Title: I really Love Him
Rating: PG-15
Warning: Writtten in Bahasa Indonesia (sorry guys...)
Tak seperti biasanya, Hikaru datang sedikit terlambat ke studio. Aku mulai merasa cemas padanya. Kemudian dia datang, dan pak sutradara serta staf mengomel padanya. Dan Hikaru meminta maaf sebesr-besarnya. Aku baru bermaksud membelanya, namun lelucon garing Hikaru telah menghentikan omelan bapak-bapak itu. Namun aku merasa ada yang tak biasa dengan Hikaru. Dia tak menyapaku dan seakan menghindariku. Apa aku sudah membuatnya marah? Hikaru, jika kau marah, apakah aku boleh berharap? Aku berharap syuting ini segera selesai. Aku ingin bicara denganmu Hikaru…
~*~
Syuting HHS kali ini berjalan lancar. Aku dan Hikaru melambaikan tangan dan mengucapkan sampai jumpa pada audience juga para staf. Ketika sudah tak ada orang, tiba-tiba Hikaru mempercepat langkahnya dan membuatku heran.
“Oi, Hikaru, tunggu dong!” kataku, namun dia seakan tak mendengarnya, semakin mempercepat langkahnya. Dia marah, pikirku. Karenanya aku pun berusaha mempercepat langkah mengejarnya. Untunglah sebelum dia sempat menutup pintu, aku sudah berada tepat di depannya.
“Hikaru, what’s wrong?” I asked.
“’Gak ada.” Tukasnya.
“Jangan bohong! Selama syuting kau selalu berusaha menghindariku sebisa mungkin ‘kan?” kataku.
“Itu Cuma perasaanmu.” Ujarnya.
Namun aku tetap merasa dia berbohong padaku dan terus membelakangiku dan membereskan barang-barangnya secepat mungkin.
“’Gak. Aku mengenalmu, Hikaru,” ku genggam pergelangan tangannya dan menariknya menghadapku, “Kenapa kau terlambat? ‘Gak enak badan?” Aku merasa cemas padanya, namun dia menghempaskan tanganku dan berkata, “Aku baik-baik saja!” sambil meneruskan mengemasi barang dan beranjak pergi.
Aku tak mau seperti ini, karenanya aku menarik dan menghempaskannya pelan ke dinding agar dia tak kemana-mana. “Hikaru, tell me!” kataku, namun dia masih saja tak mau memandangku. Dia terus menundukkan kepalanya.
“Not-”, aku memotong kata-katanya dengan meletakkan kedua tanganku di pipinya dan memaksanya menatapku. Aku ingin melihat ekspresimu Hikaru. Aku ingin tahu sebenarnya apa yang kau rasakan. Namun aku sangat terkejut ketika aku melihat wajahnya, matanya sembab.
“Hikaru, apa kau habis menangis?”
“Nggak!” Dia berteriak dan berontak. Namun aku tak mau melepaskannya sampai aku mendapat jawaban yang jelas.
“Who makes you cry? Tell me Hikaru!” tanyaku sambil mengeratkan cengkramanku padanya, meskipun aku benci mengakui bahwa kemungkinan akulah yang membuatnya menangis.
“Nobody, And I didn’t cry. So, let me go, please.”
Dia terus menolak memberitahuku.
“Kenapa kau bohong?”
“’Nggak!”
“’Trus kenapa kau ‘gak mau menatapku?”
Mendengar pertanyaanku itu, Hikaru terdiam.
“Kau menyembunyikan sesuatu dariku Hikaru, kau selalu seperti itu… Setiap kali ada masalah kau akan menghindari mataku.” Kataku dan aku mulai membicarakan beberapa kebiasaannya yang sudah sangat kuhapal selama ini. Aku adalah orang yang tak akan berhenti sebelum mendapat jawaban, dan aku yakin Hikaru tahu itu. Karenanya aku akan terus mendesaknya hingga dia menyerah.
Akhirnya, dia berteriak, “Kau!” sambil mendorongku sekuat tenaga hingga dia terbebas dariku. Aku tak bisa berkata apa-apa ketika air mata mulai mengalir di pipinya. Sudah lama aku tak melihat Hikaru seperti ini. Meskipun aku tak suka melihatnya berduka seperti itu, jauh di lubuk hatiku ada secercah kebahagiaan dan harapan bahwa Hikaru sebenarnya juga memiliki perasaan yang sama.
“Apa yang kau lakukan dengan gadis itu tadi? Siapa dia?” pertanyaan itu muluncur dari bibir kecilnya. Dan timbul keinginanku untuk menggodanya sedikit untuk tahu perasaannya yang sebenarnya.
“Gadis itu?” aku balik bertanya padanya.
“Kau memeluknya ‘kan? Kalian pacaran ‘kan?” di sela tangis dia bertanya lagi
Aku diam sejenak dan memperhatikannya. “Kau cemburu, Hikaru?” tanyaku enteng dengan nada rada menggoda karena hal itu terdengar jelas dari nada suaranya.
Dia lalu terdiam.
Karenanya aku bertanya lagi, “Menurutmu bagaimana, Hikaru?” Dalam hati aku berharap Hikaru akan melarangku.
“Gadis itu manis sekali dan-” kata-kataku terputus oleh teriakannya.
“Enough! I don’t wanna hear anymore. It’s all up to you! So, four months ago, you just joking, weren’t you? Don’t do that again! You really hurt me!!!”
“Hikaru, apa maksudmu? Empat bulan lalu? Memang apa yang ku lakukan?” tanyaku meskipun aku tahu betul apa maksudnya. Dari kata-katanya itu seakan tersirat pesan bahwa dia menganggap serius kejadian itu.
“Kau melamarku, kan?” teriaknya dan kali ini dia menatapku.
Aku hanya diam. Menatap matanya seakan mencari jawaban yang selama ini kucari. Meskipun mata itu basah aku bisa melihat perkiraan-perkiraanku tadi ada benarnya.
“Jangan pernah bercanda tentang hal itu lagi. Kau bisa membuat pacarmu yang manis itu menangis.” Dia bangkit dan beranjak pergi.
Namun aku tak akan membiarkannya, aku menarik dan menghempaskannya ke dinding lagi. Saat itu juga kuputuskan aku akan membuat Hikaru berkata ‘ya’.
“What?” tanyanya
“Karena lamaran itu? Kenapa kau harus marah, Hikaru, kalau aku bercanda?” tanyaku dan dia hanya diam. Semakin membuatku gemas dan tak tahan untuk menggodanya lagi. Jujur, hari itu Hikaru terlihat begitu manis di mataku. Lebih dari gadis bernama Yoko itu. Yah memang ada yang salah dengan kepalaku ini. Aku lebih memilih sahabat cowokku ini dibanding gadis yang pastinya membuat seribu cowok terpesona.
“Apa kau ingin aku benar-benar melakukannya?” bisikku di telinganya, dan aku bisa melihat dirinya gemetar.
“Kau ini gila ya? Mau kau apakan gadis-” kata-katanya ku sela lagi. Aku sudah cukup punya bukti bahwa kau juga merasakan hal yang sama, Hikaru.
“Dia bukan pacarku, Hikaru. Dia bukan siapa-saiapa.” Ujarku lirih.
Kemudian aku melihat Hikaru mengangkat wajahnya dan menatapku lekat-lekat. Aku bisa melihat pantulan diriku di bola matanya yang hitam. Aku lalu memberanikan diri mendekat ke telinganya lagi dan menjelaskan semuanya. Siapa dan apa yang aku dan gadis itu lakukan siang tadi. Dan dia hanya diam saja mendengarkannya. Begitu dekat dengan Hikaru seperti ini membuat jantungku ini berdetak cepat dan entah Hikaru dapat mendengar detaknya atau tidak.
Ku letakkan kedua tangannku di pipinya lagi. “Udah jelas?” I asked softly.
Aku bisa melihatnya mengangguk lemah.
“Soal lamaran itu,” lanjutku. “Aku tak bercanda, Hikaru.”
“Hah?” Hikaru bingung mendengar kata-kataku, seakan dia tak pernah menyangkanya.
Dengan segenap kekuatan dan keberanian aku bertanya padanya, “Hikaru, apa kau suka padaku?” Suaraku begitu bergetar. Aku hanya menundukkan kepala. Inikah rasanya menyatakan cinta pada seseorang yang kau cintai. Meskipun aku merasa cukup yakin Hikaru memiliki perasaan yang sama namun tak bisa ku pungkiri aku pun merasa takut kalau dia menolakku. Jika itu terjadi, entah apa yang akan ku lakukan.
Namun aku harus menguatkan diriku, aku harus meyakinkannya bahwa perasaan ini benar-benar tulus. Karenanya ku angkat wajahku dan menatapnya seraya berkata, “Hikaru, I really do love you.”
Dia diam sesaat.
Aku merasa waktu begitu lambat berputar dan ketakutanku mulai menguasai kepalaku hingga dia berkata yang terdengar samar bagiku, “I love you too, Yabu.”
Aku terperanjat masih tak percaya dengan yang ku dengar dan mengguncangnya. “Apa, Hikaru? Tolong ulangi lagi” Pintaku padanya dan aku merasa sepertinya ada rona merah di pipiku dan rasanya aku begitu ringan, seakan kakiku tak berpijak di bumi.
“I…Love…You…Too, Yabu” dengan wajah yang juga mulai merona itu perlahan dia mengulang jawaban yang selama ini ku nantikan muluncur dari bibirnya. Dan dia terus menatap mataku dan melingkarkan tangannya dan mengalirkan kehangatan di pinggangku lalu tersenyum.
Melihat Hikaru tersenyum tersipu seperti itu, membuatku tak bisa menahan diri untuk menyentuhnya. Ku tarik tubuh langsingnya ke dalam dekapanmu. Aku ingin mencurahkan semua perasaan yang ku pendam untuknya melalui kehangatan dan kedekatan kami ini. Aku merasa sangat bahagia saat dia menarikku lebih dekat dan mengencangkan genggamannya di pinggangku. Terlintas di kepalaku kenapa tak sejak dulu saja aku mengatakan ini pada Hikaru.
Setelah beberapa saat, aku melepaskan pelukanku dan mengusap lembut kepalanya dan bermaksud untuk member kecupan ringan di keningnya ketika…
“Yabu-kun! Yaotome-kun!” suara teriakan salah seorang staf membuat kami saling mendorong.
“Jangan lupa matikan lampu, kalau kalian sudah selesai.” Ujarnya kemudian memperhatikan kami yang rada salting.
“Kalian baik-baik saja?”
“I-iya.” Ujar kami berbarengan.
Staf itu lalu keluar dan menutup pintu.
Kami berdua saling mengelus dada dan bernapas lega. “Huff… Hampir saja…” ujarku.
Aku hanya melihat Hikaru tersenyum kecil dan meraih tasnya beranjak pergi. Aku pun mengambil langkah yang sama sambil bertanya “Kau mau pulang?”
Dia mengangguk mengiyakan.
Kemudian aku merangkul bahunya, “Aku antar.”
Setelah mematikan lampu kami pun keluar dan berjalan pulang.
Hari itu aku sangat bahagia. Karena aku yakin sejak hari itu aku akan bisa selalu berada di sisi orang yang sangat ku cintai.
Selesai