Fallacy
(Indonesia version)
A fanfic by Aka Natsuka (Nacchi)
September 14, 2012
Chapter - 7/20
Genre - Suspense | Slice-of-life | drama
Rating - PG-15
Character - Arashi, Perfume, Inoue Mao, Fukada Kyoko, Kitagawa Keiko
Disclaimer - Johnny’s Entertainment, Amuse, and other actress aren't mine
Warning -complicated story and relation between characters. Super-long-never-ending-hard-to-believe story-line. Novel-like narrative. Disambiguous plot. Not recommended for non AU reader also non OC pairing (if you avoiding OC/member fic and only accept other pairing, just ignore this). this story is just fiction, same name, places, time is unrelated to the fact.
A/N - if only human being can choose their path to live another life and believe in a world of their own
[ per chapter link :
prologue |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 | 7 |
8 |
9 |
10 |
11 |
12 |
13 |
14 |
15 |
16 |
17 |
18 |
19 |
20 |
epilogue | ]
Bagian 7
15.51
Kediaman Sakurai
Sakurai Kyoko menyeberangi koridor rumahnya menuju sumber suara piano yang sedang dimainkan. Dentingan piano dan suara yang mengalir di udara itu, ia tahu siapa yang tengah memainkan piano. Ia memegang pilar batu menuju ruang tengah di lantai satu dan mendapati seorang pria yang tengah bermain piano. Kyoko melepas kacamata, menyelipkan di saku jasnya dan berjalan pelan-pelan sengaja tak ingin mengganggu. Ia ingin mengagetkan pria itu. Ia mendekat dan dengan cepat menutup mata pria yang sedang memainkan piano dengan kedua tangannya.
Sho berhenti bermain piano tampak berpikir sejenak. “Kyoko, ya?”
Kyoko melepas tangan yang menutupi wajah Sho. “Seharusnya kau pura-pura tidak tahu”, katanya pura-pura kesal.
Sho tersenyum pada cewek di sebelahnya “Kau masih saja usil begini.”
Kyoko tersenyum dan duduk di bangku piano, Sho reflek menggeser posisi membagi tempat dengan adiknya. Kyoko menekan tuts piano memainkan sebait lagu. Sho mendengarkan dan ia teringat sesuatu. “Ah.. sudah lama sekali”. Sho menekan tuts piano dan melantunkan melodi yang ia ingat pernah dimainkan bersama. Dan mereka berdua memainkan sebuah lagu yang mereka bawakan sewaktu kecil.
Selesai bermain Kyoko menghela nafas lega dan tertawa kecil.
“Eh, ada apa?” Sho bingung melihat ekspresi Kyoko.
“Tidak. Hanya saja aku merasa lucu jika ingat waktu dulu aku main lagu ini bersama Sho-nii. Dulu aku sering melakukan kesalahan dan membuat lagu ini jadi berantakan karena kita memainkannya bersama. Akhirnya terpaksa harus mengulang dari awal”.
Sho pun tertawa mengingat kejadian itu. “Ah, aku ingat. Kau akhirnya latihan terus-menerus dan memintaku untuk mengajari meskipun waktu itu aku sedang belajar”.
“Ahaha.. Maaf ya Sho-nii. Aku waktu itu tidak pernah kepikiran bakal memainkan lagu itu bersama Sho-nii sih. Karena Sho-nii sangat pandai bermain piano aku jadi minder. Ah kalo diingat-ingat lagi bikin malu saja”.
“Haha.. tak apa-apa. Akhirnya kan, kau jadi bisa memainkan lagu itu. Setelah itu aku ingat kamu tertawa, benar-benar tertawa yang membuat semua orang bahagia melihatnya. Aku juga lega karena kau sudah tak menangis lagi”.
Sesaat menjadi hening, canggung tak tahu apa yang dapat dibicarakan. Sho dengan ragu meraih tangan Kyoko. Kyoko sedikit terkejut saat Sho memegang satu tangannya dan keduanya kembali terdiam. Bisu yang lama itu membuat seakan waktu terhenti. Yang terdengar hanya hembusan angin melewati tirai tergantung di jendela yang terbuka membawa aroma musim gugur yang sangat khas dari pohon maple yang dedaunannya telah berubah warna di taman sebelah.
Dalam benak Kyoko ia dapat membayangkan masa kecilnya waktu latihan piano dengan Sho di sebelahnya memegang satu tangannya ketika ia gugup. Suara metronome yang khas itu mirip dengan bunyi detak jarum jam. Kyoko takut gurunya akan menyalahkannya lagi tapi ia lega setidaknya hari itu ada Sho yang menemaninya karena Sho pasti akan membelanya.
Jun baru saja sampai di rumah Sakurai. Ia mencari Nino ataupun Sho dan tak menemukan satupun dari mereka. Akhirnya ia iseng menyelinap ke ruang tengah dan menemukan Sho yang bermain piano bersama Kyoko. Jun tidak enak mengganggu mereka dan memutuskan menunggu, namun ia penasaran dengan hubungan keduanya begitu melihat Sho memegang Kyoko. Jun pun bersandar pada salah satu pilar besar menguping pembicaraan mereka.
Entah mengapa ingatan Kyoko kembali ke masa itu begitu Sho menggenggamnya. Kyoko menjadi risih karena Sho tetap diam dengan kondisi seperti itu.
“Ano, Sho-nii-”
“Kyoko.. ore..”
Kyoko khawatir Sho melakukannya lagi, hal yang tak begitu ia sukai seperti waktu itu. Meskipun Sho memang tidak melakukan hal yang tak wajar atau tabu namun Kyoko tahu itu hanya untuk mengulur waktu, hanya untuk mengobati perasaan bersalah yang sesungguhnya tak ada artinya. Sho selalu merasa bersalah atas kecelakaan yang menimpa keluarga Kyoko, meskipun Kyoko menganggap itu bukan perkara besar dan ia membenci sikap Sho itu.
“Yamete yo, nii-san. Tolong, lupakan itu, ya..?” Kyoko berharap Sho mengerti dan dapat melupakan peristiwa lama itu. “Kalau Sho-nii begini terus aku khawatir akan membebanimu dan membawa masalah yang lebih berat lagi”.
Kyoko memandang Sho sesaat dan air mata menetes. Ia mengalihkan wajahnya dan mengusapnya tak ingin dilihat Sho.
“Kyoko, maafkan aku. Aku melakukan semua ini bukan untuk kamu maupun Ayaka atau siapa pun. Aku hanya peduli pada diriku sendiri. Dan aku tahu mungkin ini akan semakin memburuk karena kesalahanku sendiri. Mungkin aku telah kena karma-”
“Sho-nii! Kenapa sih kau selalu membicarakan karma? Kenapa Sho-nii selalu menceritakan hal yang menyakitimu padaku, tapi tidak pernah hal yang bahagia?”
“Mungkin karena sesungguhnya, aku tak pernah merasa bahagia. Aku yang sesungguhnya tidak membutuhkan dunia yang bersinar namun semu itu”.
“Aku rasa kau terlalu sering berpikir negatif dan selalu hidup dalam sisi gelapmu juga tidak berusaha keluar dari sana. Akibatnya kau terus-menerus seperti orang depresi. Aku..” Kyoko tertahan saat ingin melanjutkan ucapannya, ia menghitung tarikan nafas. “Aku muak dengan Sho-nii yang seperti itu! Sebenarnya aku kesal karena tak ada yang bisa kulakukan untukmu”.
Begitu berat bagi Kyoko, namun ia lega akhirnya ia dapat mengatakannya. Seakan segala kefrustasiannya hari itu menghilang. Sho hanya melihatnya yang telah bangkit dari kursi piano lalu cowok itu beralih memandang ke lantai dengan pikirannya. Kyoko jadi salah tingkah mungkin ia telah berlebihan hingga membuat Sho lebih pasrah. Ia kembali duduk di sebelah Sho.
“Sho-nii.. maksudku tadi.. aku hanya cemas.. tapi aku senang Sho-nii curhat padaku. Hal yang membahagiakan atau menyedihkan itu nggak masalah karena aku senang bisa bermanfaat buatmu”.
“Aku mengerti”. Sho berpaling pada Kyoko dan tersenyum pada adiknya itu. Ekspresi yang dikeluarkan Sho sungguh di luar dugaan dan Kyoko selalu kikuk melihat Sho-terutama saat kakaknya itu tersenyum. Senyum di wajah cowok itu betapa mahal harganya, karena Sho hampir tidak pernah tersenyum dengan tulus. Namun kali ini berbeda.
Kyoko membalas senyum Sho dan cepat-cepat mengalihkan wajahnya dari Sho karena malu. “Kyoko, aku percaya satu tahun, sepuluh tahun, atau berapa pun tahun lagi aku hidup aku tidak akan menyesali semuanya. Apapun yang terjadi padaku, karena aku rasa dengan menjalani hidup normal tanpa mengkhawatirkan ketakutan itu lama kelamaan aku akan lupa sendiri dengan kekhawatiran itu”.
Sho tersenyum sementara pikirannya menerawang melihat tembok di seberang yang tergantung lukisan yang dibuat seorang sahabatnya. Kyoko tersenyum melihat Sho, tanpa sadar matanya berkaca-kaca. Di dalam hatinya ia akan terus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Sho.
“Sho-nii aku harus kembali ke ruanganku. Kita lanjut mengobrolnya nanti lagi, ya”. Kyoko mengganti topik dan pamit pada Sho. Sho melihatnya dan mengangguk. Cowok itu masih menatap Kyoko sampai cewek itu berbelok di sudut ruangan. Sho kembali murung namun ia masih menatap ke ujung ruangan berharap Kyoko kembali datang. Sementara Kyoko masuk ke ruangan laboratoriumnya lalu menutup pintu dan menahan dengan bersandar pada pintu. Wajahnya tertunduk. Perasaannya campur aduk antara cemas, bahagia, juga tak berdaya karena orang yang begitu penting buatnya saat ini. Ia hanya seorang dokter peneliti biasa namun ia ingin menyembuhkan hiper-paranoid Sho yang telah membuatnya stres akut dan membahayakan kondisi jantungnya. Kyoko tahu Sho menyembunyikan ini dari semua orang, dan ia termasuk salah satu yang mengetahui itu. Kyoko tak mampu menahan sesak di dadanya. Ia sengaja meninggalkan Sho karena tak ingin terlihat menangis di depan cowok itu.
Matsumoto Jun yang sedari awal hanya menyimak di belakang pilar berubah muram begitu menyadari ada yang disembunyikan Sho padanya. Sho yang ia kenal adalah sosok keras dan tak mau mengikuti saran orang lain dan hanya mengejar apa yang ia pikirkan. Namun hati seseorang sungguh tak dapat ditebak, di balik semua itu Sakurai Sho sangat rapuh. Ia tak mengira Sho menderita karena sebuah penyakit yang tak diketahuinya membuat Jun menyesal telah salah mengartikan sikap Sho padanya selama ini. Selama 10 tahun berpisah Jun tak mengetahui apapun mengenai Sho. Semangatnya untuk menanyakan informasi pada Sho mengenai kasus yang dihadapinya menjadi surut dan ia melangkah gontai menuju pintu depan dan seseorang berdiri di depannya. Ia melihat Keiko yang tersenyum padanya.
“Ini sebabnya mengapa Sho-kun jadi seperti sekarang..”.
“Eh?” Keiko terkejut akan kata-kata kakaknya. “Jun-nii-san, apa maksudmu? Kenapa tiba-tiba..?”
Jun tampak terkejut Keiko mendengar ucapannya yang sama sekali tak ia pikirkan. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri sementara ia dan Sakurai Keiko berjalan di taman sebelah rumah. Wajahnya merona tanpa ia sadari. “Ah, ma-maksudku.. sikap Sho padamu juga dengan yang lain”. Jun sendiri tak mengerti mengapa ia nampak kalut. Mungkin ia tak ingin Keiko salah mengartikan jika Jun terlalu peduli pada Sho.
Keiko tersenyum penuh arti lalu tertawa. “Kenapa, nii-san yang canggung? Aku kan hanya mendengarkanmu. Salah sendiri kau tiba-tiba ngomong begitu”.
“Ah, barusan aku hanya berpikir, Sho yang aku kenal jika ia punya hubungan dengan cewek ia tak pernah berhasil. Aku bahkan bisa melihatnya sekarang setelah ia menikah sepertinya kalian tak ada perkembangan”.
“Hah? Memang kau tahu dari mana? Jangan asal berbicara seperti itu. Tak baik membicarakan sesuatu hanya dari sudut pandangmu saja tanpa tahu apa-apa”. Keiko menghela nafas dan melanjutkan. “Sho-san itu aku juga tak pernah menyangka sebelumnya kalau ternyata ia seorang womanizer. Aku tak ingin melihatnya dari sisi negatif. Meskipun kebanyakan pria womanizer jarang sekali menetapkan hatinya pada satu orang wanita, tapi jangan menyamakan mereka seperti pria hidung belang ataupun playboy. Pria tipe seperti itu sebenarnya ingin menghargai setiap wanita. Mungkin kelihatan berlebihan, tapi bagi para wanita itu justru sangat didambakan karena ia tidak akan membedakan wanita manapun dan seperti pembela kaum wanita”.
Jun tersenyum sebal. “Kurasa kamu hanya berimajinasi berlebihan, soal sifat seorang womanizer itu”. Keiko melirik Jun sebal tapi ia hanya tersenyum lalu mereka berdua lanjut berjalan.
“Kau sendiri sudah tahu Sho yang seperti itu mau dengannya”.
“Yang pasti bukan karena sifatnya yang satu itu. Aku sih tak masalah Sho yang seperti apapun atau tak mempermasalahkan apa yang ingin ia lakukan sepanjang ia bahagia dan terus membuatnya tersenyum”.
“Yah, kalau itu juga aku mendukung. Kecuali jika ia melakukan hal yang buruk aku sebagai polisi yang bertugas menjaga keamanan dan situasi yang terkondisi di kota ini akan menindakinya”.
Keiko dan Jun tertawa bersama. Jun menjelaskan sebenarnya ada yang ia ingin tanyakan pada Sho dan ini ada hubungannya dengan Nino namun Keiko tak dapat membantunya. Jun pun pamit kembali ke kantor dan akan kembali lagi.
***