Namida no Aoi Virus part 2

Feb 18, 2012 21:48


Title                 : Namida no Aoi Virus

Author             : Yoshikumi Ai

Genre              : Comedy, Friendship, & little bit Romance (boong! Banyak ding!)

Rating             : G

Type                : Twoshoot

Disclaimer       : I own Misaki #plak

Cast                 :

Takahata Misaki X Yoshikumi Ai X Skandar Keynes (main)

Kamehoshi Yuukou X Chinen Yuri (slight banget)

Amai Sora

Nakajima Kento, Kikuchi Fuma

And etc.



Ken’s POV

“Sorry, I can’t made up with you. I hope you understand.” nut.. nut… nut… Ia menutup teleponnya sebelum aku sempat bertanya lebih jauh. Kemudian, pikiranku melayang…

“Sorry my love, I can’t do it anymore. I’ve got tired for all of this long distance love stuff. I hope you understand. I’m so sorry.” Itulah yang kukatakan padanya beberapa bulan yang lalu.

Dan seiring berjalannya waktu, aku tersadar. Aku sadar bahwa aku tidak bisa memulai hariku tanpa melihatnya via Skype. Makan siangku tak pernah nikmat sebelum membaca e-mail darinya. Dan aku tak pernah bisa tidur dengan nyenyak sebelum bertegur sapa dengannya lewat YM! She’s really someone who I can’t forget. And all of this, I really miss her.

Hmm… penyesalan memang datang terlambat. Tapi sebelum aku kembali ke Inggris aku harus tahu, why she act like this? Karena aku benar-benar mengenalnya, aku tahu dia tidak akan mengangkat telepon dariku. Apalagi membalas e-mail dan sms, aku tak akan berharap setinggi itu. Time to spy at her…

Selama seminggu penuh, Ken mengintai kehidupan Ai. Bahkan ia sempat menculik Yuukou untuk diinterogasi. Dan dari semua hal itu, ia sampai pada satu kesimpulan yang sangat akurat. Ai menyukai Misaki.

Karena itu, ia memutuskan untuk menemui Misaki. Dan disinilah kedua pria itu berada. Di sebuah café di pelataran Tokyo Tower. Mereka duduk berhadap-hadapan sambil menikmati minuman masing-masing.

“Jadi, apakah kau tahu?” Tanya Ken.

“Tentang?”

“Ai menyukaimu. Dan ia melihatmu lebih dari sekedar teman.” Ken menegaskan maksudnya.

Misaki menghela napas dan memainkan sedotan di atas jusnya. “Aku tidak berharap ini akan terjadi.”

“Tapi semua sikap manismu menyebabkannya.” Ken masih berbicara dengan tenang, walaupun ia menyembunyikan amarahnya.

“Itu hanya reflek. Bagaimana mungkin kau tidak bersikap seperti itu jika melihat seorang gadis terluka?” pertanyaan ini membuat dada  Ken sakit. Bagaimana pun juga, ia adalah orang yang melukai Ai.

“I just want to make it clear. Do you love her?”

“I do. But I can’t tell her.”

“Why?”

“There’s a secret that will hurt her.”

Ken benar-benar dipuncak rasa penasarannya. Ia harus menyelesaikan masalah ini sampai clear. Karena itu ia mendesak Misaki untuk berbagi rahasia itu dengannya.

Rahasia yang membuatnya …

... mengerti alasan akan semua hal yang dilakukan Misaki

… mengasihani Misaki

… ingin berada disisi Ai dan melindunginya

… harus memutuskan satu diantara dua pilihan yang sulit

~青い~

Karena paksaan Yuukou dan Misaki, akhirnya Ai mau mengantar keberangkatan Ken.

Ken langsung berdiri ketika Ai datang menghampirinya. “Ken, have nice journey… I will miss you.”

“My love,.. mm I mean Ai, I’ll miss you to. If you don’t mind, please give me a call sometimes.”

“Un”

Tanpa peringatan, tiba-tiba Ken memeluk Ai. “Thanks for giving me many wonderful experience. But I’ll start my journey with another girl, although I can’t forget you. I hope you also begin to catch your love. Make sure you don’t regret anything…” kemudian Ken melepaskan pelukannya. Mengusap air mata yang berjatuhan di pipi gadis yang masih dicintainya itu. Dikecupnya kening Ai, “Sayounara, My Love…” dan ia pergi.

Ai’s POV

Catch your love…

Arrgh.. kata-kata itu membuatku galau. Bukannya aku nggak mau berusaha untuk ngedapetin cintanya. But it seems like he never love me.

Aku ingin menyatakan cintaku padanya tanpa membuat hubungan kami canggung. But I know, it’s impossible. But, I can’t be like this forever. Ah~ all of this made me so confuse.

Kriett…

Tanpa kulirik pintu, aku tahu siapa yang mengunjungiku saat ini. Kakakku, satu-satunya orang di tumah ini yang tak akan mau repot-repot mengetuk pintu.

“Kau nggak punya otak ya?” tuduhnya to the point.

Please deh… baru dateng malah ngajak ribut. ”Apa masalahmu?” jawabku malas. Kualihkan pandanganku darinya.

“Kenapa kau putuskan Ken?”

“Itu urusanku.” Tukasku. Aku mulai merasa tidak nyaman, dia mau melewati dan mengobrak-abrik privasiku.

“Kamu mungkin nggak bisa dapet cowok kayak dia lagi. Seumur hidupmu.” Katanya penuh penekanan.

“Ya iyalah! Orang dia cuma satu di bumi ini.” Jawabku sekenanya.

“Dia itu pinter, cakep, baik, perhatian….bladyybyahbyah…”

Karena telingaku mulai risih mendengar dia menyanjung Ken setinggi langit, aku bangkit dari tempat tidurku dan menata rambutku yang acak-acakan.

“Kalau gitu kamu aja yang pacaran sama dia, aku ikhlas!” dan aku meninggalkan kakakku yang masih shock dengan perkataanku. Good bye, Bro!

Kulangkahkan kakiku menuju gazebo di atap, tempatku menenangkan diri jika sedang galau seperti sekarang ini. Tapi, ternyata kedua orang tuaku sudah menempati tempatku.

Dengan penuh keisengan, aku menguping pembicaraan mereka. Siapa tahu mereka sedang mempertimbangkan kenaikan uang sakuku? Kan lumayan...

“Sudahlah Okaasan, ikhlaskan saja.”

“Tapi Otoosan, padahal tinggal selangkah lagi kita punya mantu Ken. Ai malah... hiks... hiks...“ dengan mesra Otoosan memeluk Okaasan. Olala, aku pingin cepet-cepet nikah kalau liat yang beginian terus.

“Okaasan, kita harus menghormati keputusan Ai. Karena bagaimanapun juga dia lah yang akan menikah nantinya.” Betul itu, Okaasan! Otoosan emang sayang aku!

“Tapi Otoosan...”

Aku menghela napas. Lebih baik aku mati daripada melihat Okaasan menangis. Apakah seburuk itu Okaasan ingin memiliki Ken sebagai anak? Aku ingin membahagiakan Okaasan, tapi dengan caraku sendiri. Dan aku terlalu egois karena tidak ingin mengorbankan kebahagiaanku.

Kami-sama, help me...

Tanpa sadar kaki ini membawa pergi tubuhku... melarikan diri... menjauh... dari isak tangis Okaasan.

~青い~

Hujan deras mengguyur bukit yang hijau itu. Perlahan-lahan Misaki berjalan menuju puncaknya. Ia memang harus hati-hati, karena lumpur mulai mengalir turun dan angin tak pernah berhenti mencoba untuk menerbangkan payungnya.

“Ayo pulang!” ajaknya pada sesosok gadis yang tertidur d tengah hujan badai. “Ai, ayo pulang!” ujarnya lebih keras dari sebelumnya.

“Ai!” rasa kesal tercampur khawatir membuatnya megguncang tubuh Ai. Ia takut jika gadis di depannya ini pingsan, atau lebih buruk lagi. Mati.

Ai mengerjap-ngerjapkan matanya. “Eh, senpai! Kenapa senpai ada di sini. Huaaahmmm sepertinya aku tertidur cukup lama.”

Jdek! Misaki tak habis pikir. Bagaimana mungkin seseorang dengan santainya tertidur disini? Sepertinya ada yang salah dengan gadis ini. Misaki meraba kening Ai dengan cemas. Dan seperti dugaannya, Ai demam tinggi. Inilah penjelasan paling masuk akal dari sikap gilanya.

“Ayo ke apertemenku!” dengan patuh Ai menyambut uluran tangan Misaki dan mengikutinya.

“Asyik! Ayo, aku udah kangen ama Onii-chan. Kemarin pas terakhir kali aku main dia masih di tempat kerja kan?” Ai merasa bersemangat untuk bertemu kakak Misaki satu-satunya itu. Selama ini Misaki memang tidak tinggal bersama orang tuanya, tapi bersama kakaknya.

“Onii-chan lagi ada tugas keluar kota.” Jawab Misaki.

“Yah, padahal dia udah janji buat ngajarin aku.” Ai terus mengoceh tanpa memperhatikan Misaki yang sangat khawatir akan keadaanya.

“Masuklah.” Kata Misaki setelah membuka pintu apartemennya. “Cepat mandi dan ganti baju! Kau harus segera minum obat dan istirahat. Aku akan menelpon orang tuamu.” Lanjutnya. Ai mematuhi semua perintah senpainya itu.

Setengah sadar Ai menerima pakaian yang diberikan Misaki. Ia berusaha sangat keras untuk menahan rasa sakit dikepalanya. Kemudian seperti zombie yang baru bangkit, ia mandi, minum obat dan menyembunyikan dirinya dibalik kehangatan selimut Misaki.

“Ne, senpai... tell me something.” Rasa penasaran mengalahkan semua rasa sakitnya. Karena ada sesuatu yang harus diselesaikan malam ini juga.

“Apa?” dengan telaten Misaki mengganti kain pengompres di kening Ai.

“Kenapa kau tak punya pacar?”

Mendengar pertanyaan ini, wajahnya mengeruh. Sepertinya ada sebuah wilayah tersembunyi di dalam hatinya yang diusik Ai.

“Senpai, kita sahabat bukan?” Ai mengubah raut mukanya dari merajuk ke memelas. Raut muka yang selalu berhasil meluluhkan semua orang. Ditambah lagi aksi tangannya yang menarik-narik lengan baju Misaki.

“Oke, aku akan cerita.” Wajah Ai berubah cerah. Senyum kemenangan tersungging diwajahnya. Ia membenahi posisi tidurnya dan menggenggam tangan Misaki. Ia siap untuk mendengarkan.

“Aku punya seorang kakak yang selalu dapat diandalkan dan selalu melindungiku dari segala macam bahaya. Kau pasti tahu siapa yang kumaksud...” ia berhenti untuk mengambil napas dan mengumpulkan kembali memori lama yang berceceran.

“Kemudian saat aku SMP, kakakku harus melanjutkan kuliah ke Tokyo. Tentunya ia pergi meninggalkanku dan dunia bawah tanah Yokohama mulai menyentuhku.Orang tuaku terlalu sibuk sehingga lembah hitam itu dengan mudah menjeratku...” Ai tercekat, ia meremas lembut tangan Misaki. Mencoba memberi kekuatan untuk orang tersayangnya itu.

“Dan memberiku hadiah yang akan selalu kusesali. Virus HIV.”

Deg!  Hati Ai bagai dirambati semut. Perasaan tidak nyaman segera menyerangnya. Ternyata orang yang disukainya adalah orang yang berbahaya. Bagaimanapun juga, obat HIV AIDS belum ditemukan. Tapi segera ia tepiskan semua pikiran bodoh itu. ‘Aku mencintai senpai apa adanya. Titik!’ pikirnya.

“Apa orang tuamu tahu?”

“Tentu saja tidak, aku belum siap menghancurkan hati mereka.”

“Jadi itu alasanmu?”

“Iya.” Angguknya mantap. “Bagaimana mungkin aku sanggup melukai perasaan orang yang kucintai?” wajahnya memerah seperti menahan tangis, tapi ia segera mengendalikan diri. “Sekarang waktunya tidur! Akan kubangunkan jika orang tuamu datang. Oyasuminasai...” katanya seraya mengecup kening Ai dan mematikan lampu.

“Senpai! Pertanyaan terakhir!”

“Ya?”

“Mengapa kau memberitahuku?”

“Karena kau sahabatku.” Yah... itu menjawab semua pertanyaan.

~青い~

3 tahun kemudian...

Virus HIV mulai  menggerogoti ketahanan tubuh Misaki. Tubuhnya yang tinggal tulang dan kulit terbaring lemah di ranjang sebuah rumah sakit. Sebenarnya ia ingin segera menyerahkan nyawanya pada malaikat maut. Tapi eksistensi semangat hidupnya membuat Misaki bergeming. Sekuat tenaga ia bertahan, hanya untuk melihat senyum Ai.

Ai, dengan segala kecerian dan kecerobohannya selalu mengunjungi Misaki. Sesibuk apa pun kuliahnya, ia tidak pernah absen walaupun hanya sekali.

Tapi kali ini, Misaki mendapat tamu yang berbeda.

“Yo! Ogenki desu ka?” sebuah sosok lama muncul di pintu kamarnya.

Misaki membelalakkan matanya tak percaya. Dan sebuah nama keluar dari bibirnya, “Keynes? What are you doing here?”

“Just call me Ken. Ada beberapa hal yang harus kubereskan disini. Dan tentu saja aku wajib menjenguk teman lamaku yang sakit bukan?”

Misaki tersenyum simpul, kemudian konsentrasinya beralih ke cincin yang terpasang indah di jari Ken. “So, you’ve got a wife?”

“Un. How about you?”

“What do you mean?”

“Apakah kau sudah menyatakan cintamu pada Ai?” Misaki menggeleng lemah. ”jadi, Ai yang menyatakan duluan? Aku tidak heran kalau ia berani berbuat seperti itu.” lagi-lagi Misaki menggeleng.

Ken menatap Misaki tidak percaya. “What is this? Kenapa kalian jadi pengecut seperti ini?”

“Aku tidak tega menyakitinya.”

Alasan macam apa itu? Pikir Ken. “Ai lebih kuat dari yang kau duga. Tak pernahkah kau bayangkan berapa air mata yang telah keluar saat ia melihat keadaanmu? Tapi itu tak membuatnya sekali pun berpaling darimu. Ia selalu kembali kesini setiap harinya.”

Jleb! Kata-kata Ken tepat mengenai sasaran. Mau tak mau Misaki harus mengakui bahwa ia tak pernah berpikir dari sudut pandang itu. Dan sekarang ia sadar, sedikit demi sedikit Ai telah belajar untuk menjadi lebih kuat. Ketakutannya sendiri lah yang membuatnya tetap bungkam

Ken melihat arlojinya. “Aku harus pergi. Ingat, penyesalan selalu datang terlambat. Sayounara!” tubuh itu lalu menghilang di balik pintu. Tapi hilangnya tubuh itu tidak membawa serta keresahan Misaki.

Pikirannya mengembara ke masa-masa yang dilaluinya bersama Ai. Senyumannya sehangat matahari pagi. Suara tawanya bagaikan melodi yang indah, mengalun lembut mengusir mimpi buruk. Tangan mungilnya selalu dapat menenteramkan hatinya yang kacau balau.

Ia sadar bahwa ia mencintai dan membutuhkan Ai. Dan ia telah membulatkan tekad untuk memberitahu gadis itu.

~青い~

Taman dibelakang Universitas Tokyo tampak sepi sore ini. Hanya ada dua gadis yang sedang mengawasi pergerakan air sungai beserta ikan-ikan di dalamnya.

“Kau harus segera mengakhiri semua ini.” Ujar salah satu gadis itu. yang diajak bicara hanya memandang kosong pada daun  yang jatuh ke sungai.

“Sudah 3 tahun kau tersiksa karena dia.”

“Amachan, bolehkah aku bilang kalau cinta butuh pengorbanan?”

“Tentu bisa, tapi kau telah berkorban terlalu banyak.”

Ai menutup matanya dan tanpa dipanggil, semua memori tentang Misaki menyerbu ingatannya. Dengan segera ia menghembuskan napas, seakan mengusir semua kenangan buruk dan berkonsentrasi pada lawan bicaranya. “Aku mencintainya. Selama ia ada di sampingku, itu sudah lebih dari cukup.”

“So, tell him!”

“I can’t.”

“Why? Is it about pride?”

“Dokter memvonis bahwa hidupnya tak akan lama lagi. If I confess, he’ll never die in peace. Bisa-bisa rohnya tidak akan mau pergi hanya gara-gara memikirkan betapa sedih aku nantinya jika ia meninggal. Padahal tubuhnya sudah tak mampu lagi.”

“Jadi, kenapa kamu nggak meninggalkannya? Cowok kan nggak cuma satu di dunia ini?”

“Senpai membuatku merasakan indahnya dunia dan mensyukuri hal-hal kecil. Membuat hatiku hangat ketika aku tahu ia menyayangiku sepenuh hati. Ia membantuku untuk menjadi lebih kuat. Dan semua itu mebuatku mampu mencintainya tanpa syarat. Setelah semua yang ia berikan padaku, bagaimana bisa aku meninggalkannya? Saat keadaanya sehat saja aku tak mampu berpaling, apalagi kini ketika ia sakit?”

“Kau memang mengalami masa-masa yang sulit ya?”

Ai hanya mengangguk membenarkan. Saat tersulit dihidupnya adalah ketika ia harus menampakkan wajah bahagia pada Misaki. Padahal hanya dengan melihat keadaanya, hatinya serasa hancur lebur. Tapi lama-kelamaan ia sudah terbiasa. “Yosh! Aku harus kuat kan, Amachan?”

“Hai, ganbarimasu!”

“Ini sudah sore, aku ada janji dengan senpai! Mata ashita!”

~青い~

“Ayolah Nii-chan, sekali ini saja…” pintaku dengan tampang memelas.

“Tidak bisa! Lihatlah keadaannya!” Ai menatap Misaki yang terbaring lemah di tempat tidur. Ia tahu energi kehidupan yang dimiliki senpainya itu tinggal sedikit. Terbukti dari ketidakmampuannya untuk berdiri. “Berjalan-jalan di taman terlalu berbahaya.”

“Aku akan menjaganya dengan nyawaku. Apakah kau tidak percaya padaku?”

Tsubasa terdiam. Matanya menerawang jauh ke masa lalu. Ia mengetahui semuanya. Tentang adiknya maupun tentang Ai, dan juga tentang perasaan mereka.

“Nii-chan, bolehkan?” Ai memotong lamunan Tsubasa.

“Berhati-hatilah!”

“Yatta! C’mon senpai! Arigatou Nii-chan!” dengan semangat Ai membantu perawat memindahkan tubuh Misaki ke kursi roda.

~青い~

“Ne, senpai… look that!” katanya sambil menunjuk bunga sakura yang bermekaran. “Kireina?”

Yang ditanya hanya cemberut. “Berhentilah memanggilku senpai! Harusnya kamulah senpaiku sekarang.” Dan itu memang benar. Setelah lulus SMA, tubuh Misaki tidak mengizinkannya untuk melanjutkan ke Universitas.

“Kireina, Senpai?” kata Ai penuh penekanan.

“Hai.” Misaki pun mengalah.

Ai’s POV

Kudorong perlahan kursi roda senpai. Tiba-tiba ada dorongan kuat yang entah datang darimana membuatku ingin memeluk senpai. Tanpa pikir panjang segera saja kupeluk tubuh ringkih senpai, dan air mataku mulai mengalir.

“What’s wrong Ai?” Tanyanya penuh kebingungan.

“Nothing. I just wanna hug you.” Jawabku random.

Perasaan nyaman ini terlalu kuat untuk kutolak. Aku berbisik dalam hati.

Wahai waktu, bisakah berhenti sejenak?

Tolong perintahkan…

Pada semua jarum jam untuk menghentikan detaknya

Pada sang mandhala untuk berhenti berputar

Pada seisi jagad untuk menghentikan aktivitasnya

Biarkanlah kami menikmati waktu yang tersisa ini…

Kesunyian menyergap, air mataku mengalir lebih deras. Membawa pergi semua kegundahan yang kutanggung selama bertahun-tahun lamanya.

Say goodbye kyou no hi no minna ni

Say goodbye to your today’s sun

Wakare wa mata au yakusokusa

Farewell is a promise that we’ll meet again

Kokoro hitotsu ni naru shunkan wo

The moment when our heart become one

Kasareru tabi ni ai ga umareru

On this long journey, love was born

Say goodbye mata tsugu aerukara
Say goodbye and we'll meet again
Wakare wa kimi omou jikan sa
Farewell is the time when I think about you
Kokoro hitotsu ni shite itsumademo
Our hearts will always be one
Bokutachi wa tsunagari au
We are all connected to each other
Thank you for your love

Yume no tsuzuki wa taeru koto naku

Keep dreaming is a thing that must always continue

Doko made datte afurete ikuyo

Even when you go nowhere

Suaraku mengalun lembut. Bersamaan dengan selesainya lagu itu, berhenti pula tangisanku. Kurasakan sebuah tarikan lemah dari senpai. Segera saja aku bersimpuh dihadapannya.

“Ada apa Ai?” tanyanya sembari menyeka air mataku penuh kelembutan.

Kuamati wajahnya. Penampilannya berubah drastis. Ia tidak tampak seperti pemuda berumur 21 tahun, tapi jauh lebih tua dari itu. Satu-satunya hal yang pernah berubah adalah pancaran matanya.

“Ada apa?” tanyanya lebih lembut dari sebelumnya.

Aku hanya tersenyum. Aishiteru, senpai. Ingin kuucapkan kata ini padanya. Aku sadar itu mustahil, aku tak akan tega membebani pikirannya. Tapi belum tentu aku masih punya waktu untuk mengatakannya. Arrgghhh… why my live is so complicated?

Kurasakan tangannya membelai rambutku. Dadaku kembali terasa sesak, kudengar nuraniku berbisik. Sekarang waktunya untuk bersikap egois, Ai. Kau tidak mungkin mampu menahan beban ini sampai kematiannya datang.

“Tell him.” Kali ini suara Amachan yang lewat dibenakku. Just tell him right now, that’s wouldn’t be so difficult. Nuraniku berbisik lagi.

“Make sure you don’t regret anything” suara Ken melintas dibenakku. Dia benar, sedikit pun aku nggak ingin menyesal. Akal sehatku mulai berpartisipasi. Aku mendongak, dan mata kami bertemu. Aku tak peduli lagi, aku akan mengatakannya.

Sebelum sempat melaksanakan niatku, sudut mataku menangkap bahaya datang. Sebuah mobil tanpa pengemudi meluncur ke arah kami.

Kuteringat janjiku pada Tsubasa Nii-chan. ‘Aku akan menjaganya dengan nyawaku’. Secepat kilat kudorong kursi roda senpai. Saat kulihat ia selamat tanpa tergores sedikit pun, kelegaan memenuhi rongga dadaku.

“Ai!!!” kejadian ini sangat cepat. Senpai berteriak, sebuah benda dingin menghantam tubuhku, dan aku melayang…

Misaki’s POV

Kulihat tubuhnya terbang untuk beberapa saat dan kemudian jatuh menghantam tanah. Kepanikan menyerangku! Kumohon Ai, tetaplah hidup. Jangan tinggalkan aku. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku merangkak perlahan menghampirinya.

“Ai…” panggilku pada tubuh penuh darah itu.

“Senpai…” wajah itu menoleh lemah padaku.

“Ai, kumohon bertahanlah…” kudekap tubuhnya.

Tapi dia hanya tersenyum dan bibirnya bergerak. Menggumankan kata yang selalu ingin kuucapkan “Aishiteru…”

Dadaku terasa sesak. Tenggorokanku tercekat. Aku tak tahu, apakah kata itu mampu keluar dari mulutku.  “Aishiteru mo…” kataku akhirnya, tanpa suara. Tapi aku yakin dia mengerti.

Senyum penuh kepuasan tersungging di wajahnya, pancaran matanya meredup sedikit demi sedikit. Pelan tapi pasti, energi kehidupannya mulai berkurang. Berkurang, berkurang, dan akhirnya habis.

“Sekarang giliranmu…” kata seseorang berjubah putih yang berdiri disampingku. Aku tahu, dia adalah malaikat mautku. Aku hanya termangu, masih mendekap tubuh Ai.

“Kau sudah tak punya urusan lagi disini!”

Ia benar. Urusanku di dunia ini sudah selesai. Dengan kesadaran penuh aku merasa tubuhku mulai terasa ringan dan semakin ringan. Terima kasih dan selamat tinggal semuanya…

Kulihat di gerbang langit, Ai menungguku dengan senyuman khasnya.

“Okaeri..”

“Tadaima…”

#終わり#

fanfiction : twoshoot, takahata misaki, ai-chan

Previous post Next post
Up