Durarara!!/デュラララ!!
Title: Remember Our Sweet Moment
Pairing: Shizuo/Izaya
Word count: 2k+
Chapter: oneshoot
Disclaimer: Shizuo dan Izaya bukan milik saya. Tropicana Slim bukan milik saya. Jingle lagu 'Remember My Sweet Moment' juga bukan milik saya. Hell, bahkan ide ceritanya pun bukan dari saya. Haha. Yang saya punya cuma imajinasi liar tentang duo Ikeburo ini x9
Summary: Will you remember me the way I remember you. Shizuo/Izaya. Spin-off dari iklan 'Tropicana Slim', meski jadinya beda jauh. AU. All fluffy-fluffy.
a/n: muahahahahahahahaaa. Spin-off dari iklan gula sehat 'Tropicana Slim'. Jangan tanya kenapa. Iklan ini muncul terus di tv. Shizuo/Izaya AU. All fluffy-fluffy~ Kalo gak kuat manis, jangan baca, ntar giginya sakit saya gak nanggung, oke?
Remember Our Sweet Moment
.
.
[Will you/ remember me the way/ I remember you/ will you be the same/
the last time I saw you/you are the sweetest/
every moment with you/
is the sweetest one/]
.
.
Gedung. Pepohonan. Hamparan sawah. Mobil-mobil dan motor. Lebih banyak gedung. Orang-orang berjalan. Dan sawah lagi.
Shizuo menghela napas pelan.
Sudah lebih dari sepuluh tahun. Hell. Sudah sepuluh tahun dan sebelas bulan dan dua puluh tiga hari berlalu. Sudah hampir sebelas tahun sejak dia meninggalkan Ikebukuro --sejak dia meninggalkan Izaya.
Kereta yang ditumpanginya melewati terowongan. Shizuo membiarkan kegelapan menyelimutinya. Suara decit roda besi dengan rel terdengar semakin jelas.
Izaya.
.
.
"Siapa namamu? Aku Izaya," bocah kecil dengan rambut hitam itu mengulurkan tangan, mata merahnya berbinar.
Shizuo mengerjap.
"Hei~ Aku bertanya siapa namamu, apa kau dengar?"
Merah. Mata merah yang cantik.
"Hallo~ Ada orang di sana~?"
"Matamu.. asli?" -Shizuo kecil tidak sadar kalau dia mengucapkannya keras, buru-buru melanjutkan, "ah, maaf, maksudku.. uh, matamu berwarna merah dan aku belum pernah lihat ada orang dengan warna mata merah sebelumnya, dan.. err, aku berpikir kalau matamu sangat cantik.. AAAAH! Bukan! Bukan itu maksudku.. uh," -dia menggaruk bagian belakang kepalanya, rona merah menyembur di wajah polos Shizuo.
Izaya melebarkan matanya sepintas, tapi kemudian tertawa lepas, "Ahahahahahahahahaha!" -suara tawanya renyah, dan Shizuo langsung memutuskan kalau dia menyukainya, "Well, ya, ini warna mata asli. Ibuku punya mata merah yang sama," dia menjelaskan, masih dengan cengiran kecil, "kau tahu, kau orang pertama yang bilang kalau mataku cantik,"
Shizuo, masih dengan wajah yang panas, mengumam pelan, "tapi itu benar,"
"Jadi~ namaku Izaya. Orihara Izaya," cowok itu mengulang, tangan kecilnya kembali terulur, "dan kau, Tampan?"
Kali ini Shizuo jelas merasa kalau wajahnya terbakar. Tampan? "Shizuo," -dia meraih tangan Izaya; tangan Shizuo sedikit lebih besar, dan telapak tangan Izaya terasa sangat lembut di tangannya, "Heiwajima Shizuo,"
Senyum Izaya selanjutnya adalah senyum paling -paling manis yang pernah Shizuo lihat, "Ja, salam kenal, Shizu-chan~"
.
.
Cahaya muncul di ujung, dan dalam waktu beberapa detik, kereta monorel itu sudah keluar dari terowongan.
Gedung lagi.
Foto di sela-sela bukunya terjatuh, dan Shizuo membungkuk kecil untuk mengambilnya. Pertemuan pertamanya dengan Izaya terjadi saat dia berada di kelas empat; gurunya memperkenalkan siswa pindahan dari Shibuya, dan meminta Shizuo untuk mengantarnya berkeliling. Acara 'mengantar berkeliling' Shizuo dan Izaya berlanjut. Apartemen Izaya hanya beberapa blok dari rumahnya, dan hampir setiap pulang sekolah mereka berdua selalu berjalan bersama. Izaya akan bercerita kesana-kemari, Shizuo sesekali menambahi dan ikut tertawa bersamanya, dan Kasuka -adiknya yang sekolah di sekolahan yang sama- berjalan di antara mereka sambil mengulum es stick-nya. Selalu seperti itu.
Shizuo berdecak kecil, memandang foto di tangannya -fotonya dan Izaya.
Izaya, tersenyum lebar dengan tangan menunjuk lambang 'peace'; dan Shizuo, dengan tampang merengut, mencoba meloloskan diri dari rangkulan lengan Izaya di pundaknya. Itu diambil saat acara perkemahan di SMP. Shizuo mengenakan kemeja putih -seragamnya; dan Izaya dengan gakuran hitam yang tidak terkancing, menunjukkan kaos yang sewarna dengan warna matanya di balik gakuran itu.
Bahkan setelah masuk SMP pun mereka tidak terpisahkan.
.
.
"Shizu-chan~ dingin~~"
Yang dipanggil cuma bergeser sedikit dari tempatnya duduk -uh, batang gelondongan kayu yang dia rubuhkan sebagai pengganti kursi, "Di mana jaketmu? Kuambilkan,"
Izaya melempar tatapan gelinya ke Shizuo, "Aah~ Shizu-chan tidak romantis! Kalau keadaan begini itu, mestinya kau menawarkan jaketmu padaku! Bukannya mengajukan diri untuk mengambilkan jaket, dodol. Pantas tidak ada cewek yang mau denganmu, dasar protozoan,"
"Ngaco," Shizuo kembali duduk, melempar kayu kering terdekat ke kobaran api unggun di depannya. Lidah api itu membesar sesaat, sebelum kembali seperti semula, "memangnya kau cewek, huh?"
"Menurutmu?"
Shizuo melirik teman duduknya itu sekilas, "Entah. Lagipula aku belum pernah lihat cukup bukti untuk tahu kalau kau cowok,"
Cengiran kecil di ujung bibir Izaya, "Mau kutunjukkan buktinya sekarang, Shizu-chan~?"
"Berisik," -Shizuo melepas jaket biru tebalnya dan melemparkan dengan asal ke arah Izaya. Dia kemudian menggosok-gosokkan telapak tangannya di depan mulut, mencoba menghangatkan diri dengan cara lain.
Izaya terpana sejenak. Pelan, ujung bibirnya terangkat membentuk seulas senyum, "Ah~ Aku selalu tahu kalau kau itu sebenarnya baik, Shizu-chan~" -dia memasukkan lengan kanannya, kemudian lengan kiri, dan bau Shizuo menyelimutinya. Jaket Shizuo jelas kebesaran di tubuh ramping Izaya. Ujung lengannya hampir menutup semua tangan cowok berambut hitam itu, "Huumm~ Hangat~"
"Baguslah,"
Malam itu, bulan tinggal separo. Bintang-bintang terlihat jelas, dan dari atas gunung tempat mereka berkemah, gemerlap lampu kota Ikebukuro di bawah sana tampak begitu indah. Anak-anak kelasnya yang lain sudah masuk ke tenda lebih dulu. Kadota, yang terakhir meninggalkan mereka berdua, hanya mengangguk sekilas pada Shizuo sebelum beranjak ke tendanya, menggumamkan sesuatu seperti, 'Jangan terlalu malam,' dan 'Kalau kalian memutuskan untuk melakukannya di sini, jangan terlalu berisik,' yang ditangapi Shizuo dengan lemparan kerikil yang tepat mengenai pundah cowok tinggi itu. Izaya cuma melambai.
"Ne, Shizu-chan,"
"Hm?"
Izaya bergeser merapat ke Shizuo. Cowok yang lebih besar darinya itu menatapnya heran, tidak tahu kenapa tiba-tiba Izaya mendekat dan menyandarkan kepalanya di bahu Shizuo. Aroma vanilla, Shizuo langsung mengenalinya. Rambut halus Izaya bersentuhan dengan wajahnya, dan dia mencium bau vanilla yang samar. Shizuo diam di tempatnya, dan Izaya juga tidak beranjak dari posisi itu.
Tangan Izaya -yang tertutup sarung tangan bulu-bulu berwarna merah polkadot- meraih lengan Shizuo, merapatkan dirinya lagi, "Di sini lebih hangat,"
Spontan, Shizuo melepaskan lengannya dari genggaman Izaya. Sepintas Izaya berpikir bahwa mungkin Shizuo merasa tidak nyaman dengannya; dia sudah bersiap untuk melompat mundur kalau-kalau Shizuo mengangkat tangan untuk memukulnya. Ini Shizuo yang kita bicarakan, dan sampai sekarang Izaya masih tidak bisa memprediksi langkahnya.
"Kemari," -Izaya sempat melebarkan matanya ketika kemudian tangan besar Shizuo menggenggam pundaknya, membawanya lebih dekat pada Shizuo. Kepala Shizuo menyandar di atas kepalanya, dan Izaya merasa tubuhnya jauh lebih hangat dalam dekapan Shizuo, "Begini masih dingin?"
Izaya menggeleng.
.
.
Shizuo berdecak kecil.
Dia ingat ketika keesokan paginya Shinra berteriak-teriak mendapati dua sobatnya -Izaya dan Shizuo- tertidur di samping arang bekas api unggun dan berpelukan satu sama lain. Shizuo tidak pernah merasa sebegitu inginnya menyumpal mulut Shinra sebelumnya.
Lampu di dekat speaker di sudut-sudut kereta berkedip merah sebentar, sebelum kemudian suara wanita terdengar dari sana, mnyebutkan bahwa sepuluh menit lagi kereta akan berhenti di stasium Ikebukuro dan harap memperhatikan barang bawaan masing-masing supaya jangan sampai tertinggal.
Shizuo menyelipkan kembali foto yang dipegangnya di antara lembaran novel yang belum selesai dia baca. Senyum kecil tersungging di bibirnya.
Sepulu -ah, sebelas tahun sudah semua itu berlalu. Shizuo tidak pernah tahu lagi bagaimana rupa sahabat dekatnya itu sekarang. Mereka masih berkirim e-mail, ya. Tapi tidak dengan webcam (Shizuo tidak mau mengakui kalau dia tidak bisa menggunakan perangkat elektronik satu itu, meskipun sepertinya Izaya sudah tahu). Hari ini. Di pesan yang dia kirim dua hari yang lalu, dia bilang pada Izaya kalau hari ini -siang ini- dia akan kembali ke Ikebukuro. Balasan Izaya hanya gambar tiga hati yang berjejer. Shizuo menangkap maksudnya: 'Oke. Aku akan menunggumu di stasiun. Miss you, Shizu-chan~'.
Masih penuh dengan basa-basi. Izaya tidak berubah.
.
.
Kelas tambahan musim panas.
Shizuo tahu kalau namanya pasti masuk dalam daftar anak-anak yang wajib mengikuti kelas tambahan, bagaimana pun juga, dia sadar kalau otaknya memang pas-pasan. Kadota juga ikut kelas tambahan -memaksa ikut, lebih tepatnya- karena dia bilang dia mau mengejar salah satu anak cewek kelasnya dan berniat menyatakan rasa sukanya di akhir minggu, bukan karena ada nilai merah di jejeran kertas ulangannya. Shinra tidak ikut, tentu saja, bersiap mengahbiskan liburan musim panas berdua dengan 'cewek idaman'-nya. Dan Izaya..
"Nyaaaa~ Shizu-chan! Lebih kencaaaaaang~!"
Shizuo menghela napas panjang, merutuk dalam hati, meskipun dia tetap menuruti permintaan kawan dekatnya itu. Cowok berambut pirang itu mengayuh sepedanya lebih cepat.
"Heh, kau!" -dia berkata di sela-sela napasnya, "Aku tahu ranking-mu ada satu tingkat di bawah Shinra, tapi aku tidak tahu kenapa kau.." -ugh! Tanjakan. Shizuo terengah-engah mengayuh sepedanya. Kalau dia sendirian mungkin mudah, tapi sekarang ada Izaya yang duduk manis di boncengan belakangnya.
Posisi duduk Izaya memang sengaja terbalik. Punggungnya bersentuhan dengan punggung Shizuo, "Kenapa aku apa, Shizu-chan?" dia mengulangi kalimat Shizuo yang belum sempat selesai, separo berteriak.
"Kenapa kau ada di sini sekarang, bocah-sial! Kenapa kau harus ikut kelas tambahan musim panas, huh?"
Kalau Shizuo menoleh ke belakang, mungkin dia bisa tahu Izaya sedang tersenyum lebar sekarang, "Aaah~ Aku kan hanya ingin bersamamu, Shizu-chan~ Kau bilang sendiri kalau kau akan pergi dari Ikebukuro bulan depan. Mungkin ini bisa jadi musim panas terakhir kita bersama, ne?"
"Bodoh," -turunan. Shizuo bisa sedikit bernapas lega, "Aku pergi paling cuma beberapa tahun. Ini juga hanya karena tugas dinas 'Too-san, jadi.." -jangan bilang mungkin ini yang terakhir, Izaya. Potongan kalimat terakhir diselesaikan Shizuo di pikirannya.
"Jadi?"
Shizuo mengayuh sepedanya lebih kencang, "Jadi kenapa kau memaksa ikut membonceng denganku, Izaya? AArgh! Gara-gara kau kita jadi terlambat ini!"
"Lah," -Izaya melempar kepalanya ke belakang, bersandar di pundak lebar Shizuo, "Kan kau sendiri yang telat bangun tadi. Kasuka-chan bilang kau tidak mau bangun,"
Shizuo menggerutu, menggumamkan kata-kata yang terdengar seperti 'Sial', 'Kutu-tengik', dan lebih banyak 'Sial'.
"Hei, Shizu-chan~" -mereka melewati jalanan taman sekarang, pohon sakura ada di sisi kiri dan kanan dan kelopak bunganya yang berwarna pink berjatuhan tertiup angin, "Berapa lama kau akan pergi?"
"Entah. Mungkin satu-dua tahun,"
"Lama, ya?"
Shizuo merasa Izaya beringsut di belakangnya, "Tidak selama yang kau bayangkan, bodoh. Waktu akan berjalan cepat dan sebelum kau sadar, aku sudah akan kembali ke sini. Memangnya kenapa, huh?"
Izaya menggeleng, rambut hitamnya bergesekan dengan seragam biru Raira Shizuo, "Biasanya orang-orang akan melupakan orang lain kalau mereka meninggalkan salah satunya pergi."
Pembicaraan yang berputar ala Izaya, tapi Shizuo sudah belajar cara memahaminya sepanjang dia bergaul dengan Izaya. Dia melepaskan satu genggamannya di setiran sepeda untuk menepuk kepala Izaya pelan, "Kau tahu aku tidak akan melupakanmu,"
"Well, orang-orang bisanya juga bilang begitu,"
Shizuo berdecak, "Kau percaya padaku atau percaya pada orang-orang itu, sih?"
Tawa renyah Izaya datang di detik berikutnya, "Kau tahu aku hanya percaya pada diriku sendiri, Shizu-chan~" -s-epeda Shizuo berbelok di pertigaan lampu merah. Di ujung jalan, gerbang Akademi Raira sudah terlihat. Izaya memejamkan mata, membiarkan sepoi-sepoi angin mengelus rambutnya. Dia melepas helaan napas panjang,
"Satu sampai dua tahun, ya?"
"Hm,"
"Kau tidak akan melupakanku?"
"Hm,"
"Janji, Shizu-chan?"
Shizuo tertawa kecil. Pembicaraan mereka terdengan sangat kekanak-kanakan, "Demi semua susu-susu di dunia ini, Izaya, aku janji tidak akan melupakanmu. Lagipula sekarang kan ada handphone, ada internet, ada e-mail. Seharian telepon denganmu juga bisa, bodoh,"
Izaya membalasnya dengan jitakan di kepala Shizuo, "Kau dan fetish anehmu pada susu!"
"Hei! Susu itu minuman paling enak di dunia, kau tahu?"
Izaya hanya tertawa lepas, "Oke. Aku akan menunggumu, monster susu!"
Dan di telinga Shizuo, ucapan Izaya barusan itu terdengar berarti: 'Oke. Aku juga tidak akan melupakanmu. Aku akan menunggumu sampai kau kembali.'
.
.
Kereta yang ditumpanginya berhenti.
Shizuo berdiri, mengambil kopernya dari bagasi di atas tempat dia duduk. Cowok dengan baju bartender itu mempersilakan ibu yang berpapasan jalan dengannya untuk keluar lebih dulu, baru kemudian dia menyusul. Stasiun Ikebukuro masih sama seperti terakhir kali dia lihat. Masih ramai. Masih banyak orang berlalu-lalang.
Cowok itu mengambil sebatang rokok dari sakunya, berjalan ke ruangan dengan lambang rokok di ujung stasiun, dan menyalakan koreknya di sana. Dari situ, matanya menyapu semua bagian stasiun.
Rambut hitam. Tubuh yang ramping. Pose seorang yang tidak pernah kalah. Jaket hoodie hitam dengan bulu-bulu cokelat panjang. Celana hitam. Dua cincin di jarinya. Cowok itu menoleh ke arah Shizuo: mata merah yang cantik.
Tidak salah lagi.
Shizuo melambai, "I-ZAAAAA-YAAAAAAAAAAAAA!"
.
.
owari
omake (dari scene iklan):
.
.
Shizuo melirik cangkir berisi kopi hitam yang dipegang Izaya, "Hei," -dia membuka tasnya dan mengeluarkan bungkusan kecil gula pasir 'Tropicana Slim', "Aku bawa gula, kau mau?"
Gelas Shizuo berisi susu putih, dan Izaya tahu dengan pasti berapa bungkus gula yang dia campurkan di sana. Saat cowok perokok itu menawarkan gula yang sama padanya, dia hanya mengernyit. Kepalanya menggeleng pelan, "Aku tidak suka manis, Shizu-chan,"
"Oh,"