Di luar dingin, dan yang kau butuhkan hanyalah sehelai selimut tebal dan secangkir teh hangat. Kau memandangku sambil tersenyum saat kau mengangkat cangkir teh itu ke bibirmu, dengan selimut tebalmu membungkus tubuh layaknya rakyat Eskimo, lalu menawarkan apakah aku menginginkan secangkir teh juga. Aku menggeleng.
Lalu kau mulai bercerita, seseorang di tempat kerjamu yang menurutmu lucu. Kau menceritakan bagaimana ia tergelincir di koridor, terjepit pintu elevator, dan menumpahkan kopi yang di bawanya di meja kerjanya, menciprati semua berkas laporannya, sehingga ia harus membuat setumpuk laporan baru. Kau tertawa, aku tertawa.
Tapi di setiap tawa yang kita bagi, setiap senyum yang kita saling tukar, aku tahu; kau tahu, bahwa kita berdua memendam jenuh yang menyakitkan. Melihatmu tertawa membuatku ngilu. Melihatmu tersenyum membuatku kebas. Aku ingin kita berdua mengakui bahwa kita sudah berakhir. Tapi tidak ada satupun dari kita, ya, tidak satupun, cukup berani melakukannya. Kau dan aku dengan kesendirian kita. Aku hanya memilikimu, dan kau hanya memiliki diriku; dan tawamu yang cantik. Sungguh cantik, membuatku nyeri untuk membayangkan kemungkinan tawa itu hilang saat kita berpisah.
Waktu terus berjalan. Dengan kejenuhan yang semakin hari semakin kental. Dengan rasa pengap yang terus mencekik setiap detiknya. Setiap detik untuk waktu yang kita habiskan bersama, dalam penolakan akan fakta bahwa setiap titik cinta yang kita punya sudah pudar.
Berhari-hari cuaca terus menurun, akhirnya sampailah pada titik dimana dingin pun jenuh untuk selamanya beku. Matahari mulai menghangatkan setiap sudut kota. Kau meraih tanganku dan kita berjalan berdua, menuju taman kota yang memiliki kolam besar dengan air mancur di tengahnya. Taman dipenuhi merpati-merpati dan manusia-manusia lain yang mencari kenyamanan sebuah kota.
Lalu kau mulai bercerita, seseorang di tempat kerjamu yang menurutmu lucu. Kau menceritakan bagaimana ia tergelincir di koridor, terjepit pintu elevator, dan menumpahkan kopi yang di bawanya di meja kerjanya, menciprati semua berkas laporannya, sehingga ia harus membuat setumpuk laporan baru. Kau tertawa, aku tertawa.
Mengapa kita harus tertawa seperti ini?
Kemudian aku berhenti. Kau pun berhenti, menghadapku, mendongak menatapku. Waktu seakan berhenti ketika aku menatap matamu, sepasang mata yang indah dan amat kucintai, dulu. Gemercik air mengisi kesunyian di antara kita, tidak ada suara lain, bahkan angin pun tidak bersuara.
Apakah kau mengerti arti tatapanku? Apakah kau mengerti bahwa aku lelah? Apakah kau mengerti kalau kita sudah tidak ada harapan, dan bahwa segala usaha yang kita lakukan untuk mempertahankan hubungan kita ini sia-sia? Apakah kau mengerti kalau aku tidak ingin memalsukan cinta dan kebahagiaan kita lagi? Apakah kau mengerti kalau aku bertanya-tanya "mengapa harus tertawa saat kita sama-sama tahu bahwa kebahagiaan yang kita miliki talah mati sejak lama?"? Apakah kau mengerti kalau aku ingin lari?
Dan kau tersenyum. Kau mengerti.
Senyum itu adalah senyum yang terakhir kali untukku, karena kemudian kau berpaling, tetap tersenyum dan melanjutkan melangkah tanpaku. Langkah-langkahmu mantap, berirama dan tanpa keraguan. Aku memandang punggungmu yang menjauh, untuk terakhirkalinya pula. Membiarkan semua kejenuhan dan kepalsuan di antara kita berlalu bersamamu. Nyeri itu masih tinggal, tentu saja. Tapi kurasa itu akan berakhir saat aku memutar balik langkahku dan berjalan ke arah yang berlawanan.
Setidaknya begitulah harapanku.
=END=