Bag. 36
Aku tahu kalau konsep pemotretan Yura adalah “pria metropolitan”, tapi aku tidak menyangka kalau konsep “metropolitan” itu akan membuatnya terlihat sedewasa ini. Saat aku melihat majalah itu di toko buku, aku harus membekap mulutku sendiri agar tidak menjerit. Dengan tangan gemetar, aku mengambil majalah itu dari rak dan sebuah jeritan histeris langsung terdengar. Kupikir itu adalah jeritanku yang keluar tanpa bisa kutahan, ternyata bukan.
Aku mengenali jeritan itu, dan rasanya sudah lama sekali aku tidak mendengarnya.
Ya. Jeritan itu adalah milik C2H6, Ethana, sahabatku saat SMA.
Kami bertatapan selama beberapa detik sebelum akhirnya Ethana mengeluarkan jeritan kedua, “NIDIII~~~!!!” ia melompat memelukku. Aku memeluknya juga, sama senangnya.
“Aku kangen padamu, Ana, ya tuhan, kau tidak berubah!” seruku, melompat-lompat juga sama seperti dirinya.
“Kau juga! Ah, tidak, kau makin kurus. Astaga, dan kita melihat ke majalah yang sama. Ah, HEA! HEAAA!!!” mendadak saja aku sudah dicampakkan dan Ethana merebut majalah di tanganku, menjerit-jerit kecil. Aku menggelengkan kepala, yang satu ini pun tidak berubah.
“Kau masih tergila-gila padanya?” aku merangkul pundaknya, dan menahan ngilu di ulu hati saat foto pria tampan mengenakan setelan jas di sampul majalah yg masih terbungkus plastik itu menatapku dengan pandangan lekat.
“Kau bercanda? Tentu saja masih! Tidak ada yang bisa memadamkan cintaku padanya!” Ethana mendekapkan majalah itu ke dadanya, “Oh, Hea-ku…” ia menggigit bibir dan menarik nafas. “Kau akan beli majalah ini?” tanyanya, menoleh padaku. Aku menggeleng.
“Buat apa.” Aku mengangkat bahu, Ethana mendecakkan lidah.
“Ck! Kau juga masih tidak tertarik pada LiViNG,.” Gerutunya, memeluk majalah itu dan mendorongku menjauh dari tempat itu.
Ethana menyeretku ke restoran Jepang untuk makan siang bersamanya, membombardirku dengan serentet pertanyaan tentang kehidupanku sekarang.
“Biologi ya… kenapa tidak ambil medis saja sekalian?” tanyanya, aku mengangkat bahu.
“Tidak minat.” Jawabku. Ethana tertawa,
“Kedokteran seru, lho~ aku betah disana.” Aku tidak menyangka kalau Ethana berminat pada kedokteran, tidak pernah sekalipun dulu ia berkata ia ingin menjadi dokter.
“Kenapa tiba-tiba kau ada di jalur medis? Matematika saja kau tidak suka.” Ujarku. Ethana melotot,
“Nidi, aku CINTA matematika.” Aku tahu kenapa ia CINTA matematika.
“Dasar,” cibirku, “Ternyata karena itu.”
Ethana terbahak, “Tidak kok, aku memutuskan untuk keluar dari perfilman dan pindah ke kedokteran karena papaku.” Ia mulai memakan makan siangnya, maguro sushi.
“Papamu kenapa?” tanyaku.
“Sudah meninggal.” Aku terkesiap.
“Ya tuhan, Ana… aku tidak tahu…” gumamku, “Turut berduka cita…”
“Tidak ada yang tahu, kurasa kau orang pertama yang kuberi tahu. Arell saja tidak tahu.”
“Kenapa?”
“Memberi tahu orang membuatku sedih. Tapi itu sudah berlalu, papaku sudah tenang, aku tidak perlu sedih lagi.” Ethana tersenyum dan menepuk tanganku. “Jangan merasa bersalah, ok?” ia mengedipkan mata dan lanjut makan.
“Papamu meninggal karena sakit apa?” aku menyuap makan siangku.
“Tidak sakit, kok. Kecelakaan.” Jawabnya.
“Jadi dokter itu pesan terakhir papamu?”
“Bukan juga.”
“Aku tidak mengerti.” Aku menatapnya heran. Ethana tertawa.
“Aku bertengkar hebat dengan papaku karena menurutnya dunia perfilman tidak berguna, dia ingin aku menjadi dokter karena pekerjaan itu lebih bermartabat. Yah, papaku tidak sepenuhnya benar, tentu saja aku harus mendebatnya. Pokoknya kami bertengkar buruk sekali. Kemudian esok harinya saat papaku berangkat dinas ke luar negeri, pesawatnya jatuh.” Ethana terdiam sebentar, “Jadi… yah. Begitulah.”
“Pantas saja…” ujarku pelan.
“Tapi kedokteran tidak buruk. Seandainya aku mematuhi papaku, pasti…. Ah sudahlah, aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak memikirkannya.” Ethana menyumpal mulutnya dengan sushi. “Lalu? Kau disini tinggal dengan siapa?” tanyanya dengan mulut penuh.
Pertanyaan membuatku teringat pada kenyataan bahwa Ethana adalah penggemar LiViNG,, dan pada kenyataan bahwa Yura adalah vokalis band tersebut-dan pada kenyataan bahwa si vokalis itu adalah….
“Nidi?” Ethana melambaikan tangannya di depan mukaku. Aku tergagap,
“Ya?”
“Aku bertanya, kau disini tinggal dengan siapa?” ulangnya. Aku menelan ludah.
“Kakakku.” Jawabku.
“Kakak? Kau punya kakak?” Ethana mengerutkan kening. “Kau tidak pernah bilang kalau punya kakak.” Aku mengangkat bahu, tidak mau menanggapi reaksinya.
“Arell dimana, ya, sekarang?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.
“Kurasa dia disini, tapi aku tidak tahu dia kuliah atau bekerja.”
“Kau punya nomor teleponnya?” tanyaku.
“Punya, tapi tidak aktif lagi. Aku hanya punya e-mail-nya.”
“Itu juga tidak apa-apa.” Aku mencatat alamat e-mail Arell.
Kami mengobrol di restoran itu hingga sore, saat Ethana melihat jam tangannya dan berkata ia harus pergi karena ada kuliah pengganti. Kami keluar dari restoran bersama-sama dan aku mengantarnya hingga ia masuk taksi dan saling berjanji untuk terus memberi kabar.
Saat taksi yang ditumpangi Ethana sudah menghilang di tikungan, aku menarik nafas dan kembali ke toko buku untuk menanyakan majalah bersampul Yura tadi, karena majalah yang kini berada di tangan Ethana adalah majalah terakhir yang terpajang di rak. Si pegawai toko mencari data stok barang, dan daftar barang itu mengatakan bahwa mereka masih punya satu majalah lagi.
Kira-kira setengah jam kemudian, pegawai toko itu kembali dengan majalah yang kuminta, meminta maaf karena majalah itu tersembunyi di tumpukan buku-buku masakan. Kecurigaan mereka mungkin ada sesorang yang menyembunyikannya disana supaya tidak ditemukan orang lain.
“Biasa begitu.” Ujar si pegawai. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih, kemudian pulang.
Tidak sabar ingin melihat isinya.
~.~.~.~.~
“Jangan menilai buku dari sampulnya.”, pepatah ini betul-betul menamparku saat aku membuka isi majalah itu. Untuk sampul, boleh jadi Yura tampak normal dengan ketampanannya yang seperti pria-pria kantoran sopan dan sukses. Tapi itu hanya sampul, seharusnya aku tahu.
Foto-foto yang berada di dalam artikelnya yang berjudul “Hea “LiViNG,”, Membagi Waktu Antara Karir dan Pribadi.” itu bukanlah foto-foto yang baik untuk kesehatanku. Foto di bagian depan artikel, Yura sudah tidak mengenakan jasnya, hanya kemeja putih dengan lengan yang tergulung hingga siku, dasi longgar dan kerah terbuka, sedang menyeringai menatap kamera-mata mengedip sebelah-dan kedua tangan masuk ke saku celana, berpose dengan latar belakang tembok berwarna krem. Foto itu berdempet dengan foto berbeda namun masih menggunakan baju yang sama, dengan raut yang lebih dingin, tanpa senyum namun menggunakan tatapan tajam menggoda ke arah kamera, satu tangan menarik dasi, tangan lainnya sedang melepas satu kancing baju.
Aku berusaha untuk tidak menganga terlalu lama.
Kemudian di halaman berikutnya, foto-fotonya lebih kontroversial. Ia sedang berdiri di bawah shower yang menyala, berpakaian lengkap seperti foto sebelumnya, basah kuyup, menunduk dengan satu tangan memegang tengkuk dan tangan lainnya bertumpu di kaca pembatas ruangan shower. Foto itu juga berdempet dengan foto lain, masih dengan baju yang sama, tapi dasinya sudah terikat menutupi mata sebagai blindfold dan selang shower yang sudah melilit kedua pergelangan tangannya-duduk di tepian bathtub-dengan badan yang masih basah kuyup.
Aku berusaha-sangat, sangat keras-untuk menjaga kesadaran agar tidak pingsan.
Aku bertanya-tanya apakah Ethana selamat dari anemia mendadak saat ia mambuka majalah ini, karena bisa dibilang, ini adalah foto-foto terlaknat Hea di sepanjang karirnya.
Bahkan untuk menutup majalah itu saja aku sudah tidak bertenaga, bagaimana aku akan menghadapi Yura saat ia pulang nanti?
~.~.~.~.~
Majalah itu akhirnya bisa kusingkirkan setalah berbaring beberapa menit sambil memejamkan mata menenangkan jantung. Aku memutuskan untuk memasak makan malam lebih awal, berpikir bahwa itu akan mengalihkan pikiranku dari foto-foto berbahaya Yura di majalah mode itu.
Tapi tentu saja aku salah. Aku tidak bisa melenyapkan bayangan foto-foto itu, betapapun aku berusaha memikirkan hal-hal lain yang lebih menakutkan-tugas kuliahku, misalnya?-semuanya gagal. Foto-foto itu, tentu saja, membuatku terbayang hal-hal lain. Pikiranku bercabang kemana-mana, terutama pada bayangan-bayangan intim yang seharusnya tidak boleh kupikirkan jika aku tidak ingin pikiranku bertambah kacau. Pikiranku sangat ahli dalam menghianati kehendakku, tentu saja.
Aku tak berdaya mencegah ingatanku kembali merayap ke malam-malam sunyi yang kuisi dengan erangan-erangan fantastis karena Yura. Tutbuhku memanas seketika, membayangkan saat ia melumpuhkan akal sehatku hingga aku membiarkan diriku memohon-mohon. Pandanganku berkunang-kunang memikirkan kamar Yura yang berpenerangan keemasan, harum parfumnya yang menguar dari tubuhnya dan dari setiap sudut kamarnya….
Nyeri di ujung jariku membuat lamunan tidak senonoh itu buyar, dan ternyata aku sudah mengiris telunjuk kiriku dengan pisau-aku sedang memotong wortel saat lamunan kejam itu menguasaiku.
Menarik nafas jengah, aku meletakkan pisau dan membersihkan jariku dari darah yang mengalir. Darah yang keluar banyak sekali, membuatku ngeri. Lukanya ternyata cukup dalam dan setelah sadar sepenuhnya, aku baru merasakan sakitnya. Mendesis menahan perih, aku mengoleskan antiseptik ke lukaku dan membalutnya dengan band-aid untuk mencegah infeksi.
Setidaknya luka ini membuatku fokus pada masakanku.
Yura pulang tepat saat matahari menghilang di balik cakrawala. Aku melihatnya menghempaskan diri ke sofa dan menghembuskan nafas, kemudian menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa dan menutup mata. Ia terlihat lelah, aku menghampirinya.
“Kakak ingin makan malam sekarang?” tanyaku. Ia membuka matanya dan menatapku,
“Nanti saja.” Ujarnya. “Sini,” ia mengulurkan tangannya. Aku meraih tangannya dan ia menarikku dengan pelan untuk duduk di sampingnya. Kemudian ia melihat jariku. “Ini kenapa?” tentu saja ia akan bertanya.
“Aku tidak sengaja mengiris tanganku saat memasak tadi.” Jawabku tanpa melihat padanya, menahan diri agar tidak mengatakan ‘gara-gara Kakak’. Ia mengusap jariku punggung tanganku dengan lembut.
“Sudah diobati?” aku mengangguk. “Kenapa bisa sampai teriris? Berbaya.”
“Aku… aku sedikit tidak konsenterasi.”
“Kau pasti melamun.”
“Tidak, kok.” Kataku, menjawab dan menggeleng terlalu cepat, masih tidak menatapnya. Aku mendengarnya terkekeh.
“Bagaimana fotoku?” tanyanya. Aku menggigit lidah.
Bagaimana. Ia. Bisa. Selalu. Tahu. Isi. Pikiranku?
Astaga.
Aku harus menjawabnya, “Tidak buruk.” Jawabku, terlalu pendek.
“Oh ya?” suara Yura terdengar manis dan berbahaya.
“Ya, artikelnya… artikelnya juga tidak buruk. Prinsip Kakak untuk tidak membawa masalah pekerjaan saat di rumah itu bagus sekali.” ujarku, bertempo sedikit terlalu cepat. “Seharusnya aku juga tidak membawa masalah kuliah ke rumah.” Lanjutku, berusaha agar pembicaraan tentang majalah itu tidak berlanjut.
“Hmm…” respon Yura terdengar lirih, tapi usapan lembut di punggung tanganku sudah berubah menjadi sentuhan menggelitik karena kini Yura menggerakkan telunjuknya di sepanjang punggung jari telunjuk kiriku kemudian mengaitkannya di telunjukku itu, mengangkat tanganku ke bibirnya dan memberi kecupan kecil di jari telunjukku yang masih terkait di jarinya.
“Aku tidak tanya soal artikelnya, Nidi.” Desisnya di jariku, membuat merinding. Ternyata ia tidak akan puas kalau hanya menyiksaku lewat foto.
“Umm…. Aku tahu, dan aku tidak mau menjawabnya.” Ujarku akhirnya, menghembuskan nafas frustasi. Yura melepaskan tanganku, tertawa sambil menepuk puncak kepalaku. Aku menghindar, meninju lengannya.
“Terlalu provokatif, ya.” Ujarnya, mengomentari fotonya sendiri, mewakili isi pikiranku. Aku mengangkat bahu.
‘Pria Metropolitan’ apanya, ya Tuhan.
Foto-foto itu lebih cocok untuk majalah dewasa, bukan majalah mode. Menurutku.
Kemudian Yura membelai kepalaku dan mengecup pelipisku, “Maaf, ya?” ujarnya manis. Aku tahu ia minta maaf untuk apa.
“Bukan salah Kakak, kok. Aku yang tidak fokus.”
“Bisa dimaklumi.”
“Kakak bisa membunuh satu populasi, tahu.” Ujarku masam, membayangkan Ethana yang mungkin sedang histeris sekarang. Yura tertawa,
“Mungkin tidak satu populasi,” ia menepuk puncak kepalaku, “Tapi yang di dalam sini, ya.” Aku menggigit bibir, tidak berdaya. Akhirnya aku hanya bisa mencubit lengannya, membuatnya terlonjak, “Aduh!” serunya.
Aku tidak pernah mendengarnya mengaduh, dan responnya itu membuatku seketika berpikir bahwa cubitanku terlalu keras.
“Maaf, maaf!” ujarku panik, mengusap-usap lengannya yang kucubit, “Sakit sekali, ya? Maaf, aku tidak sengaja, Kakak.” Aku meringis. Tapi Yura kembali tertawa,
“Tidak, kok.” Ia merangkulku, “Hanya kaget.” Kemudian mencium pelipisku lagi. Aku menarik nafas dan menyandarkan kepalaku di bahunya, merasakan nafasnya yang pelan dan teratur, yang entah mengapa membuatku tiba-tiba mengantuk.
“Kakak,” panggilku. Yura merespon dengan ‘hm?’ kecil. “Kakak mau makan, tidak? Aku bisa ketiduran disini.” Yura tertawa dan melepaskan rangkulannya.
Kupikir ia akan berdiri dan meninggalkanku, ternyata ia malah mengangkat daguku dan menciumku. Lalu kupikir itu adalah kecupan singkat, dan ternyata aku salah lagi. Ciumannya cukup dalam dan sensual untuk sebuah kecupan kilat, maka aku terlarut, membalas bibirnya yang terasa lembut dan manis seperti gula-gula kapas.
Yura mendorongku hingga berbaring di sofa tanpa melepaskan ciumannya yang semakin memanas, membuat jantungku berkedut ngilu. Saat tangan cantiknya meraba ke balik gaun rumahku, aku tersentak, tidak bisa mendesah karena mulutku terbungkam.
Tidak di sofa, kan?
Ternyata memang di sofa…. Pikirku saat Yura tidak berhenti menciumku dan mulai melepas kancing depan gaunku.
-bersambung-
A/N: yah yah, saatnya kabur lagi ahahaha~