Bag. 34
Aku mendengar Yura pulang dari kegiatannya pada tengah malam, setengah tertidur karena baru saja menyelesaikan tugas kuliahku. Aku juga mendengarnya masuk ke kamarnya, kemudian hening. Tidak ada suara apa-apa lagi. Aku mengasumsikan bahwa Yura langsung tidur, maka aku melanjutkan tidur juga.
Yura belum keluar dari kamarnya saat aku berangkat kuliah pagi harinya, dan saat aku pulang pada siang harinya pun, ia belum tampak.
Aku memutuskan untuk tidak mengganggunya, menyiapkan makan siang dan kembali ke kamar untuk melanjutkan mengerjakan tugas.
Seminggu tidak ada Yura, aku mengisi waktu-waktu senggangku dengan menonton video-video LiViNG,, seperti biasa jika aku merindukannya. Dan tiba-tiba saja aku merasa tak minat mengerjakan tugas kuliahku, akhirnya aku menghidupkan laptop dan menonton beberapa video dari DVD LiViNG, yang terbaru.
Saat aku sedang tertawa-tawa menyaksikan dokumentasi mereka di sebuah negara-menertawai ekspresi Alfa saat mencoba sebuah makanan yang asing, suara Yura dari pintu kamarku yang terbuka sedikit mengejutkanku.
“Kau kenapa?” tanyanya, bersandar di bingkai pintu sambil menyilangkan tangan di dada.
“Menonton Kakak.” Jawabku. Yura melirik laptopku tanpa ekspresi,
“Itu bukan aku. Itu Hea.” Ujarnya dingin. Aku tertawa.
“Ya… dan hanya Hea yang kumiliki kalau Kakak tidak ada.” Ujarku.
“Jangan.” Yura berkata pendek. Wajahnya memang tidak menunjukkan emosi apa-apa, tapi aku merasa bahwa ia tidak begitu senang.
“Kenapa?” tanyaku. Yura menarik nafas.
“Aku dan Hea berbeda. Kalau kau menyukainya, berarti kau menyukai orang lain.”
Oh.
Apakah Yura cemburu? Aku tidak menangkap gelagat cemburu, tapi aku bisa lihat kalau ia kesal-walaupun emosi di wajahnya sedatar tembok.
“Kakak cemburu?” tanyaku, memutuskan untuk bertanya.
“Menurutmu?” ia balik bertanya. Aku tertawa,
“Ya ampun… masa Kakak cemburu pada diri sendiri?” ujarku. Yura menggeleng lagi.
“Sudah kubilang, Hea itu bukan aku.” Ulangnya. Aku mengikik, masih tidak bisa menerima bahwa Yura cemburu pada Hea, alter-ego-nya yang ia ciptakan sendiri, sisi liarnya yang biasanya kulihat kalau ia sedang kejam menggodaku.
“Oke, oke,” kataku akhirnya, berhenti tertawa. “Maaf, aku tidak akan menyamakan Hea dengan Kakak lagi.” Ujarku. Yura menarik nafas lagi, mengangkat bahu.
“Karena tidak mungkin memintamu berhenti mengidolakan Hea.” Ujarnya.
Sejauh itukah rasa cemburunya pada Hea? Apa aku harus tertawa lagi? Tapi Hea memang bukan diri Yura, sama sekali bukan, dan aku tahu Yura tidak begitu menyukai alter-ego-nya itu. Tapi rasanya tidak mungkin berhenti mengidolakan Hea, walau bagaimanapun, Hea adalah warna lain dari Yura. Aku tidak mungkin mengabaikan Yura, apapun bentuk dan karakter dirinya. Lagi pula, aku tidak mungkin berpaling pada karakter bayangan macam Hea dari Yura, kan?
Yura berjalan masuk ke kamarku, menghampiriku yang duduk di kursi meja belajar. Ia mematikan video dokumentasi yang sedang menyala di laptopku dan duduk di meja.
“Aku tidak akan bertanya kenapa kau menyukainya.” Ujarnya, menatapku. Karena ia sudah tahu jawabannya. Semua jawaban mengapa aku menyukai Hea sebegitunya hingga terobsesi ada di diary-ku yang dibacanya hingga tuntas dulu.
“Tapi Hea kan Kakak sendiri yang membuatnya.” Kataku. Yura menggeleng,
“Bukan, Hea ciptaan Pascal Music.” Tegasnya. Aku menarik nafas,
“Aku menyukai orang lain di dalam diri Kakak, bagiku Kakak dan Hea adalah orang yang sama.”
“Tidak bagiku. Aku tidak mau kau menyukai orang lain, Nidi. Siapapun itu.” Yura berhenti, melirik laptopku lagi, “Termasuk Hea.”
Aku menganggapnya lucu, tapi di sisi lain, kalau menggunakan sudut pandang Yura, kupikir itu masuk akal. Wajar kalau ia menganggap Hea orang lain. Karena Hea memang orang lain, orang lain yang ia ciptakan karena tuntutan pekerjaannya.
“Oke…” aku menghela nafas, tersenyum padanya. Memutuskan untuk hati-hati lain kali. “Tapi aku tidak dilarang menyukai lagu-lagu LiViNG,, kan?” tanyaku dengan nada bercanda.
“Sebenarnya aku keberatan. Tapi lagu-lagu itu ciptaanku, bukan Hea.” Yura mengangkat bahu, “Aku masih bisa mentolerirnya.” Ia mengulurkan tangan menyentuh pipiku, mengusapnya dengan pelan.
Hening yang cukup lama saat kami bertatapan, mata abu-abunya menatap lekat ke dalam mataku.
“Mata Kakak… mirip mata papa. Tapi mata papa berwarna cokelat.” Kataku, tidak tahu mengapa subyek itu harus keluar dari mulutku. Yura tersenyum.
“Ini lensa kontak, mataku juga cokelat.” Ujarnya. Aku terkejut,
“Eh??” informasi ini membuatku terperangah, “Berarti Kakak tidak pernah melepas lensa kontaknya? Aku tidak pernah melihat mata Kakak berwarna lain.” Aku memiringkan kepala, melihat lebih teliti ke matanya. Yura tertawa,
“Aku hanya melepasnya saat mandi, dan langsung memakainya lagi.”
“Bahaya, kan, kalau dibawa tidur.” ujarku.
“Sudah terbiasa, aku nyaris tidak bisa melihat kalau melepasnya.”
“Kakak bisa pakai kacamata.” Usulku. Hidung Yura mengernyit,
“Aku tidak menggunakan kacamata.”
“Aku mau lihat mata Kakak tanpa lensa kontak.” Pintaku. Yura terkekeh,
“Sini,” ajaknya, turun dari meja belajarku dan duduk di kasur. Aku mengikutinya, duduk di sampingnya di pinggiran kasur. “Aku butuh tempat lensa kontaknya.” Ujarnya lagi. Aku naik ke kasurku dan meraih laci meja tidur, mengeluarkan kotak penyimpan lensa kontak dan cairan pembersihnya, kemudian menyerahkannya pada Yura.
Yura merubah posisi duduk, kini bersilang kaki di depanku di tengah-tengah kasur, menjepit bola matanya untuk melepas lensa kontaknya dan menyipit ketika memasukkan benda kecil dan lunak itu ke tempatnya yang berisi cairan pembersih lensa kontak. Kemudian ia mengerjap, menatap kearahku.
Ini pertama kalinya aku melihat Yura dengan mata aslinya. Cokelat cerah, hampir seperti warna mataku. Warna mata papa tiriku tidak secerah Yura, lebih gelap. Dan dengan warna mata cokelat, wajah Yura tampak lebih manusiawi. Kupikir, warna lensa kontaknya yang abu-abu itu mematikan seluruh warna di wajahnya, membuat wajahnya yang tanpa ekspresi semakin terlihat kosong.
“Mendekatlah, aku tidak bisa melihatmu.” Aku bergeser mendekat, “Belum.” Yura tidak berkata seberapa cacat matanya, tapi aku tidak bertanya dan maju lebih dekat. Yura tersenyum dengan ekspresi geli, “Belum, Nidi. Lebih dekat.” Aku mengerutkan kening,
“Mau sedekat apa?” tanyaku heran. Yura mengangkat bahu,
“Aku tidak tahu jarak pandangku.” Ujarnya. Saat aku sudah berada tepat di hadapannya, berjarak setengah lengan, Yura menggeleng sambil menarik nafas kemudian mencondongkan tubuhnya hingga wajahku hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya.
Aku membeku, menatap mata cokelatnya yang cantik tanpa mengedip. Jantungku meningkatkan kecepatan degupannya dengan tiba-tiba. Yura tersenyum dan memiringkan kepala,
“Nah, aku melihatmu.” Suaranya hanya segaris di atas bisikan. Jarak pandang Yura ternyata hanya sepuluh sentimeter. Yura menyelipkan rambutku ke belakang telinga dan melepas kacamataku. Tanpa kacamata, aku tidak bisa melihat objek dengan jelas di luar jarak dua meter. “Sekarang kita hanya melihat satu sama lain.” Yura menggesekkan ujung hidungnya pada hidungku. Aku menggigit bibir,
“Ya, aku hanya lihat Kakak…”
“Bagus.” Kemudian Yura menciumku. Aku memejamkan mata merespon ciumannya, merasakan bibirnya bergerak menelusuri bibirku dengan lembut. Aku menyukai desiran hangat yang menuruni ulu hatiku saat Yura menciumku, ingin merasakan berada di dalam pelukannya selamanya. Bibirnya begitu memabukkan, aku merasa kehilangan diriku karena terlalu larut.
Saat ia melepas ciumannya karena nafas kami mulai sesak, aku menyadari kalau aku sudah ada di pangkuannya, lenganku melingkari lehernya dan tangannya berada di pinggangku.
“Aku selalu nyaris hilang kendali, bagaimana ini?” Yura tertawa kecil ketika ia menyadari kalau ia menekan pingganggku terlalu kuat.
“Aku bahkan tidak sadar.” Kataku. Yura tertawa,
“Kau tidak sadar akan apapun, Nidi. Kau hanya terfokus padaku.” Yura kembali menciumku dan menekanku ke ranjang.
Bagaimana mungkin aku bisa merasakan hal lain kalau otakku berkabut dan hanya memikirkan Yura serta sensasi yang ia timbulkan padaku?
~.~.~.~.~
“Wajahmu ceria sekali akhir-akhir ini, seperti selalu merona.” Kio berkomentar suatu hari, saat aku sedang mengamati bakteri dengan mikroskop. Aku melirik dari lensa okuler dan menggeleng.
“Jangan sok tahu.” Ujarku. Aku melihat Kio mencibir dan terkekeh,
“Kau seperti orang kasmaran. Sungguh.”
“Oh ya?” sahutku, tetap berkonsenterasi pada preparat di hadapanku dan mencatat beberapa hal penting tentang pengamatanku.
“Ya. Aku melihat perubahannya, biasanya kau tidak pernah seceria ini. Sekarang seperti ada hawa bunga-bunga.” Aku tertawa.
“Kau berlebihan.”
“Aku yakin pasti terjadi sesuatu.” Desaknya. Aku menggeleng. “Sejak ulang tahunmu kemarin, kau mulai berubah. Senyummu sampai ke telinga.” Aku mendengus dan memukul kepalanya dengan kertas laporan yang kubawa.
“Mungkin karena kau tidak menggangguku saat aku ulang tahun.” Kembali teringat kalau Kio tidak mengucapkan apapun pada hari itu sehingga aku tetap lupa hari ulang tahunku sendiri dan mempermalukan diriku di hadapan Yura. Kio meringis.
“Kau masih marah, ya? Bukan mauku lupa ulang tahunmu, tapi si Tua itu membuatku tidak ingat apapun selain perusahaannya.” Kio dipaksa mengikuti rapat besar di kantor ayahnya, padahal ia sedang tidak liburan. Ia mengucapkan selamat ulang tahun keesokan harinya, yang kubalas dengan pura-pura ketus.
“Ya ya~ aku mengerti. Kau Kio yang sibuk.” ujarku, memunggunginya dan mulai menggambar. Kio terus merengek sepanjang penelitian sehingga aku memukul kepalanya lagi sambil tertawa dan menyerahkan setumpuk preparat untuk ia amati. Kalau ia merengek terus, tugas pengamatan kami tidak akan selesai.
Mama juga mengucapkan ulang tahun sehari setelah ulang tahunku. Pagi hari saat aku baru keluar dari kamar Yura untuk bersiap-siap pergi ke festival sirkus, aku mendengar ponselku berbunyi dari dalam tas di kaki meja makan. Aku segera meraih tasku dan merogoh ke dalamnya, menjawab ponselku.
Mama meratap di telepon, meminta maaf kalau ia lupa. Ia menjelaskan dengan terisak-isak bahwa ia sedang kalang kabut hari itu, kantornya dibanjiri proyek besar dan mama harus menyiapkan setumpuk laporan mendadak yang membuatnya lupa akan apapun. Aku berkata tidak apa-apa, dan mama tetap tersedu, berjanji tidak akan melupakan ulang tahunku lagi.
Kemudian saat telepon ditutup, aku menemukan bahwa Tuscan trifle yang Yura beli untukku masih di atas meja makan, tidak tersentuh, dengan lilin yang sudah mencair seluruhnya, mengeras di tengah-tengah kue lunak itu seperti mawar pipih berwarna merah muda.
~.~.~.~.~
Aku menatap pengumuman di pintu kelas sambil menarik nafas. Pagi itu kuliah ditiadakan karena dosenku tidak bisa datang, entah apa alasannya. Tidak ada pengumuman tambahan apapun, pemberitahuan tentang kuliah pengganti pun tidak ada. Kio mengomel di sampingku.
“Kalau tidak bisa hadir kenapa tidak tempel pengumuman ini dari kemarin? Aku kan bisa tidur enak.” Rutuknya, melotot pada si kertas yang menempel di pintu. Aku mendengus tertawa dan berjalan keluar gedung, menuju perpustakaan.
“Eh? Mau kemana?” tanya Kio, mengekoriku sepanjang jalan.
“Perpustakaan.” Jawabku pendek.
“Tidak pulang?”
“Masih pagi, aku malas pulang. Aku mau menyelesaikan tugas di perpustakaan saja.” Sebetulanya aku bisa saja pulang dan mengerjakan tugasku di rumah, tapi Yura sedang berada di studio. Itulah alasan sebenarnya.
“Eh,” Kio tetap mengekoriku, “Kita kencan, yuk?” ajakan ini terdengar kasual, tapi membuatku sedikit panik. Kalau dulu, aku mungkin akan menyetujuinya dan bersenang-senang seharian, tapi sekarang… aku tidak bisa melakukannya.
“Mmm… aku tidak bisa.” Ujarku ragu. Kio mengangkat alis,
“Kenapa? Biasanya kau tidak pernah menolak.” Tanyanya. Aku menghela nafas,
“Pokoknya tidak bisa.” Ulangku, teringat Yura. Aku merasa pipiku memanas tanpa sebab.
“Aaahhh~” Kio mendadak menyeringai, “Kau sudah punya pacar. Tentu saja…”
“Eh? K-kenapa kau sampai tahu?” aku terbelalak menatapnya. Darimana bocah ini tahu? Apa ia menguntitku? Apa kami tertangkap kamera? Kemudian Kio terbahak,
“Benar ya? Ahahaha! Tadi aku hanya menebak.” Aku terperangah, merasa begitu lugu masuk dalam perangkapnya.
“Kau ini!” ujarku gemas, memukul lengannya dengan buku yang kubawa. Kio mengindar, tetap tertawa.
“Tidak kok~ waktu kau menolak ajakanku tadi, aku langsung tahu kalau kau sudah punya pacar. Ternyata itu alasannya mengapa kau tampak senang akhir-akhir ini.” Kio tersenyum lebar dengan ekspresi jail yang bermain di matanya. “Kenalkan padaku?”
Aku menggeleng, “Tidak mau.” Aku mendorongnya dengan bahuku saat ia mencoba merangkulku. Gerakanku ternyata cukup gaduh sehingga membuat tali tasku putus dan jatuh ke lantai, isinya berserakan ke segala penjuru. “Ya ampun!” seruku panik, mengejar wadah termometer yang berbentuk silinder yang menggelinding ke pojok koridor, meninggalkan tasku beserta isinya yang lain. Saat aku kembali setelah berhasil meraih wadah termometer itu sebelum menggelinding ke bawah sofa di koridor itu, aku melihat sebagian besar isi tasku sudah dimasukkan kembali oleh Kio. Hanya ada satu benda yang masih berada di tangannya.
Dompetku.
Terbuka. Dengan foto Yura di dalamnya.
Dan Kio sedang menatap foto Yura itu.
Aku membeku.
“Itu orangnya?” tanya Kio saat aku merebut dompetku darinya dengan panik.
“B-bukan, itu kakakku.” Ujarku gelagapan, kemudian memutuskan untuk memarahinya, “Tidak sopan membuka-buka dompet orang, tahu!” bentakku. Kio mengerutkan alis,
“Dompetmu terbuka, dan foto itu langsung terlihat olehku. Tidak perlu marah.”
“Aku… aku tidak marah.” Sahutku, kemudian berjalan pergi. Ternyata Kio masih bertekad untuk mengekori ke perpustakaan.
“Tapi kenapa kau menyimpan foto kakakmu di dalam dompet?” tanyanya.
“Bukan urusanmu.”
“Aku hanya penasaran. Biasanya anak gadis yang punya pacar menyimpan foto pacarnya di dalam dompet, bukan kakaknya. Kalaupun menyimpan foto anggota keluarga, biasanya foto bersama. Kenapa kau hanya menyimpan foto kakakmu?” Perutku mulas mendengar rentetan kalimat Kio. Aku berhenti dan menghadapinya,
“Kio, dengar, itu bukan urusanmu, oke? Berhentilah bertanya-tanya.” Ujarku, kemudian berjalan pergi lagi. Kio tetap mengikutiku,
“Kau pacaran dengan kakakmu ya?” tanyanya. Wajahku serasa ditampar sepatu.
“Tidak!” seruku, agak terlalu keras, membuat orang-orang di sekitar kami menoleh. Aku meringis menyadari reaksiku yang seperti paranoid, menatap Kio yang mengerutkan kening melihatku. “Maksudku, tidak.” Ulangku, memelankan suara.
“Kenapa kau ketakutan begitu, sih?”
Kumohon Kio, berhenti bertanya!
“Aku tidak ketakukan. Sampai nanti Kio, kau pulang saja. Aku mau sendirian.” Tanpa ba-bi-bu lagi, aku segera meninggalkan Kio, berjalan dengan sangat cepat hampir berlari. Jantungku berdegup cemas, dan saat aku yakin kalau Kio tidak lagi menempeliku, aku membuka dompetku dan melepaskan foto Yura dari tempatnya, kemudian meletakkan foto itu di antara helai buku, mewanti-wanti diriku sendiri agar nanti tidak lupa memindahkannya dari sana.
Bisa gawat kalau Kio menemukan foto Yura lagi.
-bersambung-