Tidak biasanya Youngmin hyung meneleponnya, apalagi di waktu selarut ini. Haknyeon mengerjapkan mata, sedikit tidak percaya ketika melihat jam dinding kamarnya menunjukkan angka sebelas. Sejak ia bertukar kontak dengan Im Youngmin, mereka selalu mengobrol melalui pesan pribadi. Karena itulah Haknyeon merasa aneh ketika melihat nama Im Youngmin muncul di layar ponsel pintarnya.
Joo Haknyeon masih berbaring di ranjang ketika lisannya berkata, “Dengar apa, hyung?”
“Aku baru saja diberitahu Jonghyun kalau Kang Dongho mengalami musibah.”
Mendengar nama Kang Dongho disebut, Haknyeon otomatis terlonjak dari posisi berbaringnya. Jantungnya terasa seperti baru saja diremas kuat-kuat di balik rongga dadanya. Haknyeon yakin sedetik lalu ia sempat menahan napas mendengar ucapan Youngmin hyung. “Apa? Musibah bagaimana, hyung?”
“Ayahnya mengalami kecelakaan, keadaannya cukup parah,” suara Youngmin di seberang sana terdengar murung, “Dongho langsung kembali ke Jeju malam ini. Kuharap ayahnya baik-baik saja.”
Haknyeon terdiam cukup lama, menatap dinding di hadapannya dengan wajah kosong. Padahal beberapa minggu lalu Dongho hyung terlihat begitu menikmati liburannya di Jeju, kampung halamannya. Healing time, begitu katanya saat Haknyeon bertanya apa yang dilakukannya selama waktu senggang yang diberikan sebelum mereka harus mengikuti jadwal latihan untuk konser terakhir. Mereka sempat bertemu beberapa kali saat Haknyeon pulang ke Jeju. Masih teringat jelas oleh Joo Haknyeon kala Dongho mengajaknya makan malam di rumahnya bersama keluarga besarnya. Ayah Kang Dongho juga ada di sana waktu itu, sehat walafiat dan tak kekurangan satu apapun.
Bagaimana bisa…
Bagaimana bisa ini semua terjadi?
“Haknyeon-ah? Joo Haknyeon! Kau masih di sana?!”
Suara Im Youngmin di seberang sana membuyarkan lamunan Haknyeon. Ada sesuatu yang aneh dari nada bicara pemuda itu saat memanggil Haknyeon, seolah ingin memberitahu sesuatu yang penting. “Aku masih di sini, hyung.”
“Ayah Dongho…,” suara Youngmin terdengar janggal di telinga Haknyeon hingga ia harus berkonsentrasi untuk mendengarkan lanjutan kalimatnya, “Ayahnya tidak bisa diselamatkan.”
.
.
. Haknyeon tidak menunggu hingga pagi menjelang untuk memesan tiket pesawat paling pagi yang akan berangkat ke Jeju. Ia sudah menghubungi ibunya malam itu juga, meminta beliau untuk mempersiapkan setelan jas serba hitamnya. Haknyeon sudah bersumpah tak akan memakai pakaian itu lagi karena pemakaman ayahnya adalah pemakaman terakhir yang akan ia hadiri. Namun siapapun tahu bahwa tak ada yang bisa menolak suratan takdir. Tidak dirinya, tidak juga Kang Dongho.
Sepanjang perjalanan, Haknyeon tak dapat mengenyahkan kekhawatiran di benaknya. Selama ini ia tak pernah melihat Dongho hyung menangis. Ia selalu menjadi penguat untuk mereka semua, untuk Haknyeon. Dongho hyung adalah orang pertama yang akan menepuk pundaknya ketika ia merasa sedih dan terpuruk. Pemuda itu akan menjadi yang paling sering memukul kepalanya jika Haknyeon mulai menyerah pada keadaan. Dongho hyung tak pernah bosan mengulurkan tangan padanya saat Joo Haknyeon terjatuh. Dia yang dalam diam memuji kelebihannya ketika Haknyeon mulai membenci dirinya sendiri.
“Kau terlalu cepat menyerah. Bersemangatlah, Joo Haknyeon.”
Tanpa ia sadari, Kang Dongho sudah menjadi sumber kekuatannya. Kekuatan yang membuatnya bangkit, membuatnya bisa menghadapi hari tanpa perlu menyembunyikan wajah dari dunia. Dan selama ini Haknyeon selalu khawatir jikalau ia tak diberi kesempatan untuk membalas kebaikan pemuda itu.
Sekarang, ia tahu gilirannya sudah tiba. Haknyeon akan menjadi kekuatannya, meskipun itu adalah hal yang mustahil dilakukan oleh orang yang mudah putus asa seperti dirinya.
.
.
. Hal pertama yang dilihatnya begitu menginjakkan kaki di rumah duka adalah Kang Dongho. Sosoknya yang biasanya terlihat begitu mengintimidasi kini tertunduk lesu di sudut ruangan. Haknyeon bergegas menghampiri, berlutut di depan pemuda itu sebelum memerangkapnya dalam sebuah pelukan. Tubuh Dongho hangat sekaligus dingin; Haknyeon tanpa sadar nyaris gemetar ketika menepuk punggung pemuda itu. Wajah Dongho terbenam di pundaknya, napasnya terputus-putus seolah menahan isak. Haknyeon tahu betapa sulitnya bagi Kang Dongho untuk tidak menangis. Ia selalu terlihat kuat dan tegar, menyembunyikan segala ketakutan dalam hatinya. Haknyeon tahu, dia sangat tahu.
Ia pernah berada di posisi yang sama dengan Dongho-ia tahu semuanya.
“Hyung,” suara Haknyeon mulai terdengar bergetar, tetapi ia berusaha kuat demi Dongho hyungnya, “Dongho hyung, aku di sini.”
Haknyeon merasakan lengan Dongho semakin erat memeluknya.
“Aku nggak akan kemana-mana, hyung.”
Lamat-lamat, ia bisa merasakan sesuatu yang basah menyentuh lehernya. Haknyeon terkesiap, tetapi ia sama sekali tidak mengatakan apapun. Ia masih berlutut dalam diam, membiarkan Dongho bersembunyi di pundaknya selama yang ia inginkan. Dongho percaya padanya; dan dia, Joo Haknyeon, tak akan mengingkari janji itu.
.
.
. “Bagaimana rasanya-setelah dia pergi?”
Kepalanya mendongak, tatapannya jatuh ke langit gelap tanpa bintang. Angin yang berhembus menuju laut membuat tubuh Haknyeon menggigil, tetapi Dongho dengan cepat menyampirkan jas ke pundak lelaki yang lebih muda itu.
“Hampa,” Haknyeon menjawab, senyumnya terulas perlahan. Dirapatkannya jas milik Dongho sebelum menoleh pada pemuda di sampingnya. Mata gelapnya masih menatap lurus ke tengah lautan. “Tapi kau nggak akan menyesali apapun karena kau sudah menghabiskan banyak waktu bersamanya hingga saat terakhir.”
“Aku menyesal, Haknyeon-ah. Aku…tidak menghabiskan waktu bersamanya hingga saat terakhirnya.”
Joo Haknyeon menunduk, tahu betul apa yang diucapkan oleh Dongho. Bisa dirasakannya penyesalan yang begitu pekat dalam ucapan pemuda itu, tetapi ia tak tahu harus melakukan apa. Haknyeon menghela napas berat, kehilangan kata-kata. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk meraih tangan pemuda itu dan menggenggamnya begitu erat di kedua tangannya yang lebih kecil.
“Kau tahu, dia bangga padamu. Kau sudah berusaha keras hingga saat terakhirnya. Dia sangat, sangat bangga padamu, Dongho hyung. Aku tahu,” Haknyeon menatap Dongho lurus-lurus, “Kau terlalu cepat menyerah,” lalu pemuda itu terkekeh.
“Hei, itu kata-kataku,” balas Dongho, akhirnya tersenyum. Sedetik, Haknyeon sempat terkejut sebelum kehangatan sontak memenuhi rongga dadanya. Rasa senang yang begitu membuncah membuat pemuda itu refleks melingkarkan lengan di tubuh Dongho dan memeluknya erat. Ia bisa mendengar Dongho terkesiap, tetapi Haknyeon tak melepaskan pelukannya sampai beberapa detik kemudian. Senyumnya begitu lebar hingga kedua kelopak matanya menyipit membentuk bulan sabit.
“Hehe, aku juga bisa seperti Dongho hyung, kok. Aku nggak akan kalah dari Dongho hyung,” ujar Haknyeon.
Kang Dongho hanya bisa terkekeh sembari mengusap rambut Haknyeon, dalam hati merasa begitu bersyukur karena takdir telah mempertemukannya dengan anak lelaki paling kuat yang pernah dikenalnya.
Karena jika tak ada Haknyeon, Dongho tahu, mungkin ia tak akan sanggup kembali.