matanya memincing tajam ke arah sekitar. Dilihatnya setiap jajanan yang berjajar di sekeliling. Ia mulai menerka-nerka akan menu makan siang hari ini.
Bagaimana dengan sushi? Itu terlihat nikmat di siang yang menaungi Jepang hari ini. Tetapi, bagaimana dengan Seung Ho? Sajangnim-nya congkak itu entah sedang berpergian ke mana. Ia sengaja menyuruh Hee Sung-sekertaris kesayangannya menunggu tanpa tujuan yang jelas.
Lama-kelamaan Hee Sung merasa lelah akan penantiannya. Ia memilih untuk berjalan beberapa langkah; menuju kedai kecil di ujung sana. Diarahkannya telunjuk, kemudian memesan setangkup sandwich untuk dirinya. Seketika senyuman tersungging di wajah. Sandwich mungkin bukan pilihan yang buruk. Setidaknya itu dapat mengenyangkan lambung yang sedari tadi tak jemu merutuk.
Menu makan seadaanya sudah tersedia di depan mata. Untuk terakhir kali, Hee Sung memutar bola mata, mencari sosok sajangnim yang ditunggunya. Namun, untuk kesekian kalinya pula punggung berjas hitam itu tak muncul. Hilang-seakan di telan bumi. Hee Sung menelan ludah dan bersiap menyantap. Tetapi, sialnya tiba-tiba sebuah suara mengejutkan bercerita seru di balik
layar kaca raksasa, di hadapannya.
“Seung Ri?” Mata Hee Sung membulat. Ia tak percaya dengan apa yang baru disaksikan.
Ya, memang benar namja chingu-nya diberitakan di dalam acara televisi. Namun, bukan untuk hal yang baik sepertinya.
Suara bising bandara benar-benar mengganggu pendengar Hee Sung. Dahinya mengernyit, berusaha untuk mendengarkan setiap kata-kata yang terdengar di berita. Tetapi, sayangnya kesempatan seakan tak berpihak kepadanya. Kini sosok berjas hitam itu muncul.
“Hee Sung! Kaja!” Tanpa peduli Seung Ho sudah menarik paksa tangan sekertarisnya.
Mata Hee Sung menyipit, mempertahankan diri untuk tetap berada di depan televisi. Namun, tenaganya tak kuasa menyaingi tenaga Seung Ho. Pria super sibuk itu memaksa sekretarisnya untuk tetap melangkah.
Akhirnya dengan setengah terpaksa, Hee Sung menarik koper di samping meja dan menyejajarkan langkah dengan sajangnim yang dibencinya itu.
****
BRAK!
Seung Ri terkesiap dengan bantingan keras majalah di hadapan matanya. Ia terdiam. Tak berani mencari tahu apa yang sedang terjadi. Namun, tanpa dihindari hujaman keras suara Hyun Seok sajangnim sudah berkumandang di telinganya. Perlahan, ia menggerakkan tangan menuju majalah itu.
Matanya seolah berusaha membuka lebih lebar, tak percaya dengan apa yang tertulis di atasnya.
MISTERI GADIS YANG DITIDURI OLEH SEUNG RI (BIG BANG)
“APA-APAAN INI?!” Emosinya membeludak. Perasaan dusta dan gentar seolah teramu menjadi satu dan tak dapat terkatakan.
“APA? HARUSNYA AKU YANG BERTANYA KEPADAMU TENTANG MASALAH INI!” pekik sajangnim.
Seung Ri kembali terdiam. Percuma saja rasanya membantah ucapan sajangnim-nya itu. Bagaimana pun juga foto yang tertera di majalah tersebut adalah sebuah fakta.
“Jadi, siapa gadis itu sebenarnya?”
Ia mencoba untuk bungkam. Mulutnya terkunci rapat untuk sebuah nama. Ia sudah berjanji sebelumnya bahwa ia akan menutupi masalah ini dari publik, namun tak disangka semuanya harus terkuak di saat yang tidak tepat.
“Er, dia-dia bukan siapa-siapa,” aku Seung Ri dengan kepada tertunduk.
“Jadi kau masih ingin menutupinya. Jangan sekali-kali kau katakan bahwa foto itu palsu. Sudah jelas itu fakta, dan sekarang sebaiknya kau mengaku!”
Perasaan aneh itu semakin bergejolak di hatinya. Entah apa yang harus ia katakan sekarang. Janjinya itu tak dapat semudah itu teringkar, namun apakah perjanjian itu masih berlaku di saat yang seperti ini?
“Namanya Ji Eun.”
****
Mianhada. Aku benar-benar seorang yang tolol. Sekarang semua itu bukan
rahasia. Dan bagaimana caranya aku mengatakan semua itu kepada Ji Eun. Aku
tak ingin ia terlibat dengan masalah konyol-dan membuang-buang waktu-ini.
“Sekarang di mana gadis itu?”
Pertanyaan Hyun Seok sajangnim semakin tak masuk akal. Bagaimana aku dapat bertemu dengan Ji Eun dalam situasi aneh seperti ini? Bahkan aku pun tak tahu ia berada di mana.
Aku menggeleng cepat. Namun, sepertinya Hyun Seok sajangnim tetap tak percaya kepadaku.
“Aku benar-benar tak tahu di mana dia,” ucapku pelan. Otakku sudah kehabisan akal untuk menjawab. Biarlah ia menyimpulkan semua kata-kataku. Jika ia ingin mencari Ji Eun, kuharap mereka menemukannya, dengan begitu Ji Eun akan aman dari sorotan kamera.
Ji Eun dan Hee Sung. Dua wanita yang sudah mengguncang hidupku. Yang satu, untuk semua kebahagiaan dan yang satu lagi untuk sebuah kegemparan. Kini aku sudah berusaha untuk melupakan Hee Sung dan semua harapan palsuku itu. Namun, tetap saja ada sebuah rasa malu yang tertanam di hatiku, aku tak ini ia mengetahui masalah konyolku ini.
****
Hee Sung bertambah tak percaya dengan acara televisi yang baru saja ditontonnya. Mata yang terperangah itu mulai menyipit dan membuka telinga untuk mendengar lebih jelas. Acara yang sedang ditontonnya memang menceritakan tentang Seung Ri. Namun, sayangnya acara itu bukan memberitakan kabar baik bagi dirinya. Sebuah skandal seolah memupuskan harapan yang telah dipupuknya sedari kepergian tawa ceria itu.
KREEK…
Suara decitan pintu telah bercicit di belakang Hee Sung. Namun, rupanya ia tetap belum menyadari kedatangan seseorang di sana. Dengan gaya congkak, Seung Ho berdiri di belakangnya. Ia tersenyum licik, ikut menatap layar kaca. Hatinya puas-terisi oleh sebuah kemenangan. Usahanya untuk membuat Hee Sung menjauhi pria bernama Seung Ri itu ternyata dikehendaki Tuhan.
“Sudah terbukti, bukan?” Hee Sung terkesiap dan segera membalik.
“Apa maksudmu?”
“Kau hanya tertipu oleh janji palsu darinya. Sudah jelas ia selingkuh di belakangmu.”
Dahi Hee Sung mengernyit seketika. Ia merasa dilecehkan oleh cibiran murahan itu. Hatinya yakin bahwa kata-kata Seung Ri-setahun yang lalu-adalah nyata. Dan sekarang yang dialaminya adalah sebuah ujian. Ia mencoba untuk bertahan dan tetap membungkam. Namun, Seung Ho tak berhenti hanya di situ, ia tergelak-bahkan terbahak, melihat ekspresi tak suka Hee Sung.
“APA YANG KAU TERTAWAKAN! AKU AKAN MEMBUKTIKAN KEPADAMU BAHWA INI SEMUA
HANYALAH SKANDAL BELAKA!”
Hee Sung segera menggapai handphone-nya di atas meja nakas, samping tempat tidur. Jari-jarinya dengan cekatan menekan krusor ke atas dan menekan tombol memanggil.
****
Langkah kecil Ji Eun terhenti saat melihat segerombolan orang berpakaian layaknya petugas stasiun televisi memenuhi halaman depan rumah. Otaknya mulai mengadili diri. Apakah ia melakukan hal yang buruk, sampai orang-orang stasiun televisi perlu mendatangi rumahnya?
Ia mencoba untuk menenangkan diri dan bersikap biasa. Satu langkah, dua langkah, ia mulai melanjutkan perjalanan. Namun, belum saja berjarak sepuluh meter dari kediamannya, sebuah cengkraman kuat sudah terlebih dahulu menarik dirinya untuk menjauh. Ia berusaha untuk memekik histeris, meminta pertolongan. Tetapi, sebuah tangan malah ikut membungkam mulutnya. Ji Eun
terpaksa menurut. Membiarkan dirinya diseret ke dalam mobil tak dikenal itu.
Mata Ji Eun tak henti menyapu pandang ke sekitar. Dirinya yakin, orang-orang di sekitarnya bukanlah orang yang berniat jahat. Namun, apa maksud semua penculikan ini?
Dilihatnya orang di samping, ia tersenyum ramah sembari melakukan pekerjaannya-mengotak-atik PDA di tangannya-yang tak jelas itu.
****
Gedung di hadapanku tampak menjulang tinggi-membelah cakrawala di pagi hari. Hatiku semakin berdegup kencang. Apa maksud semua ini? Mengapa mereka membawaku ke tempat asing ini?
Kedua daun pintu kaca mulai terbuka, dan kedua orang di sampingku menuntun langkah. Mereka membawaku ke sebuah ruangan. Menyuruhku untuk duduk di hadapan sebuah meja kaca besar-layaknya meja rapat.
Beberapa menit telah berlalu, aku tetap saja berada seorang diri di ruangan mewah ini. Mataku memutar ke sekeliling. Di dindingnya terpajang berbagai pengahargaan kepingan disc emas. Rasa ingin tahuku mulai muncul. Perlahan kucoba untuk bangkit dan mendekati pigura-pigura itu.
BIG BANG
Biji mataku seakan terlonjak keluar-saking kagetnya-melihat tulisan di salah satu pigura. Aku tak mungkin berurusan kembali dengan band itu. Aku masih ingat akan janji yang kuucap. Dan aku tak ingin menyulut api kembali ke dalam kesalahan lampauku.
“Ji Eun.” Tenggorokanku tercekat. Suara ini, aku masih mengingat suara khas ini dalam benakku. Namun, bagaimana mungkin nasib mempertemukan kami kembali.
Kuputar tubuh, menghadap ke arah datangannya suara itu. Dan benar apa yang kutemukan. Seung Ri tersenyum dengan gigi rapinya. Di sebelahnya, seseorang yang tak kukenal-berpakaian rapi dengan paras tegasnya-berdiri tegak memandangku.
****
“Ji Eun~a, kau jangan panik dulu,” cegahku. Aku takut ia akan berlari histeris saat ia tahu, aku yang membawanya ke tempat ini. Namun, sepertinya ia malah berekspresi di luar dugaanku. Kedua mata bulatnya menatap dengan padangan tak percaya.
“Seung Ri?” Ia berjalan mendekat. Tetapi, aku malah memilih untuk memincingkan mata ke arah Hyun Seok sajangnim. Kuharap ia mau membantuku untuk menjelaskan semua masalah ini kepada Ji Eun.
“Oh, jadi dia yang bernama Ji Eun itu.”Aku mengangguk.
Untunglah, akhirnya sanjangnim membuka suara.
“Ternyata wajahmu tak terlalu buruk. Mari ikut aku!” Tanpa berbasa-basi ia sudah membalikkan tubuh dengan meninggalkan ruangan. Aku terperangah, apa maksud kata-kata terakhirnya itu? Aku tak ingin melibatkan kembali Ji Eun dalam masalah ini. Kuharap sajangnim merelakan dirinya untuk pergi.
Aku bertukar padangan dengan Ji Eun-yang masih tercengang. Menggamit tangannya, lalu mengayunkan langkah-mengikuti sajangnim ke dalam ruangan sebelah.
Semuanya begitu tertutup. Hanya ada diriku, Ji Eun, dan sajangnim di hadapan kami. Jantungku mulai berdegup. Kurasa, ini lebih memdebarkan dibandingkan masalah-masalah sebelumnya yang pernah kuhadapi. “Jadi bagaimana tanggapanmu mengenai berita di koran pagi itu?” Ji Eun mendelik, ia sama sekali tak menunjukkan ekspresi terkejutnya.
Keadaan menjadi semakin buruk saat Ji Eun bergeming, ia menolak untuk menjawab pertanyaan sajangnim. Bibirnya terkatup, namun matanya lebih memilih untuk menatapku. Sayangnya, aku benar-benar tak dapat membantu. Percuma saja tatap harapan diarahkan kepadaku, aku akan tetap membungkam. Biarlah sajangnim dan rencana briliannya yang bekerja.
BRAK!
Lagi-lagi emosi sajangnim memuncak. Ia membanting sebuah majalah ke arah Ji Eun yang duduk tertunduk. Seketika itu juga, Ji Eun terlonjak. Ia menyipitkan matanya, kemudian menelusuri majalah yang terbanting.
“Ye? Ini tidak mungkin.” Bibirnya bergetar hebat. Aku berusaha untuk menepuk bahunya-sebatas memberi semangat. Namun, ia sudah terlebih dahulu menepis. Ia menangkupkan kedua tangan, menutupi wajahnya dan tenggelam dalam derai air mata.
****
Tidak mungkin! Semua yang ada di majalah itu-foto itu, semuanya pasti palsu! Bagaimana bisa mereka menangkap gambar pada pagi itu?
“Jadi bagaimana tanggapanmu?” Bibirku tetap mengatup. Aku tak ingin menjawab pertanyaan tak mutu seperti itu. Apa-apaan pria ini! Sebenarnya siapa dia? Sepertinya Seung Ri sangat menghormati dirinya.
“Bagaimana jika kau berlakon sebagai pacar Seung Ri sampai masalah ini selesai?”
Tenggorokanku tercekat. Aku tatap Seung Ri dengan nanar. Ia sama terkejutnya dengan diriku.
“Tapi, sajangnim-”
“KAU! Jangan coba-coba membantah! Aku sedang menyelamatkan kariermu!”
Sepertinya perlawanan Seung Ri percuma saja. Aku menjadi tak enak hati kepadanya. Namun, bagaimana nasib kami selanjutnya? Aku tak pantas untuk berpendapat.
Seung Ri menggenggam tanganku. Refleks mataku mendelik ke arahnya. Aku tahu, ia memang pria yang baik. Tetapi, apakah jalan hidupku memang harus seperti ini?
“Jadi bagaimana Ji Eun-ssi?”
Pria itu menyodorkan sebuah dokumen ke arahku. Sekilas kuperhatikan, dan akhirnya aku tahu, itu adalah sebuah kontrak. Kuperhatikan lekuk wajah Seung Ri di sampingku. Parasnya terlihat lesu. Ia tampak menyerah akan masalah ini.
Desakan ini semakin membuat perasaan di hatiku bergelut. Antara harus memilih martabat diri dan membalas budi kepada pria yang dulu pernah menyelamatkan diriku ini. Aku sadar, mungkin saja jika dulu ia tak menyelamatkan diriku, permasalahan ini pasti tak akan terjadi.
Kutegakkan kepalaku dan mengangguk yakin ke arah depan. Pria itu tersenyum puas, lalu mendekatkan kontrak ke hadapanku. Sekilas kupandang Seung Ri. Wajahnya seolah mengisyaratkan diriku untuk menghentikan semua aksi gila ini, tetapi hatiku berkata lain. Aku harus menyelamatkan dirinya keluar dari masalah ini. Perlahan kuangkat pena, kemudian mengoreskan tanda tangan di
atas kertas kontrak.
“Geurae, sore ini juga kita akan mengadakan konfrensi pers.”
Saat ini aku merasa bahwa semuanya tak nyata. Kontrak itu, tatapan Seung Ri, senyum puas pria di hadapanku-semuanya hanyalah sebuah mimpi. Sekarang waktunya untuk bangun. Namun, beberapa kali kucoba untuk mengerjap, semuanya terasa sama-tak jauh berbeda.
Di dalam ketakutanku, aku seolah merasakan sebuah selubung yang menyelimuti diri. Membuatku merasa hangat dan terlingkup. Kubalas genggaman di tanganku, dan mencoba untuk tersenyum palsu, namun hatiku terasa lain saat menatap senyum balasan itu.
****
Terik matahari siang seolah tak menorehkan niat para wartawan untuk mengorek lebih jauh skandal yang dialami Seung Ri. Buket-buket bunga sudah diatur, para sambutan-sambutan pun sudah dilantunkan. Dan sekarang Hyun Seok sajangnim sudah berdiri atas panggung-berusaha untuk menenangkan kebisingan para wartawan dan jurnalis yang saling bertanya-tanya.
“Tenangkan dirimu.” Seung Ri berbisik dengan nada sepelan mungkin.
Ji Eun berusaha untuk mengangguk, namun jantungnya berdegup tak karuan. Walaupun Seung Ri sudah berada di sisinya, tetap saja ia merasa tidak yakin dengan semua itu.
“Ye. Gomapda.” Rona senyum palsu terukir paksa di bibir Ji Eun.
Entah apa yang dikatakan Hyun Seok sajangnim di depan, kedua telinganya seakan tertutup. Ia tak dapat mendengar apa-apa selain bisikan kegusaran yang menghantui dirinya.
****
Kucoba untuk memincingkan mata ke arah samping. Senyuman itu-aku tahu, semuanya palsu. Ji Eun masih saja bersikukuh menutupi kekhawatiran dirinya.
Perlahan aku menggenggam tangannya. Ia tersontak, menatapku dengan penuh tanya. Namun, yang dapat kulakukan hanyalah tersenyum ke arahnya. Aku tak ingin para wartawan mengenali semua kejanggalan kami.
Pertanyaan pertama mulai terlontar. Aku menggenggam tangannya semakin kuat. Sudahlah, aku tak ingin mendengar jawabannya. Biarlah sajangnim yang mengurus semuanya. Semua jawaban itu toh jawaban yang akan memihak diriku. Jadi biarlah nasib yang membawa jalan hidupku selanjutnya.
Pertanyaan demi pertanyaan berhasil dilewati. Setidaknya aku tak perlu membuka suara. Aku hanya perlu tersenyum, menanggapi semua tanggapan dengan sebuah anggukan. Kurasa semua itu sudah cukup meyakinkan.
“Geurae, sekarang kau bisa meninggalkan tempat ini. Bawa Ji Eun bersamamu.”
Syukurlah, akhirnya sajangnim memperkenankanku untuk pergi. Aku sudah tak tahan berada di tempat ini. Kugamit tangan Ji Eun untuk mengikuti langkahku. Aku segera membawanya menuju back stage.
****
Seung Ri. Apakah kau tidak melihat diriku? Kurasa aku sudah bukan siapa-siapa di matanya. Memori-memori indah itu seolah terkelupas dalam hituang detik di dalam benakku. Senyuman, ketulusan, semua tetang dirinya bagaikan abu yang tertiup angin. Kini sudah tak berarti dan begitu kosong menghampai hati.
Tetes air mata membasahi pipiku. Menatapnya berlinang derai air mata begitu menyakitkan. Ia berjalan dengan sunggingan terbaiknya sambil menggamit tangan seorang gadis yang tak kukenal. Ternyata semua berita itu memang benar. Aku mengaku kalah.
“Bagaimana? Kau sudah puas melihatnya?”
Sebuah senyum cibiran terulas di bibir Seung Ho. Aku tertunduk, tak berani membalas. Biarlah ia terbahak. Kini aku benar-benar terpuruk dan kehilangan tujuan.
Entah dari mana dorongan itu muncul. Kakiku seakan berlari tanpa perintah. Mereka menyeret tubuhku ke arah back stage. Dan punggung berjas putih itu pun terlihat. Aku tak berani berteriak. Namun, kakiku semakin berani untuk berjalan mendekat.
Punggung itu berbalik. Dan kedua matanya tampak membelalak. Ia terlihat kaget, melihat kehadiranku di tempat yang tak disangka ini. Namun, letupan amarah seolah begitu mengaum di dalam dadaku. Aku benar-benar tak dapat menahannya.
PLAK!
Sebuah tamparan keras sukses mendarat di pipinya. Ia termangu, tak menyangka bahwa aku akan melakukan tindakan ini terhadap dirinya. Namun, nyatanya semua penipuan ini telah berhasil merobek semua kenangan indah itu.
**TO BE CONTINUED**
GLOSSARY by Regina Tofanny
chagiya = babe
waeyo / waegeurae = mengapa?
anio = tidak
geundae = tetapi
oppa = panggilan kepada kakak laki-laki oleh perempua
geuman = hentikan
jangkaman = tunggu
ahjussi = paman
jebal = please..
sajangnim = bos
namja chingu = pacar laki-laki
kaja = ayo pergi
mianhada = maaf
geurae = tentu saja / baiklah
gomapda = terima kasih