Kastanisasi Pendidikan? Balasan untuk KOMPAS

Jun 03, 2010 10:25

Membaca tulisan ’Kursi Saja Dibedakan...’ oleh Luki Alia di KOMPAS hari ini (3 Juni 2010), saya sungguh kecewa karena tulisan yang penuh idealisme ini ternyata terpuruk menjadi sesuatu yang menggebu-gebu dengan naif dan semangat ‘sama-sama miskin’, bukan ‘sama-sama makmur’ dan tanpa pengetahuan mendalam. Seharusnya, penulis lebih bisa berpikir panjang sebelum mencap bahwa ada kastanisasi dalam pendidikan.

Kalau penulis bersikeras ada ‘kastanisasi’, maka itu sudah dimulai dari dulu. Apa penulis lupa bahwa sejak lama sudah ada sekolah-sekolah swasta yang menuntut bayaran mahal dari siswa-siswinya? Barangkali buat penulis ini bukan hal aneh karena pendirian sekolah-sekolah swasta ini didirikan dengan pemikiran ‘bisa bayar, silakan masuk’. Namun ini sebenarnya sama saja mengatakan: ‘Punya uang banyak, masuk sekolah swasta mahal; tidak punya uang banyak, monggo cari yang lain’. Bukan rahasia bahwa banyak anak dari kalangan sangat-mampu ‘mengumpul’ di sekolah-sekolah swasta mahal, sementara anak-anak lain ya di sekolah yang biasa-biasa saja. Apa ini kalau bukan ‘kastanisasi’ menurut Anda?

Baiklah, mungkin yang Anda risaukan adalah mengapa sekarang di sekolah-sekolah negeri bermunculan kelas internasional dan RSBI/SBI yang menarik uang masuk lebih banyak. Nah, di sinilah seharusnya Anda bisa berpikir lebih luas.

Pertama: sekarang, prinsip sekolah adalah memberikan pelayanan pendidikan. Apa artinya? Bukan guru sebagai pelayan, namun harus diakui bahwa kemampuan dan kemauan peserta didik sekarang bermacam-macam. Ada yang hendak sebisa mungkin lekas bekerja selepas sekolah menengah (maka itu kita punya sekolah menengah kejuruan), ada yang hendak mendalami agama (maka itu kita punya madrasah, misalnya), ada yang berkebutuhan khusus-ini contoh pelayanan yang sudah tersedia sejak lama. Bagaimana dengan anak-anak di sekolah umum? Ternyata dari tingkat menangkap pelajaran pun mereka berbeda-beda, yang mustahil kita sama ratakan untuk semua anak. Oleh karena itu kita punya kelas akselerasi atau kelas untuk siswa cerdas. Anak-anak berkemampuan lebih tentu tidak bisa dihalangi bila mereka menginginkan lebih dari teman-temannya yang berkemampuan normal sesuai usia.

Lalu ada pula anak di sekolah umum yang hendak meneruskan pendidikan tinggi di Indonesia saja. Anak-anak ini pun menempuh pendidikan kurikulum nasional yang hanya diajarkan dalam bahasa Indonesia. Namun ada juga yang sambil ingin mengasah bahasa asingnya, sehingga ia lebih memilih masuk sekolah RSBI/SBI yang bilingual. Ada yang mungkin kurang cocok dengan kurikulum nasional atau hendak meneruskan pendidikan ke luar negeri, sehingga membutuhkan sertifikasi pendidikan yang diakui dunia internasional (misalnya, IGCSE, AS/A Level, IB) sehingga lebih memilih sekolah yang menawarkan program internasional. Salahkah anak-anak ini bila hendak mencari pendidikan yang sesuai dengan keinginannya? Pada kenyataannya KOMPAS juga sering memuat iklan atau artikel mengenai pendidikan ke luar negeri. Lha, artinya KOMPAS lebih mendorong mereka pergi ke luar negeri? Dengan uang siapa-uang orang tuanya tentunya? Apakah KOMPAS turut mendorong kastanisasi ‘lulusan luar negeri’ dan ‘lulusan dalam negeri’?

Pada kenyataannya, saya rasa awak KOMPAS pun ogah memasukkan anak-anak mereka ke sekolah yang berkualitas rendah bila ada uang. Anda suka atau tidak, pasti uang berbicara ketika Anda memilih institusi pendidikan yang sesuai bagi Anda dan anak Anda. Jangan menyalahkan orang tua lain yang bersedia menggelontorkan uang lebih banyak demi putra-putri mereka; jangan pula salahkan anak-anak yang orang tuanya kaya sehingga mereka bisa memperoleh pendidikan berkualitas baik seperti yang mereka inginkan.

Tapi tentu saja bukan artinya kita boleh membiarkan anak-anak yang berasal dari orang tua yang kurang mampu tidak memperoleh pendidikan yang layak. Di sinilah sebenarnya, alih-alih menyalahkan program internasional sebagai pembentuk kasta, kita bisa memanfaatkannya sebagai sarana memperbaiki sekolah dan subsidi silang. Penulis artikel bilang pada kenyataannya sekolah-sekolah yang menawarkan program internasional/RSBI ternyata hanya sibuk memperbaiki sarana. Ya, tentu saja memperbaiki sarana! Lho, selama ini KOMPAS juga sering mengeluhkan betapa buruknya sarana sekolah-sekolah yang dibiayai negara, bukan? Nah, kali ini sekolah-sekolah yang telah dipercaya pemerintah bisa secara mandiri memperbaiki sarana tanpa menunggu bantuan dari pemerintah yang juga mungkin seadanya atau kurang mencukupi. Menurut Anda ini jelek atau baik?

Saya sendiri telah mengamati bagaimana secara bertahap sekolah-sekolah program internasional/RSBI memperbaiki atau menambah sarana sekolah melalui dana yang diperoleh dari siswa-siswi program internasional. Akhirnya, yang merasakan manfaatnya adalah seluruh siswa, dari program internasional maupun ‘reguler’. Inilah subsidi silang. Sekolah bisa mengalihkan dana yang seharusnya untuk memperbaiki/menyediakan sarana untuk mensubsidi anak-anak yang kurang mampu agar tetap bisa bersekolah di sekolah itu-dengan sarana yang bagus!

Dengan tidak terlalu mengandalkan dana dari pemerintah, maka pemerintah seharusnya bisa mengalihkan anggaran untuk sekolah-sekolah itu ke sekolah-sekolah yang lebih membutuhkan dan belum bisa sepenuhnya mandiri. Hal seperti inilah yang seharusnya bisa KOMPAS sarankan atau dorong. Kita juga membantu mengurangi beban pemerintah dengan cara ini, seraya tetap memastikan bahwa semua anak bisa memperoleh akses ke pendidikan setidak-tidaknya yang ditetapkan sebagai standar. Jadi janganlah ‘program internasional/RSBI’ dijadikan kambing hitam penyebab jurang pendidikan yang masih ada.

Bagaimana dengan guru-guru? Adalah suatu kenyataan-yang juga sering KOMPAS bahas-bahwa kualitas tenaga pendidikan di Indonesia masih kurang baik. Terkadang hal ini disebabkan karena setelah menjadi PNS, banyak guru yang merasa enggan mengembangkan diri karena merasa posisinya toh ‘sudah aman’. Ketika ada program internasional/RSBI, ternyata banyak guru dalam-sekolah yang tidak bisa memenuhi tuntutan mengajar dalam bahasa Inggris atau menggunakan sarana TI, sehingga sekolah harus mempekerjakan guru ‘dari luar’ (maksudnya bukan dari sekolah bersangkutan) yang siap mengajar sesuai kurikulum, mampu berbahasa asing, dan bisa menggunakan sarana TI. Hendaknya ini tidak dianggap sesuatu yang menekan ‘guru-dalam’, melainkan justru mendorong mereka untuk meningkatkan kemampuan agar kelak juga bisa mengajar program internasional/RSBI. Dan tidakkah orang yang berkemampuan lebih pantas dibayar dengan lebih baik? (Inilah salah satu sebab mengapa biaya pendidikan sekolah internasional/RSBI berbeda!) Jadi, ini bisa menjadi motivasi dan peningkatan kesejahteraan guru! Dana dari program internasional juga bisa dipakai sebagian untuk membantu kesejahteraan guru-guru dan pegawai seluruhnya. Jadi yang diperlukan adalah penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang cerdas, cermat, dan jujur sehingga semua bisa memperoleh manfaat.

Dan tidakkah guru-guru yang lebih baik akan membantu murid-murid menjadi lebih baik juga? Dan tidakkah murid-murid ini akan memperbaiki kualitas sumber daya manusia Indonesia nantinya?

Satu lagi yang perlu penulis artikel cermati adalah bahwa, terutama di tingkat SMA, peserta program internasional mengikuti ujian sertifikasi dari badan internasional yang memakan biaya tidak sedikit. Selain itu, ada fee yang harus dibayarkan ke badan-badan tersebut bila bekerja sama dengan mereka. Silakan penulis cari tahu soal ini dari sumber-sumber yang kompeten, termasuk mengenai kurikulum yang diajarkan. Biaya ujian ini juga menjadi komponen dari biaya yang harus orang tua bayarkan.

Penulis mengakhiri artikelnya dengan “(Anak-anak miskin) hanya bisa berharap...” Mereka tidak harus terus-menerus berharap bila kita melakukan langkah-langkah kongkret untuk menolong mereka, tidak hanya mengipas-ngipasi bahwa mereka dibedakan, mereka pariah, tanpa memberikan solusi yang memadai, seraya juga menyudutkan anak-anak lain yang kebetulan memiliki orang tua yang mampu menyediakan pendidikan yang baik untuk mereka. Mohon hal-hal semacam itu dipikirkan bila lain kali penulis hendak menulis lagi soal masalah serupa.

Tambahan, yang tidak saya sertakan dalam surat
Penulis artikel ini rupanya tidak tahu beda program internasional, sekolah internasional, sekolah R/SBI, dan sekolah reguler.

Sekolah 'reguler' = Melaksanakan kurikulum nasional, dalam bahasa Indonesia. Peserta didik wajib ikut ujian nasional.

Sekolah R/SBI = Melaksanakan kurikulum nasional yang diperkaya kurikulum luar, dwibahasa. Peserta didik wajib ikut ujian nasional.

Sekolah internasional = Murni melaksanakan kurikulum internasional, misalnya CIE, IB, atau semacamnya. Peserta didik tidak ikut ujian nasional.

Program internasional = Diselenggarakan di sekolah yang juga menjalankan program reguler atau R/SBI, menggunakan kurikulum utama berupa kurikulum internasional (di Indonesia umumnya kurikulum CIE), namun tetap wajib ikut ujian nasional bila hendak dinyatakan lulus dari sekolah bersangkutan. Namun apabila peserta didik telah memperoleh sertifikat lembaga pendidikan internasional dan memutuskan keluar sebelum mengambil ujian nasional, diperbolehkan, hanya saja tidak dinyatakan sebagai lulusan sekolah tersebut.

Trims untuk Lita karena membahas ini di Twitter.

letters, education, school

Previous post Next post
Up