Bag. 30
Yura pulang dari tur internasionalnya bertepatan dengan jadwal ujian semesterku. Ia membawakan oleh-oleh bertumpuk-tumpuk yang membuat kamarku penuh dengan barang-barang khas negara-negara yang dikunjunginya. Yang membuatku paling tertegun adalah yukata musim panas yang berwarna biru muda dengan motif sakura yang sangat cantik.
“Ini cantik sekali, Kakak.” Kataku terpana. Yukata itu betul-betul bagus dengan bahan yang sangat berkualitas.
“Aku melihatnya ketika Meta membawa kami keliling Jepang.”
“Enak sekali jalan-jalan ke Jepang…” kataku, membelai-belai yukata itu. “Aku mau kesana sekali-sekali.” Lalu aku mencoba memakai yukata itu, tapi karena tidak tahu caranya, aku hanya menyampirkannya di bahu seperti jubah, bagian bawahnya menyapu lantai.
“Warnanya membuatku langsung mengingatmu.” Ujar Yura. Aku tersipu dan menunduk, memainkan ujung pita besar yukata yang tidak bisa kupakai sendiri itu di pangkuanku. Kemudian Yura berdiri, “Sini, kubantu pakaikan.”
“Eh? Kakak bisa?” tanyaku kagum, Yura mengangguk dan aku ikut berdiri, membiarkan Yura berkutat dengan pakaian tradisional Jepang itu selama beberapa saat. Aku tidak bisa menghentikan degupan jantungku yang berpacu-pacu saat Yura berdiri mengitariku untuk memasangkan obi. Aku bisa lihat ia tidak mau repot-repot menjaga jarak, ia akan mengalungkan lengannya di pinggangku untuk memasang obi kalau ia mau. Aku bersyukur ia tidak melakukannya.
Sentuhan terakhir, ia memasangkan pita besar di belakang pingganggku, lalu menjauh untuk melihat hasilnya.
“Cantik.” gumamnya. Aku menggigit bibir, malu setengah mati.
“Sungguh?” aku tidak bisa menahan semburat merah di pipiku saat Yura menatapku seperti sebuah karya seni yang ia buat.
“Sungguh. Nidi sangat, sangat cantik.” Yura tidak lepas memandangku. Aku tersenyum malu karena terang-terangan dipuji, tapi aku senang.
Kemudian aku memalingkan wajah ke cermin di dinding kamarku, melihat pantulanku yang mendadak berubah seperti gadis Jepang.
“Aku seperti peserta lomba cosplay.” Aku memutar badan, ingin melihat pita besar di punggungku. “Aku pasti menang lomba dengan yukata begini.”
“Disana banyak anak perempuan dengan selera berpakaian sepertimu.” Ujar Yura, masih memandangiku.
“Oh ya?” aku berpaling padanya. “Tapi fashion disana lebih berani kalau masalah warna, mereka suka yang tabrak lari. Aku tidak seberani itu.”
“Kurasa kau akan gampang membaur jika tinggal disana.” Lanjut Yura. “Lolita fashion tanpa mengenal umur.” Aku tertawa.
“Kakak menghina ya?” kataku. Yura menggeleng.
“Aku seperti melihat karakter gadis komik versi manusia. Seperti melihatmu dimana-mana.”
“Separah itukah selera berpakaianku? Terlalu kekanak-kanakan?” aku menggaruk-garuk kepala, berpikir apakah gayaku selama ini tidak cocok untukku.
“Tidak. Kau manis. Tidak ada yang salah, percayalah.” Yura menarik nafas. “Kurasa aku hanya rindu.”
Oh.
Rindu, katanya? Yura merindukanku?
Aku menunduk, makin salah tingkah. Kakiku tiba-tiba melemas, seperti dibius lokal tanpa peringatan. Lalu mendadak saja Yura sudah berdiri beberapa senti di hadapanku, mengangkat daguku dengan telunjuknya yang ramping dan panjang itu hingga aku mendongak menatapnya.
“Sungguh, aku bisa gila.” Yura membelai pipiku dengan punggung jarinya, “Apapun yang aku lihat, aku mengingatmu.”
“Aku juga kangen Kakak.” Kataku pelan. Yura tersenyum dan menepuk puncak kepalaku.
“Lebih baik kau siap-siap, ada ujian kan?” Yura berjalan keluar kamarku. Aku menarik nafas,
“Oke.” Desahku, sedikit merasa kecewa. Entah mengapa.
~.~.~.~.~
Ujianku selesai dengan lancar, tidak ada kesulitan berarti dan aku sudah libur lagi. Jadwal kosong dan santai segera saja menyambutku di akhir pekan. Organisasi lingkungan yang kuikuti sudah merekrut anggota baru dan aku menjadi lebih santai dibuatnya. Saking santainya, aku bisa memikirkan untuk pulang ke rumah papa tiriku. Aku sudah sangat rindu pada mama, terakhir kali aku bertemu dengannya akhir tahun lalu, saat konser LiViNG,.
Tapi untuk urusan liburan dan pulang kampung, selalu saja terbentur masalah dengan paranoia mamaku dan jadwal Yura. Kenapa mamaku tidak bisa membiarkanku pulang sendirian saja? Aku bukan anak kecil lagi, aku bisa menjaga diri. Merepotkan Yura membuatku tidak enak, tapi sepertinya mama tidak mau tahu. Sayangnya, protes ini hanya bisa kutelan sendiri-mama tidak akan mau mendengarku. Sudah pasti aku akan kalah kalau berdebat soal ini, 1-0 untuk mama dan ratapan histerisnya.
“Kenapa dengan wajahmu?” tanya Yura, mengagetkanku yang sedang melamun.
“Tidak apa-apa.” kataku, tersenyum lebar berharap sisa-sisa kegundahanku hilang tanpa bekas.
“Wajahmu selalu begini saat selesai ujian semester.” Komentar Yura. Yah, aku tidak heran kalau ia memperhatikannya. Isu ini memang sudah basi. Aku ingin pulang, tapi aku tidak mau jauh-jauh dari Yura selama itu. Tur internasionalnya kemarin sudah cukup membuatku-dan Yura juga-frustasi.
Yura tidak diijinkan libur karena sedang menggarap album LiViNG,, album pertama mereka setelah mengeluarkan 12 single.
“Mungkin aku akan meminta mama kesini saja.” Keluhku. Yura mengangguk,
“Dan papaku butuh liburan.”
Sudah dipastikan aku tidak akan pulang lagi semester ini.
Seperti tahun lalu, aku menghabiskan waktu liburanku yang panjang dengan menjadi anak gadis yang baik. Rumah selalu rapi, selalu masak makanan baru. Aku sudah ahli untuk urusan rumah tangga dasar seperti itu. Seperti calon istri yang sempurna.
Memikirkannya membuatku malu pada diriku sendiri. Terlalu banyak waktu kosong membuatku suka berpikiran yang aneh-aneh, karena itu aku menyempatkan diri 2-3 kali seminggu datang ke kampus untuk menyibukkan diri dengan organisasi lingkungan yang tanpa henti mengadakan kampanye penghijauan. Kio tidak bisa diganggu, karena ia diwajibkan magang di perusahaan ayahnya setiap liburan semester, seperti semester-semester lalu. Kadang-kadang ia meneleponku sambil mengomel, mengutuk-ngutuk perusahaan ayahnya dengan putus asa. Percakapan kami berujung dengan umpatan merananya karena aku menertawainya sambil memamerkan masa liburanku yang santai.
Aku menelepon mama dan memintanya mengunjungiku. Mama setuju aku tidak pulang, tentu saja, dan ia akan mengusahakan untuk datang ke ibu kota. Ia harus membicarakannya dulu dengan papa tiriku, dan menyusun jadwal jika papa tiriku tidak keberatan. Beberapa hari setelahnya, mama menelepon lagi dan menanyakan jadwalku dan Yura pada tanggal ulang tahun Yura. Kebetulan ulang tahun Yura jatuh pada hari Minggu dan ia berkata bahwa kini setiap hari Minggu jadwalnya selalu kosong. Maka terencanakanlah liburan kami yang singkat. Saat hari ulang tahun Yura, papa tiriku akan menyewa villa di daerah perbukitan di pinggiran ibu kota.
Yura sudah memastikan kalau ia tidak akan ditarik teman-temannya ke club kali ini.
Sehari sebelum kedatangan orang tuaku, aku mendengar Yura menelepon Alfa dan menanyakan apakah mobilnya menganggur selama akhir pekan. Beberapa menit mereka di telepon dan Yura menutup telepon setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih. Aku yang sedang duduk di lekukan jendela menatapnya dengan pandangan bertanya.
“Urusan mobil selesai.” Ujarnya. Aku membulatkan mulut tanda mengerti dan melanjutkan membaca novel yang direkomendasikan Yura untuk mengisi liburanku yang membosankan. Suatu malam saat ia pulang dari studio, ia membawakanku buku baru dan berkata bahwa aku mungkin membutuhkan buku bagus selama liburan. Novel itu belum tamat kubaca, tetapi sejauh ini aku menyukainya. Ceritanya memang bagus dan tidak terlalu berat untukku
Yura meminjam mobil Alfa karena kami tidak mungkin menggunakan mobilnya yang hanya memiliki dua kursi. Seperti yang pernah kukatakan padanya, mobil sport-nya itu bukanlah jenis mobil keluarga. Dari yang kudengar, Alfa memiliki dua mobil, salah satunya adalah sedan. Sedan itulah yang dipinjam Yura.
“Alfa tidak menggunakan mobilnya?” tanyaku, saat Yura memutuskan untuk menemainiku duduk di lekukan jendela apartemennya. Yura menggeleng.
“Tadinya aku ingin pinjam van milik Boo,” Yura menjawab sambil menyandarkan punggungnya di kaca.
“Kenapa tidak jadi?”
“Dia memerlukannya untuk mengantar peralatan baru studio.”
“Ooo….” Gumamku sambil mengangguk-angguk. “Ah, Kakak mau makan apa malam ini? Sebentar lagi aku mau ke supermarket.” Tanyaku setelah hening sesaat. Yura mengangkat bahu,
“Terserah Nidi saja.” Ujarnya. Aku memikirikan ravioli keju.
~.~.~.~.~
Barang yang akan kami bawa ke villa tidak banyak, hanya baju dan peralatan mandi. Bahan makanan akan dibeli nanti di perjalanan ke villa supaya tidak tersimpan terlalu lama. Mama menyuruhku membawa keranjang piknik dan picnic mat, sedangkan peralatan masak dan alat makan sudah tersedia di villa nanti. Mama menelepon Sabtu pagi, memberitahukan bahwa ia dan papa tiriku sedang di ruang tunggu bandara. Aku berkata padanya agar memberitahuku saat akan lepas landas. Saat mamaku akhirnya mengabari bahwa mereka akan lepas landas, aku dan Yura bergegas mengemasi barang ke mobil dan pergi ke bandara untuk menjeput mereka.
Dua jam menunggu, akhirnya penerbangan orang tuaku diumumkan sudah mendarat. Aku dan Yura-yang nekat keluar mobil tanpa topi atau masker atau kacamata hitam atau apapun-menanti mereka di pintu kedatangan. Sepuluh menit kemudian, orang tuaku muncul dan aku segera menghambur ke pelukan mama. Rindu setengah mati.
“Eh, Yura? Kenapa disini? Ayo ayo, kita cepat masuk mobil!” seru mamaku, panik melihat Yura terpapar di depan umum. Yura menggeleng,
“Tidak apa-apa, tidak akan ada yang sadar.” Ujarnya. Tapi mamaku tidak mau tahu dan menyeretku bergegas keluar gedung bandara sambil mengomel, sesuatu tentang keamanan dan privasi Yura sebagai artis. Aku tertawa, memasrahkan diri digiring oleh mama seperti remaja bermasalah.
Setelah akhirnya kami berada di dalam mobil, mama tampak lebih tenang dan berhenti mengomel. Yura menghidupkan mesin mobil dan menoleh ke jok samping, dimana papa tiriku duduk.
“Aku tidak tahu dimana villa-nya.” Katanya.
“Kita berkendara saja keluar kota, nanti papa tunjukkan jalannya. Atau papa saja yang menyetir?” ujar papa tiriku. Yura menggeleng,
“Jangan, papa istirahat saja.” Papa tiriku mengangkat bahu dan Yura menjalankan mobil keluar bandara, menuju perbatasan kota.
Percakapan yang terjadi di dalam mobil selama perjalanan 90%-nya adalah percakapanku dan mama. Papa tiriku kebanyakan menimpali dengan tawa atau anggukan, sedangkan Yura, seperti biasa, tidak akan berkomentar jika tidak dimintai pendapat. Tapi saat aku dan mama membicarakan ulang tahunku yang lalu, aku melihat Yura secara terus menerus melirikku dari kaca spion.
“Ulang tahun Nidi kemarin dirayakan bersama siapa?” tanya mama. Aku teringat kencanku yang lebih mirip wisata kuliner bersama Kio. “Tidak sendirian, kan?”
Aku menggeleng, “Tidak, Mama. Teman kampusku mentraktir jalan-jalan.” Mataku bergerak ke arah spion dan menemukan Yura sedang menatapku, datar tanpa ekspresi. Perutku mulas, aku tidak cerita padanya soal 'kencanku' dengan Kio. Tidak mungkin aku menceritakannya pada Yura kan? Aku hanya menceritakan kalau manajer apartemen membawakan makan malam karena servis ulang tahun.
“Teman kampus?” ulang mamaku, matanya berkedip genit, “Laki-laki, perempuan?” goda mamaku. Aku menggigit bibir,
“Laki-laki…” gumamku, takut melihat kaca spion, takut melihat reaksi Yura.
“Aaah~~~ mama tahu, Nidi punya pacar tidak bilang-bilang!” mama mulai menggelitikiku,
Aku menghindar sambil tertawa, antara geli dan tertekan, “B-bukan kok, sungguh. Hanya teman, Mama. Dia… dia teman sekelompokku, kami dekat karena sering praktikum bersama. Hanya teman, sungguh.” Ujarku, meyakinkan mama sekaligus meyakinkan Yura-yang aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
“Ah masaaa~ Nidi jangan malu-malu, ayo cerita~” mama tetap menggelitikiku.
“Bukan, Mama. Sungguh. Dia kasihan padaku, makanya aku ditraktir. Hanya itu, bukan apa-apa.” akhirnya aku melihat ke spion, bertemu tatap lagi dengan Yura, yang masih memasang wajah tanpa ekspresinya. Akhirnya mamaku berhenti, menyerah karena aku tidak mengaku.
“Mama membawakan kado buat Nidi, lho~” ujar mama kemudian sambil merogoh tasnya.
“Sungguh? Waaah~ yang ulang tahun kan bukan aku.” Kataku, lega karena pembicaraan yang mengkhawatirkan sudah berakhir. Aku menerima kotak kado kecil yang disodorkan mama. Mama tertawa.
“Buat Yura besok, ya?” katanya. Aku melihat Yura menyunggingkan senyum kecil, matanya tetap ke jalan. “Hari ini buat Nidi dulu.” Lanjut mamaku.
“Aku buka ya,” mama mengangguk dan aku membuka bungkusan kado dari mama. Saat kado itu terbuka, “Lho… ini kan….” Aku melongo menatap kalung berantai tipis dengan liontin kecil berbentuk hampir menyerupai tetesan air yang terbuat dari logam, bermotif lurik-lurik.
Persis seperti kado yang kuberikan pada Yura tahun lalu.
“Kenapa?” tanya mamaku. Aku mengangkat kalung itu dan melihat ke kaca spion, saat Yura melirikku lagi untuk melihat kado apa yang diberikan mamaku. Kami bertatapan beberapa detik, kemudian Yura terkekeh.
“Kalian kenapa, sih?” tanya mamaku saat aku tertawa juga.
“Ada apa?” papa tiriku ikut penasaran. Yura merogoh ke dalam baju kausnya melalui kerah dan mengeluarkan kalung yang sedang dipakainya, kemudian menunjukkannya ke papa tiriku.
“Kado dari Nidi tahun lalu.” Ujarnya, membuat papa tiriku dan mama takjub,
“Ahhh…. Pantas saja mama langsung ingat Nidi saat melihat kalung ini. Ternyata mama pernah melihatnya di leher Yura….” Gumam mamaku, papa tiriku tertawa.
“Dasar, si Mama….” Ujarnya sambil menggeleng. Aku memakai kalung itu,
“Aku suka, terima kasih, Mama~” aku merangkul mama dan mengecup pipinya.
“Jadi kembaran dengan Kakak, ya. Aduh mama tidak kreatif, hahaha~”
“Tidak apa-apa, wajar kan kakak-adik mengenakan benda kembar.” Kata papa tiriku, “Mama kalian ini terlalu kangen pada Nidi, apapun yang dilihatnya seperti melihat Nidi. Nidi dimana-mana.” Kemudian ia dan mamaku tertawa. Aku meringis, bertemu tatap lagi dengan Yura di kaca spion, teringat kata-katanya yang juga seperti melihatku dimana-mana saat ia tur di Jepang.
Kami sudah memasuki pinggiran kota, jalan mulai menanjak karena villa-nya memang berada di perbukitan. Sisi kiri-kanan jalan sudah mulai berganti menjadi pepohonan rimbun dan rumah-rumah penduduk semakin jarang. Cuaca mulai sejuk dan matahari bersinar dengan ramah, gumpalan awan-awan yang seperti bulu domba menambah suasana nyaman perbukitan.
Ketika akhirnya kami sampai di villa yang disewa papa tiriku, waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Cuaca cerah, udara menguar bau cemara dan sumber air. Kurasa didekat sini ada sungai atau danau buatan, atau apapun yang membuatku berpikiran ingin berenang di air bening yang mengalir. Sesorang keluar dari dalam villa menyambut kami saat kami memasuki halaman villa dan turun dari mobil, ia tersenyum lebar dan menjabat tangan papa tiriku.
“Alan! Lama tidak berjumpa!” serunya, tampak bersemangat. “Aku kaget sekali kau bisa keluar dari rutinitasmu untuk liburan.” Papa tiriku tertawa,
“Liburan keluarga perlu, Joan.”
“Ya ya, benar. Terakhir kali kau kemari bertahun-tahun yang lalu, bersama mendiang istrimu yang sedang hamil.” Lalu ia melihat mamaku dan aku, “Ah, aku belum bertemu istrimu yang sekarang.” Ia menjabat tangan mamaku. “Senang akhirnya bertemu, maaf aku tidak bisa datang ke pernikahan kalian.” Ia menjabat tanganku juga.
“Tidak apa-apa, terima kasih.” Mamaku tersenyum, “Senang bertemu denganmu.”
“Ini anakku yang dulu masih di kandungan ibunya, Yura.” Papa tiriku menepuk bahu Yura. Yura merespon dengan hanya mengangguk, seperti biasa.
“Wah, duplikat dirimu, Alan.” Lelaki yang bernama Joan itu mengangguk-angguk, papa tiriku tertawa. Aku tidak tahu yang dimaksudnya dengan ‘duplikat’ itu adalah wajahnya atau pelit ekspresinya. “Okelah, aku tinggal ya. Selamat berakhir pekan, kalian semua.”
“Terima kasih, sampai nanti.” Ujar papa tiriku. Saat pria itu berlalu, papa tiriku mengajak kami semua masuk ke villa itu. Villa itu cantik, tidak terlalu besar dan didominasi oleh kayu, berlantai kayu, berlangit-langit tinggi, memiliki perapian, dapur yang lengkap dan modern dan memiliki ruang sauna di belakang rumahnya. Berlantai dua dan hanya memiliki dua kamar.
Dua kamar.
Apakah aku akan tidur dengan mama dan Yura dengan papanya?
“Hanya ada dua kamar, kalian terpaksa berbagi. Tidak apa-apa, ya?” mamaku mengumumkan mimpi buruk yang indah itu. Sebagian kecil dari diriku merasa senang, tapi bagian yang lain terasa meledak-ledak, ngeri dan grogi menjadi satu, sehingga bagian kecil diriku yang merasa senang lenyap seketika karena ledakannya. Seharusnya wajahku saat ini menampakkan kecemasan, tapi tampaknya tidak hanya itu yang terlihat, karena mama memandangku dengan ekspresi khawatir.
“Semalam saja, ya?” bujuknya, bibirku kering, dan perutku mendadak terasa bolong.
“Aku tidur di sofa saja.” Yura akhirnya bersuara, aku lega setengah mati. Lega dan kecewa.
“Eh? Tidak apa-apa?” tanya mama. Yura mengangguk,
“Tidak masalah.” Ujarnya, meletakkan tasnya di sofa dan duduk. Mamaku tersenyum,
“Oke, masalah selesai. Kita istirahat dulu kalau begitu. Nidi mau kamar yang mana? Di atas atau di bawah?”
“Di bawah saja, aku takut sendirian di atas.” Kataku. Karena di lantai atas hanya ada kamar, tidak ada apa-apa lagi.
“Ayo,” Papa tiriku menggandeng mama dan mereka berlalu ke lantai atas, meninggalkanku dan Yura yang mematung di sofa.
“Mukamu pucat.” Ujar Yura. Aku meringis,
“Aku ketakutan.” Kataku. Yura menyunggingkan senyum kecil, matanya menyipit,
“Selalu.”
“Bukan salahku,” aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, “Tapi ide mama tadi memang menakutkan.”
“Untukmu, ya.”
“Maaf Kakak jadi harus tidur di sofa…” kataku.
“Kau tidak benar-benar merasa bersalah.”
“Eh? Tidak kok, aku benar-benar merasa bersalah.” Protesku. Tapi Yura menggeleng,
“Kau akan berubah keputusan kalau kau benar-benar menyesal.”
Hening.
“Aku… aku ganti baju saja.” Aku segera masuk ke kamarku dan menutup pintu. Aku tidak mungkin merubah keputusan dan berbagi kamar dengan Yura. Itu tidak mungkin. Aku tidak akan bisa tidur. aku bisa gila.
Mungkin Yura benar, aku tidak benar-benar menyesal ia harus tidur di sofa.
-bersambung-
a/n: banner baru~ bosen sama banner yg lama lol dan gw memutuskan untuk ngasi sneak peak buat chapter 31 minggu depan~ mari kita nantikan bersama2 ueheheheh~